Mohon tunggu...
Ely Rizki
Ely Rizki Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Bukan sekedar gumpalan daging.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Segenggam Cerita Kala Mudik

3 Agustus 2014   22:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:31 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Syawal menunjukkan wajahnya dengan binar-binar senyuman. Ada yang spesial saat Syawal tiba: silahturahim dan saling memaafkan adalah hal yang telah menjadi ciri tersendiri saat bulan kemenangan itu hadir. Setelah berpuasa sebulan penuh di Bulan Ramadhan, maka seluruh insan menyambut bulan itu dengan berbagai aktivitas. Ada yang bersiap mudik, ada juga yang menyambutnya dengan memasak masakan khas kotanya.

Di Medan, cara masyarakat menyambut hari kemenangan dengan memasak lontong dan opor ayam. Guna untuk sajian para tetamu setelah shalat id dilaksanakan. Hari Raya Idul Fitri tahun ini mempunyai banyak cerita indah yang baik untuk dijadikan arsip di benak kita. Apalagi suasana lebaran ini sangat berbeda. Dari segi rumah, Alhamdulillah saya dan keluarga diberkahi rezeki untuk membeli rumah baru sekedar menukar suasana lama. Rumahnya lumayan besar namun tidak mewah. Tentunya dengan nikmat itu kita dapat bersyukur dengan keadaan yang layak tahun ini.

Baiklah, di sini saya berusaha membagi kebahagiaan pada kita semua. Tepat hari kedua lebaran, saya beserta sepupu berangkat menuju Desa Perupuk, Kabupaten Batubara. Sedikit cerita, Perupuk adalah desa kelahiran Ibu saya, bukan desa kelahiran saya. Sebab saya adalah anak kota Medan asli. Walaupun tempat saya lahir: di Kota Kisaran, akan tetapi Kisaran dapat dikatakan kota teduhan bagi Ibu saat melahirkan saya. Beberapa hari setelah kelahiran saya, kami kembali ke Medan. Hingga saat ini saya besar dan mengecap pendidikan di Medan.

Terlepas dari Kisaran. Desa Perupuk adalah desa yang sangat eksotis, dengan berbagai pantai tempat kita berjemur memanjakan tubuh dan menyegarkan mata. Sepenjang jalan kita selalu dijamu dengan pemandangan yang indah. Subhanallah, Maha Suci Allah menciptakan desa seindah itu. Sebelah kiri dan kanan kita disugukan pepohonan yang manakala angin menghembus maka mereka akan bergerak mengikuti irama angin yang meniupnya. Belum lagi suasana perkampungan yang masih kental dengan adat melayu. Bahkan kantor dinas-dinas di sana bukan berbentuk bangunan kantor layaknya Medan, tetapi didesain dengan bangunan ala melayu punya. Warna kuning yang khas, dengan perpaduan tangga dan tiang kayunya. Semakin menambah ciri tersendiri bagi kampung ini.

Tepat ‘midnight’ saya dan para sepupu berangkat melaju dengan mobil Avanza hitam milik kakak sepupu saya. Hingga sampai di tujuan pukul 03.30 Wib. Kala orang-orang pulas dan nyenyak dengan kasurnya, namun kami berpegang pinggul masing-masing tanda sakit. Terasa kantuk dan sakit di pinggang, hingga pagi pun terlewatkan 4 jam. Ya, kami telat bangun pagi sampai pada pukul 09.00 Wib. Luar biasa!!!

Cerita belum habis sampai pada pegal linu. Akibat terkena angin malam kepalaku diserang Migrain yang cukup panjang. Sekita dua hari menahankan sakit di kepala kanan. Namun anehnya Migrain ini menyerang saat selepas tidur dan siang hari. Sungguh aneh bin ajaib.

Stop!! Khawatirnya biasa saja dungss!!

“Saya hanya Migrain dua hari saja kok! Hehehe!”

Hari berganti hari. Tujuan telah berubah sesuai situasi dan kondisi. Tujuan awal sedari rumah adalah liburan dan meciptakan jejak lebaran yang ‘wah’ dengan berrekreasi ke tempat wisata. Namun, itu adalah tujuan awal yang telah berubah setelah tiga hari di Kampung tercinta.

“Anda mau tahu?”

Oke, keadaannya saya di sana berpartisipasi pada acara khitanan. Ikut membantu memotong cabai, merasakan aroma khasnya lembu. Pada intinya saya bukan liburan melainkan ‘lagan’ (membantu acara pesta) istilah ibu-ibu jawa. Baiklah, bukankah membantu orang adalah sebagian ibadah?

Hari selanjutnya hingga saya ‘back to Medan’ sama halnya dengan hari sebelumnya. Saat siang berpartisipasi acara pesta saudara. Namun, ada yang menjadi cerita ketika bersua dengan sepupu yang berkuliah di Aceh. Sist N itulah inisialnya. Saya menyebutnya penjajah, penjajah saat tidur dan saat bermain. Ya, tetapi itu adalah sebutan lelucuan saja. Saya tidak mengambil hati atas sikapnya. Sebab bermain dengan dia adalah hal yang paling menyenangkan, candaannya tiada habis. Teman ‘klop’ dalam bersaudara. Bahkan ketika jauh akan ada namanya rindu yang menghidupi sanubari bersama segenap suasana saat bermain dengannya. Itulah bersaudara.

Saudara adalah manusia yang paling dekat dengan kita. Segalanya ia mengerti, sebab ia juga bagian dari keluarga kita.

Segenggam cerita di Batubara, segenggam namun bermakna. Walau tak semenarik mungkin tetapi ada hal yang dapat dijadikan cerita kepada kita semua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun