Mohon tunggu...
Ely Widyaswati
Ely Widyaswati Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Menjadi mahasiswa merupakan kesempatan emas untuk bertumbuh lebih baik lagi, salah satu hal yang menunjang saya untuk senantiasa bertumbuh adalah dengan menulis. Karena menulis merupakan pijakan awal untuk melompat lebih tinggi menggapai masa depan yang mumpuni. Muda berkarya, tua bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kutunggu Kau di Stasiun Penantianku

22 Januari 2025   21:22 Diperbarui: 22 Januari 2025   22:52 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peron stasiun tempat pijak kakimu turun, serupa tungguku yang tak pernah terhitung kurun. | Sumber: Pinterest

Temaram mulai menyambut gulita malam. Kala itu degup bahagia tak henti menyapa relungku, sebab kabar teramat riang hadir darimu, hadir dari sosok yang tak hentinya kumunajatkan dalam deru doa-doaku. Bukan lagi pesan apa kabar yang aku kirimkan, melainkan pesan selamat datang 'setalah bertahun-bertahun hanya saling menanti dan mendoakan'; itu katamu. Simpul nyata senyumku lekat-lekat terpasang menanti kereta datang di stasiun harapan. Tanpa bosan aku menanti, berjam-jam sebelum tiba keretamu terhenti. Tanpa jengah aku berbahagia, membawa seikat bunga pertanda syukurku yang tak terkira. Tanpa lelah aku mengamati setiap dinding kereta, barangkali ada senyummu dibalik jendelanya.

Malam itu aku benar-benar bertanya pada diriku sendiri, bagaimana mungkin aku bisa senekat ini, aku bisa sekeras kepala ini, dan bagaimana mungkin aku bisa merengkuh izin ayah dan ibu yang selalu jeli membatasi ruang gerakku. Bagaimana mungkin? Entahlah rasa-rasanya hari itu merupakan hari penuh perjuanganku, barangkali serupa lagu Nadin Amizah "Perempuan Gila" memang segila itu berlaku di luar hal yang selalu menjadi batas lakuku. Satu hal yang kutahu, aku berhak memperjuangkan apa yang selama ini menjadi bagian dari doa-doaku, aku berhak mencari jawaban atas rasa yang bermuara pada relungku. Ke semuanya kulakukan dengan keberanian, kulakukan tanpa menerobos batas aturan, tetap pada koridor izin yang ayah dan ibu senantiasa percayakan.

Malam itu seperti mimpi yang berwujud kenyataan, tepat pukul 21.30 WIB kereta Wijaya Kusuma berhenti di stasiun harapan. Senyumku membuncah menatap matamu dari balik jendela kereta, mencariku di sela-sela kursi tunggu di luar lorong panjang peron. Hampir-hampir jiwaku tersipu malu, kala langkahmu semakin dekat dengan jarakku, menatapmu sedekat itu setelah hampir satu lustrum tak pernah ada sua. Aku tahu kamu juga ikut bingung dan bertanya-tanya mengapa aku bisa sampai di sini, menyambut kepulanganmu dengan berdiri sendiri tanpa seorang pun yang menemani di samping kanan kiri. Aku juga bingung, tapi yang pasti satu hal yang selalu aku ingat, aku mampu sampai di sini sebab haturan rasa syukurku atas kepulanganmu. Hanya itu. Tidak ada alasan mutlak lain selain munajat syukurku.

Lekas-lekas kau menurunkan tas carrier warna tosca yang terlihat begitu beratnya itu, ah rasanya tak akan sebanding dengan peluh kerja kerasmu yang tak pernah kau keluhkan berat itu. Tatapanmu masih sama, seperti tatapan bertahun-tahun silam yang selalu saksama mendengarkan bait-bait ceritaku. Mendengarkan banyak ocehan yang tak berarti dariku namun selalu kau hargai dengan senyum tulusmu. Aku teramat bersyukur Tuhan izinkanku menatap kembali sepasang mata indah milikmu. Tak lama pertemuan kita malam itu, sebab rasa khawatirmu yang menuntunku untuk segera pulang. Tak ingin ada apa-apa dan kenapa-napa sebab pulang malam sendirian, ucapmu. Kala itu benakku tersibak, batinku menyeruak 'Aku juga tidak berniat untuk memotong waktumu berlama-lama denganku. Jadi tenang saja, aku akan segera pulang ketika syukurku atas kepulanganmu telah selesai ku sampaikan.' 

Pulang, malam itu aku pulang dengan membawa banyak kenangan ditemani rembulan yang benderang. Seperti senyuman purnama yang menjawab penantian panjangku bertahun-tahun lamanya. Terima kasih sudah memberi kabar kepulanganmu, sudah mengizinkanku untuk menunggu di stasiun pemberhentianmu, dan sudah berkenan menemui perempuan gila sepertiku. Hingga kini syukurku tak akan pernah memudar kala kudengar roda kereta melintas diiringi klakson panjang pertanda pemberhentian telah usai. Serupa usainya rasa tungguku di stasiun penantianku. Perihal apa pun yang kau temui dariku semoga tak akan menjadi sesal untukmu, semoga tak membekas kenang yang tak baik pada relungmu. Percayalah, aku bersyukur mengenalmu. Aku bersyukur menjadi insan yang pernah menanti di stasiun kepulanganmu, sembari memintal pinta agar langkahmu tak gontai dan selalu baik-baik saja. Meski pada akhirnya, perempuan gila harus mengerti bahwa tuan akan memilih puan jelita sebagai kekasih hati. Bukan perempuan gila yang hanya mampu memberi doa dan harap bahagia yang mengudara.

Terima kasih stasiun penantianku, terima kasih telah menjadi tempat terbaik untuk menjemput jawaban atas pelik rasaku. Harapku dikemudian hari jika memang Tuhan tidak mengizinkanku untuk bertemu dengannya kembali, semoga insan yang menjemputnya, menanti kepulangannya, merapal dedoa untuknya. Lebih dariku. Lebih tulus dari apa yang perempuan gila ini selalu upayakan untuknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun