By: Elysta Yusuf
Nomer Peserta: 33
*
Remang fajar mengintip dari celah retak rumahnya yang bercat usang termakan usia. Semalam ia biarkan dingin menyelusup paksa memenuhi ruangan sempit yang terisi sebuah divan reot dan kasur kapuk yang membatu. Dirumah sederhana yang hampir kena gusur itu, divan adalah salah satu benda favorit selain cangkir seng berukuran jumbo dan cermin kusam yang terpampang didinding yang kerap disambanginya seusai air wudhu subuh membasuh tubuhnya yang mulai renta. Kegagahannya masih tersisa ketika senyumnya menghiasi wajahnya yang keriput. Seragam berwarna hijau usang, topi dan sepatu boot kebanggaannya, membuat semangat pagi ini. Tapi fajar seperti memaksanya bergegas, melucuti seragam hijaunya dan berganti dengan seragam warna orange berresleting didada. Bukan untuk mengangkat senapan dimedan perang, senjatanya kali ini adalah sebuah sapu andalan. Pagi ini ada jadwal pembersihan kota.
**
Disebuah tanah yang lapang, si kakek yang bernama Dharmo dengan cekatan membersihkan sampah-sampah plastik dan daun-daun kering yang bertebaran. Dipilahnya kedalam kantong besar gelas plastik air minum kemasan. Lumayan pikirnya untuk membeli sebuah nasi bungkus untuk makan besok.
**
Matahari tak lagi memanggang rambutnya yang abu-abu, bulir gerimis mengiris penatnya siang itu. Namun semangatnya ternyata tak berkorelasi erat dengan tubuhnya. Pandangannya diputar sesaat mencari pohon rindang tempatnya berteduh dan melepas lelah. Kakek Dharmo biasa istirahat disitu, makan nasi bungkus atau sekedar minum dan mengibas peluh yang menyeluruh tubuh. Tempat itu adalah tempat yang paling disukainya. Dimana ada tugu seorang pahlawan sebagai ’pajangan’ taman. Juga Merahputih yang berkibar dengan anggunnya. Terlihat aman kain sakral itu menjulang diatas tiang cakrawala, tak seperti dulu saat dia terpaksa harus memisahkan merah dan putih dan dibawa secara terpisah bersama rekan yang lain dengan menggunting jahitannya agar aman dari geledahan si asing, lalu dengan susah payah menyatukannya lagi agar bisa berkibar dalam wujud Merahputih. Ya. Bersama kawan, yang sekarang patungnya menatap tajam padanya, melontarkan pertanyaan : inikah yang kita citakan dulu?
Miris. Ditempat ini semalam ada konser besar artis asing, remaja putra dan putri bersorak memecah malam, hentakan dari musik mengiringi tarian liar dari pecandu-pecandu bingar malam, ajang leluasa jiwa-jiwa labil pencari sensasi. Kelakar-kelakar mabuk dalam waktu yang rancu. Tak jarang karena gesekan sedikit menyisakan kesumat dimata dan berakhir baku hantam. Seringkali kakek Dharmo mendengar cerita itu. Adu otot dari tangan-tangan yang tak memikul lagi bambu runcing atau senapan.
Lagi-lagi dia hanya kebagian tugas memungut serpihan cita pada gelas plastik sisa kemasan air minum untuk menggantungkan usianya yang renta, tanpa saudara dan keluarga. Tapi tangannya masih cukup kuat untuk diangkat keatas sebatas dahi. Bukan untuk menengadahkan tangan dan meminta belas kasihan dari kesibukan yang lalu lalang, tapi menyampaikan hormat pada merah putih dan patung seorang kawan.
Beberapa mata sesekali melirik dan menganggapnya hampir tak waras, kadang beberapa koin dilemparkan kepangkuan. Tapi ada sepasang mata dari serupa soe hok gie menjawab kerinduannya yang ia sampaikan lewat hujan yang jarang. Tanah, rerumputan mengeluarkan bau wangi yg khas, berbaur dengan senyawa ‘petrichor’. Lalu mengirimkan lagu hipnotis yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang merindu juga.
Kerinduan tentang sosok pemuda sederhana yang mengerti arti merdeka. Merdeka untuk menggapai cita-cita bangsa dan para pembela Negara di zamannya. Bukan merdeka memilih dengan berhura mengekor budaya lain dan membuang waktu percuma.
Kini di taman itu kakek Dharmo tak lagi sendiri menatap patung kawannya, ada seorang pemuda mengajaknya berbincang. Arya namanya.
“Apa yang sedang kakek pikirkan?” Tanya Arya memutus lamunan.
Sikakek hanya tersenyum.
“Apakah patung itu mengingatkan kakek pada seseorang?” tanyanya lagi
Kakek Dharmo hanya mengangguk.
“Dulu kami memiliki cita dan cinta yang sama.” Kakek Dharmo menunjuk Merah putih yang berkibar di sebelahnya.
“Bukankah cita kakek sekarang sudah tercapai dan cinta itu masih sama ‘kan?”
“Ya. Cuma waktu memisahkan kami. Entahlah jika aku mati nanti, apakah masih ada yang menatap jejakku selain taman ini.” Lirihnya.
“Apakah kakek ingin panjang umur dan melihat Negara ini makmur dan bisa menghargai jasa para pahlawannya?”
“Aku tidak ingin seperti capung yang hidup hanya 24 jam atau lobster yang bisa hidup 100 tahun tapi tak pandai memilih tempat untuk menyimpan sisa makanannya. Usia manusia sudah ada yang mengatur, seperti garis nasib dan takdir. Pun demikian dengan kisahku, kakiku hanya mengikuti rotasi zaman, tidak mampu seperti venus dan Uranus yang berputar melawan arah jarum jam. siapa yang nyangka jika ditempat ini puluhan tahun yang silam, lagu Indonesia raya begitu menggema didada para pemuda. Bahkan menjadi tembang pembuka bagi bayi-bayi yang baru lahir setelah adzan dan iqomat dikumandangkan dikedua telinganya. Jika aku bisa memilih, aku ingin reinkarnasi, lalu tumbuh menjadi remaja yang berbeda dengan remaja yang lainnya. Lebih memilih dianggap beda dan sok idealis daripada harus terjebak dalam lethologica dan meleburkan jati diri dan meniru budaya yang bukan sebenar-benarnya budaya kita.” Sahutnya.
Sesaat Arya tampak berpikir sejenak. Sesekali mencoretkan sebuah sketsa dikertas. Atau lebih tepatnya lagi sebuah konsep acara.
“Kek, minggu depan datanglah ketempat ini, saya dan teman-teman akan mengadakan festival terbuka, saya undang kakek untuk duduk dibangku terdepan.”
**
Festival Asmarandana adalah pagelaran perdana yang dimotori Arya.Sebuah bunga rampai dari karya-karya tari, teater dan musik dari aneka jenis dan aneka latar belakang. Juga kisah-kisah heroic yang diselipi diantara bunga rampai ini. Program ini rencananya akan Arya laksanakan secara rutin setiap tahun pada malam tahun baru dan 17 agustus. Tujuannya tentu saja untuk memperkaya apresiasi pemuda akan kecintaannya terhadap seni dan budaya. Harapan Arya setidaknya lewat pagelaran semacam ini bisa menambah rasa percaya diri generasi muda terhadap budaya negri sendiri dan kembali mengingat sejarah perjuangan pejuang terdahulu.
Kakek Dharmo duduk di jajaran terdepan,bersama para undangan dan seniman kelas dunia. Lengkap dengan seragam hijau, topi, sepatu boot dan senyumnya.
Para nayaga serempak menabuh gamelan, mengiringi gemerincing kaki penari yang melenggok bak bidadari berselendang warna warni. Disusul dengan rampak wayang dari dua puluh dalang.
Acara selanjutnya adalah teater. Arya membacakan sebuah syair :
Dia Yang Terpinggirkan
Benaknya adalah hutan belantara dengan berbagai spesiesnya
Beragam fantasi, mimpi dan alunan lembut daun-daun rimba.
Namun jiwanya senyap bak mentari sembunyi
Lalu mulutnya menulis diatas batu nisan yg dingin.
Terlalu bisingkah gemuruh kini
Memporak porandakan citanya dulu?
.
Tiap damai adalah waktu yg tergesa untuk beralih gusar.
Tiap tawa adalah penantian luka.
Tiap kelakar adalah ratap sunyi dalam wujud yg berbeda.
Dia menjadi pendaki yg tak tahu tebing mana berawal.
Menjelajahi aliran sungai yg tak tahu telaga mana berakhir
Menanti hembusan angin diantara sekumpulan awan bernama kebebasan
Sayapnya kian renta mengamati waktu
Hanya mampu berujar pada hujan
Kala fajar tak lagi mengucap selamat pagi
Samakah dengan pasir disahara
Menjadi tumpuan frustasi musafir yang mencari oasis?
.
Citanya masih sama seperti puluhan tahun lalu
Tempat tumpah darahnya tetap sentosa
**
Gending gamelan kembali ditabuh. Pupuh kinanti, sinom, asmarandana dan Indonesia Raya dilantunkan. Adegan-adegan memukau selesai dipentaskan. Penonton riuh tepuk tangan. Pergelaran premiere Arya sukses.
Tersungging senyum diraut kakek dharmo, tenang, setenang sang malaikat menjemputnya. Namun semangat juangnya telah berhasil reinkarnasi pada sosok Arya. Dan kini jejaknya tak hanya dikenal sebagai tukang sapu taman.
***
Untuk membaca hasil karya peserta lainsilahkan menuju akun
Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Hari Pahlawan
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H