Mohon tunggu...
Ellya Syafriani
Ellya Syafriani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi yang ga mahabisa

Masih dan akan tetap dalam proses belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hujan di Negeri Seribu Suluk

5 Januari 2021   17:14 Diperbarui: 5 Januari 2021   17:30 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Maka Mak kerap mengatakan, kalau aku ini sebenarnya masih terjebak dalam masa kecilku dulu.

Saat hujan turun, hal yang paling menarik perhatianku adalah suaranya yang turun dengan deras, menutupi kebisingan, dan mengguyur badanku dari rasa penat. Saat tumpukan esai mengganggu istirahat dan list deadline menumpuk tanpa spasi, aku berbisik kepada Tuhan; semoga hujan turun dihari ini untuk membantu segala rasa lelahku. Akan tetapi bisikanku tidak terjabah oleh-Nya. 

Kadang-kadang jika hujan datang tanpa permohonan aku pun langsung pergi keluar. Menerobos pintu dengan suka cita, lalu aku menari di bawahnya. Menertawakan tugas kuliah, dan beban hidup lainnya. Lalu orang-orang rumah akan saling menyetujui ucapan mak, kalau aku ini masih terjebak dalam masa kecil. Bahkan abangku menggelari aku dengan sebutan gila.

Di sudut daerah pada salah satu kabupaten di Provinsi Riau, bernama Negeri Seribu Suluk, Rokan Hulu. Hujan di sini serupa seperti di tempat lain. Ada angin dengan awan yang gelap, atau jatuhannya yang deras dengan matahari yang menyengat.

Tidak ada sesuatu yang mengkhas kan hujan di Rokan Hulu, semuanya sama saja. Mungkin jika ada perbedaan, Rokan Hulu bukan tempat yang mudah terserang banjir seperti di Jakarta. Kalaupun ada banjir, mungkin hanya di beberapa kecamatan dengan dataran yang rendah.

Misalnya pada Kecamatan Kunto Darussalam, saat kalian kemari maka perhatikan jalanan Kota Lama yang sudah menenggelamkan badan manusia hingga selutut.

Aku jadi teringat waktu SMA, hendak pulang ke rumah karena libur panjang. Travel melewati beberapa rumah yang tenggelam yang kuperhatikan ternyata tidak ada lagi peghuni di sana. Saat mobil melaju, di sebelah kanan persimpangan aku melihat ada tenda besar berwarna biru.

Biru yang khas dan menunjukkan bahwa itu adalah tempat pengungsian. "Banjir," ucap pak supir waktu itu. Mataku asik menyapu pandangan sawit yang dijepit beberapa rumah. Lalu tidak lama dari pandangan tenda biru itu, anak-anak dengan celana pendeknya bermain-main air yang kecokelatan. 

Kembali kepada hujan; suatu momen yang kedatangannya sangat kutunggu. Dulu waktu aku kecil, ada saja julukan dengan kedatangan hujan di sini. Kalau hujan panas, maka itu ada orang meninggal. Makku sendiri sering kali menegur, kalau kepalaku terkena hujan panas maka cepat-cepat mandi supaya tidak sakit kepala.

Kalau hujan turun tidak dengan deras dan langit di atas sana berwarna abu-abu kelam, maka itu tandanya dunia telah kehilangan seseorang yang sangat berarti. Alam menangis katanya, karena itu hujan mengguyur menandakan ia tengah beduka cita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun