Mohon tunggu...
Elysta Yusuf
Elysta Yusuf Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

http://elysta-simplewish.blogspot.com/ ..,karena tidak bisa masuk dg akun yg lama (http://www.kompasiana.com/eliyani), terpaksa nge-kost disini deh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Harus Menjadi Laki-laki

26 Oktober 2013   17:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:00 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak Harus Menjadi Laki-laki

Dina menanggalkan rok dan branya, membalut dan menarik ketat dadanya sekuat tenaga dengan kain panjang serupa perban.

Hujan luruh satu-satu. Seirama dengan bunyi gunting dirambutnya. Helai demi helai rambutnya terpangkas habis. Dilihatnya bayangan kepala plontos didepan cermin yang buram seburam kaca jendela yang dilalui cipratan air hujan. Dia merasa aneh dengan bayangan didepannya? Inikah matanya yang dulu selalu terpancar sorot lembut seperti tempat teduh persinggahan hati gelisah? Ditarik bibirnya dengan kedua jarinya seperti bulan sabit. Namun dagu sepertinya mengerti gravitasi, kemudian senyum itu jatuh tak tertahan. Kaku. Ada sedikit tekad yang sedikit mencuat dari rona wajahnya: Dina ingin menjadi laki-laki.

Terkadang, setiap kali aku bangun dari tidur, ingin mendapati kenyataan yang lebih menyenangkan dari ini. Setiap peristiwa yang terjadi kamu pandai mengembalikan suasana. Merasa diriku menjadi perempuan kuat tanpa harus terpaksa. Ah, aku tidak ingin menjadi perempuan lemah. Itulah alasannya.

Tuhan kadang cemburu dan …,ya, Maha Kuasa tentu saja. Tidak ingin ada manusia yang mencintai manusia lainnya melebihi kecintaan padaNya. Buktinya,sekalipun dalam kelemahannya, Dina mencoba mendobraktirai itu, dia selalu kalah. Makin Dina berusaha keras, Dimaz makin hilang.

Kamu menghidupkan sekaligus mematikan.

Setelah kamu memilih untuk berdamai dengan Tuhan, harusnya aku memilih berhenti membutuhkanmu. Menganggapmu sebagai kesialan yang jika terus kuingat, akan menjauhkan syukurku tentang kehidupan. Kamu tahu kenapa? Karena aku sudah terlanjur mencandu suaramu, nasihatmu, dan semua yang ada padamu.

Kenapa Dina seperti merasa kehilangan dirinya sendiri setelah Dimaz tinggalkan? Apakah karena Dimaz selalu mengerti cara menghiburnya seperti zat adiksi yang membuatnya kecanduan berulangkali?

Dina menatap foto Dimaz dengan teliti. Caranya berdiri, caranya tersenyum, gaya berbusananya, cara memeluk anak dan istrinya dan,… cara menatapnya?. Ah, tentu saja bukan menatapnya. Foto itu didapat setelah susah payah Dina memintanya dari Dimaz, dan yang diberi hanya foto keluarga itu. Dina ingin menggunting sebagian foto istri dan anaknya lalu menempel dengan fotonya, namun ia urungkan. Dimaz sudah bahagia dengan mereka. Kalaupun dia adalah lelaki yang bermental baja, bukan salahnya juga. Kekeliruan Dinalah sehingga tidak bisa membedakan antara ingin memiliki, mencintai, atau menjadi sepertinya.

Harusnya Tuhan menjadikan aku lebih kuat dari sekarang. Sehingga waktu tidak pernah lengah membiarkanku lemah lalu mencari-cari bayang dan suaramu pada sisa-sisa lelah mimpi malam hari.

Jika saja waktu itu kamu tidak melarangku merekam semua perbincangan kita. Kalimat-kalimat yang mengalir dari mulutmu seperti ratusan daun mint yang gugur menumbuk jiwa, mungkin sering kuperdengarkan lagi sekarang. kata kamu, “Kekuatan ada pada jiwamu yang harus kamu latih tanpa selalu tergantung pada orang lain. Disitulah kamu menemukan dirimu sendiri”.

Saat suara hujan tak terlalu akrab dengan kerinduan. Saat rinai gerimis makin miris mengantar suara ‘kamu adalah kesialan yang ingin dilupakan’. Berkali aku menikam rinduku, aku tau kamu tak pernah mati. Atau bisa jadi kamu lebih bahagia sekarang.

Ingin kudengar lagi suaramu, bukan untuk menduakan Tuhan, hanya ingin membuatku pulih secara instan.

Bertahun, disetiap pagi yang Dina harap bisa terbangun menjadi sosok Dimaz, yang terpaksa harus membohongi dirinya sendiri dengan jaket kulit, rambutyang tak pernah dibiarkan panjang lagi, dengan dada rata dan cara tersenyum seperti Dimaz, selalu ingin didengarnya Dimaz menenangkan dengan suaranya yang berkharisma.

Pagi ini Dina mempercepat langkahnya. Pagi ini Dina hanya ingin berdua dengan Dimaz. Sebelum para penziarah mendatangi makam keluarganya. Dina ingin bercerita, kalau sekarang Dina bukan perempuan lemah yang mudah menangis mengingat kematian orang tuanya, adiknya yang diperkosa, kakaknya yang dipenjara karena perampokan. Dina ingin bercerita pada Dimaz bahwa dirinya sudah jauh lebih kuat dengan membunuh karakternya sendiri, hidup sebagai Dimaz kedua.

Didepan nisan Dimaz, Dina seolah ingin membuktikan bahwa airmatanya tak pernah ia izinkan menetes lagi di rumput hijau pemakaman. Hanya untuk menangisi kepergian Dimaz yang kedua kali. Pertama saat kepergiannya karena menikah dengan Naura, saudara sepupunya, karena ketololannya Dina tak sempat memberitahu kalau Dina mencintainya. Yang kedua, kepergian Dimaz setelah terlambat dia mengutarakan cintanya lalu kecelakaan itu menewaskannya.

Dimaz…,

Tak ada jawaban. Masih sama seperti hari-hari sebelumnya.

Hari mulai siang, orang-orang mulai ramai berziarah. Do’a-do’a makin terdengar terlantun. Dina makin membuka telinganya berharap mendengar suara Dimaz sekali saja. Tidak ada. Yang makin terdengar adalah do’a-do’a dari para penziarah yang mendo’akan keluarganya. Dina menangis. Lelah.

Bibirnya mulai mengikuti suara do’a-do’a itu. Perlahan syaraf dikepalanya seperti terbetot keras seiring dengan perih yang menjalar hatinya. Dina makin menangis.

Ampuni aku Tuhan.

Hujan kembali deras, airmata tiras. Sekujur tubuh Dina tertumbuk ribuan jarum air yang meresap menembus jaket kulit dan celana denim yang dikenakannya.

Hujan membasuhnya dari mabuk yang berkepanjangan, dari mimpi yang dia ninabobokan sendiri, dari kematian karakter yang dirancang melawan kodrat Tuhan. Tapi Tuhan maha kuasa bukan? Dina kalah dengan pelariannya.

Sedikit terhuyung Dina memasuki kamarnya yang berantakan. Dilepasnya kain ketat yang membalut dadanya. Digantinya jaket kulit dan celana denim dengan baju panjang terusan. Airmatanya masih menderas. Namun kali ini keluar dari mata yang teduh.

“ Menjadi kuat, tidak harus menjadi laki-laki.” Kalimat itu yang terdengar dihatinya.

Dikerudungkannya kain segiempat yang dia dapat dari dalam lemari. Kemudian menyematkan peniti dibawah dagunya.

Kali ini Dina merasa menang dan hidup kembali.

Entah besok atau lusa.

**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun