Mohon tunggu...
Elysa Pasupati
Elysa Pasupati Mohon Tunggu... Administrasi - Perempuan bekerja, seorang istri, dan ibu bagi 2 princess yang lucu2

Just want to share from heart....:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Segelas Teh Manis Air Tadah Hujan

27 Januari 2012   06:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:24 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13276463121905874045

Images by google Jalan menanjak itu sangat berdebu, mengingat musim kemarau masih terasa cukup panjang tahun ini. Apalagi kalau dilewati sepeda roda dua yang sering lalu lalang, wuihhhh...debunya berterbangan kemana mana. Tampak dari kejauhan pohon Jati tumbuh angkuh disela-sela batu padas di  kiri kanan jalan desa. Desa Legundi desa kecil di berbukitan selatan Yogyakarta, desa kecil yang mayoritas mata pencahariannya adalah berternak sapi, menanam singkong, Pohon Jati dan sebagian pemuda desanya merantau ke kota besar untuk jadi buruh atau TKI di negeri orang. Kami adalah sekelompok mahasiswa miskin yang sedang melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa itu. kami berlima, aku, Agung, Tyas, Nina, dan Wawan kebagaian di tempatkan di sudut terpencil desa dengan topografi aduhai menguras tenaga. Sering motor wawan harus di dorong ke atas jalan, karena tidak kuat naik alias letoy, karena jalan desa yang begitu curam. Siang ini kami bertiga saja yang menyusuri jalan desa, aku wawan, dan tyas. Kami berencana mengajukan program pengerasan jalan di ruas jalan tersebut, maklum jalan itu cukup padat tapi terlihat tak terurus. Gimana wan, sebelah jalan ini saja yah? kataku Oke, aku setuju, kata wawan Wah....tapi ruas jalannya panjang, pasti mahal, Terang tyas Di proposal dicantumin butuh berapa dananya? tanya ku. Dua belas juta sa, kayaknya bakal kurang deh. Paling paling itu cuma bisa buat 5-7 M ran, timpal wawan pasti. Waduh masak cuma segitu, aku dan tyas geleng-geleng kepala. Ya itupun kalau dari pihak kecamatan di setujui semua. Hhhhmmm...kayaknya kita masih perlu dukungan warga deh. Betul, bentuk nya sumbangan seadanya. Siapa yang punya pasir bisa nyumbang pasir, yang punya semen nyumbang semen, yang punya batu nyumbang batu, trus yang gak punya apa-apa bisa nyumbang tenaga. Wah....ide bagus  tuh  sa. kata wawan dan tyas menyahut. Aku mau bantu jualin koran dan kertas bekas dari kampus n kost-kost an ku, lumayan buat tambah tambah. sahut tyas semangat. Cihuiiii...that's tyas that i love...rajuk ku. Hahaha.... Sambil terus berbincang dengan ide kita masing-masing, kami bertiga terus menyusuri jalan sunyi desa Legundi. Dan sering kali kita mengangguk  anggukan kepala ketika berpapasan dengan penduduk desa setempat. Ada juga yang masih sempat melambaikan tangan sembari duduk di jamban, maklumlah jamban yang umum di desa itu tidak beratap dan hanya berdidinding papan atau anyaman bambu setinggi 1 Meteran, dan lokasi nya disamping rumah dekat jalan. Jadi cukup strategis, sembari jongkok di jamban masih bisa ngobrol dengan tetangga yang lewat. Hahaha......sedikit rikuh sih pertama ngeliatnya. Tapi menjadi biasa kalau sering melihat. Jalan semakin menanjak, rumah penduduk semakin tak terlihat dan tak terasa matahari sudah lewat ubun-ubun, panasnya gak ketulungan. Ampun deh..... Waduh..aduh..panas banget sa...keluh tyas yang berjalan disamping ku. Iya neh, sabar di depan pasti ada warung... Wawan mempercepat langkah kaki yang panjang. Sedangkan aku dan tyas jauh tertinggal di belakang maklum tinggi kami tergolong mungil gak nyampe 160 cm. Jangan cepat-cepat wan....nanti kesasar kita. Benar saja cuma selang beberapa menit kami kebingungan mencari wawan. Kami berada di titik pertigaan jalan. Yang entah karena pusing dan sedikit dehidrasi kami jadi lupa arah pulang. waduh....sa, gak kuat aku. Mana gak ada orang lagi... Iya...kita istirahat bentar. Mana si Wawan juga ninggalin kita lagi, huh dasar....gerutuku sambil manyun. Sayup sayup dari jauh ada suara sepeda onthel di kayuh. Terlihat ada bapak bapak tua mengayuh sepeda sambil membaya sederet belalang gemuk yang siap goreng. Maklum di daerah ini belalang termasuk menu favorit, kalau sudah digoreng rasanya gurih seperti udang..hhhmmm nyammi. Mbak KKN...sahutnya, ngapain panas-panasan di jalan, ayo mampir di gubug saya. Ujar Bapak bapak mengayuh sepeda onthel, sambil turun dan menuntun sepedanya. Iya pak makasih..sahut ku dan tyas berbarengan. Segera saja kami berdua mengikuti bapak pengayuh sepeda onthel. *** Rumahnya tidak lah jauh dari pertigaan, rumah kecil yang belum di cat dengan halaman cukup luas.  Di sebelah kiri rumah ada kandang sapi, dan kebun kecil.  Kami dipersilahkan duduk di ruang tamu yang asri dengan mebel seadanya. Namanya adalah pak Wakijan, dia hanya tinggal berdua dengan istrinya. Anaknya ada tiga orang, yang dua orang merantau ke Jakarta sedang yang bungsu memilih jadi TKW di Malaysia. Lumayan katanya uang kiriman dari si bungsu bisa buat beli sapi dua ekor katanya. Bu Wakijan masuk ke ruang tamu dengan membawa nampan. Ayo nak silahkan diminum...ujar bu Wakijan sambil menawarkan teh manis kepada kami. Tanpa di suruh dua kali kami berdua langsung menyeruput teh tersebut. Walau masih sedikit panas, kami sedikit cuek. Haha..maklum kehausan. Rasanya manis dan menyegarkan. Pak wakijan lalu bercerita tentang musim panas tahun ini yang sedikit lebih panjang dari tahun kemarin. Simpanan air hujan di sumur tadah hujannya tinggalah sedikit, untuk mencuci baju, dan mandi dia harus pergi ke sendang/mata air yang jaraknya 15 an Km dari rumah. Sedangkan air sumur hanya di peruntukkan untuk minum dan masak sayur saja, untuk membeli air bersih itu cukup mahal Rp.90,000 per tangki, apalagi ke daerah yang lebih pelosok lagi, bisa Rp.100,000 an. Pak Wakijan merasa keberatan dengan harga patokan segitu, cukup berat baginya untuk mengeluarkan uang Rp.90-100 ribuan tiap minggunya hanya untuk air saja. Tak tega aku minum air teh suguhannya dan turut menghabiskan sisa simpanan air tadah hujan berharganya. Tapi kulihat gelas ku yang sudah kosong tandas, ku hela nafas  pelan.  Miris rasanya. Dalam hati aku hanya berdoa semoga musim kemarau cepat berakhir. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun