DALAM sistem demokrasi, menjadi pemimpin pemerintahan berarti merebut suara rakyat. Suara rakyat sangat menentukan terpilihnya seorang kandidat untuk duduk di singasana jabatan. Demokrasi mengajarkan bahwa, harga suara rakyat dalam pemilihan umum (Pemilu) nilainya sama dan menentukan. Sebab itu sistem demokrasi mengenal ungkapan vox populi vox dei, suara rakyat berarti suara Tuhan.
Abraham Lincoln, mantan Presiden Amerika merumuskan demokrasi dengan ungkapan yang populer; a government from the people, by the people, and for the people, pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Benarkah demikian?
Pesta Demokrasi…
Realita di setiap pesta demokrasi dunia terlebih lagi di Indonesia, baik di tingkat regional yaitu kabupaten atau provinsi (Pemilukada) dan di tingkat nasional dalam pemilihan kepala negara (Pilpres) bahwa suara rakyat tidak lagi berarti suara Tuhan. Vox populi bukan vox dei. Karena suara rakyat sudah dapat dibeli dan dipengaruhi melalui pesta demokrasi dengan menelan biaya yang cukup tinggi.
Suara rakyat adalah suara politik pencitraan atas penguasaan media dan plus survei abal-abal pesanan. Dalam sistem demokrasi kekinian, suara “Tuhan” berarti suara partai dan kandidat yang memiliki lumbung kekayaan.
Melalui pesta demokrasi, yang terbentuk hanyalah ajang tebar pesona dan janji program berpihak pada rakyat bila terpilih. Saat kampanye, seluruh kandidat pasangan yang bertarung bagaikan Tuhan yang siap menyejahterakan dan mengatur kehidupan hambanya. Bila rakyat ragu, maka diyakinkan melalui baliho dan media informasi lain seperti televisi, koran, dan radio. Masih juga ragu, maka rakyat diberi baju kaus, uang, dan suguhan artis dangdut murahan.
Rakyat memilih pemimpin bukan karena kualitas sosok pribadi berupa keahlian dan kompetensi yang dimiliki, tetapi cenderung diukur dari banyaknya pasokan yang diberi. Kandidat yang banyak menebar uang berselimut bantuan, baik kepada kelompok tertentu atau langsung ke pribadi, jelas yang menerimanya termakan budi. Maka, ia harus memilih yang memberi meskipun bertentangan dengan nurani. Membela yang bayar meskipun jelas tidak benar. Inilah jalur pembodohan berdemokrasi itu. Tidak heran muncul ungkapan orang Batak, hepeng do namangatur negara on, uang yang mengatur negara ini.
Kasus suap untuk memenangkan pasangan tertentu dalam Pemilukada, yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar adalah fakta yang tak terbantah, bahwa uang yang berkuasa. Yang bayar yang menang. Jargon “membela yang bayar bukan yang benar” adalah sebuah realita. Maka tidak heran beberapa pejabat di daerah ditengarai bukanlah pejabat pilihan rakyat, tetapi pejabat (maaf) penjahat hasil permainan kotor politik uang. Jika benar, ini merupakan pengkhianatan besar atas demokrasi pilihan rakyat.
Dua Karakter…
Sistem pesta demokrasi dengan biaya yang cukup tinggi dalam rangka mencari simpati rakyat telah membentuk dua karakter. Pertama, karakter pemilih (masyarakat) yang bergantung kepada patron. Patron yang dimaksud di sini adalah kandidat pasanganyang memiliki lumbung kekayaan. Masyarakat memilih pemimpin karena ada imbalan bukan pertimbangan kompetensi kepemimpinan sosok yang dipilih.
Survei menunjukkan, hampir 70 persen masyarakat bersedia menerima uang dari calon legislator pada Pemilu 2014. Angka ini melonjak dibandingkan 40 persen berdasarkan hasil survei lima tahun lalu menjelang Pemilu 2009 (Tajuk Koran Republika, 1/4/2014). Jika dahulu masyarakat khawatir adanya ‘serangan fajar’ menjelang Pemilukada dan Pilpres, tetapi sekarang masyarakatlah yang berharap dan menunggu adanya ‘serangan fajar’ tersebut.
Kedua, lahirnyapemimpin bermental klien. Pemimpin bermental klien selalu ingin dilayani bukan melayani, mentalnya menerima bukan memberi, korup dan seterusnya. Tidak heran kemudian sistem demokrasi Indonesia lebih cenderung melahirkan--meminjam istilah budayawan Riau, UU Hamidy--pemimpin Belalang meskipun kita hidup di Negara Garuda. Seorang pemimpin negara dan wakil rakyat sejati, tentu pantang berbicara apalagi mengeluh tentang gaji!
Demokrasi Kebablasan…
Selama ini demokrasi selalu didukung dengan alasan superioritas nilai-nilai demokrasi itu berupa liberalisme, pluralisme dan kesetaraan. Fakta yang terjadi, makna kebebasan, perbedaan, dan kesetaraan dihakimi oleh pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Atas nama demokrasi nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan, perbedaan, dan kesetaraan didefenisikan sebagai kebenaran sepihak menurut kepentingan komunitas tertentu.
Suatu partai koalisi terbentuk misalnya, dimaknai bahwa anggota partai tidak boleh berbeda. Kalau berbeda dianggap menentang kesepakatan koalisi, meskipun bersepakat untuk ketidakbenaran. Kritis terhadap kasus penodaan dan penistaan suatu agama misalnya, malah dianggap tidak menghargai perbedaan dan melanggar HAM. Inilah demokrasi kebablasan!
Sebuah peringatan bahwa: “Negara Indonesia tidak akan pernah beranjak menjadi negara demokratis karena kultur politik yang dibangun para elitenya semata-mata melanjutkan tradisi politik feodal yang diwarisi dari masa lalu berupa monarki, atau kerajaan” (Harry J Benda, 1964).
Feodalisme adalah sistem politik atau sosial yang memberikan kekuasaan kepada golongan bangsawan dengan memuja jabatan bukan prestasi kerja (lihat KBBI). Tidak heran misalnya, bila bapak mewarisi tahta jabatan kepada anaknya. Jabatan suami berakhir digantikan oleh sang istri. Istri kepada menantu, dan seterusnya. Gejala ini populer belakangan disebut dengan istilah dinasti kekuasaan. Penulis menyebut gejala ini dengan nasab kekuasaan. Kekuasaan dan jabatan diperoleh karena adanya “Perda”, alias pertalian darah dan dana.
Digugat…
Sistem demokrasi, di mana pun ia dipraktikkan di bumi ini belum pernah mencatat sejarah sebuah negara menjadi gagah dan berjaya, banyak melahirkan pemimpin adi luhung dan mencerahkan kehidupan masyarakatnya. Tidak heran kemudian, taji demokrasi sejak lama dipertanyakan. Banyak ragu bahkan sudah menggugat demokrasi.
Plato, filsuf yang berasal dari Yunani, sebuah negara yang dianggap kiblatnya demokrasi dunia (sekarang negara bangkrut!), bahkan menganggap demokrasi hanya melahirkan pemimpin pandir (pecundang). Berkuasa dan mengatur negara karena dukungan banyak dan sembarangan orang (suara pelacur misalnya sama nilainya dengan suara seorang ulama). Karena banyak dan sembarang orang itulah, maka banyak kepentingan. Banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan pada akhirnya membuat pemimpin hasil demokrasi sekuler tidak bebas membuat kebijakan. Kebijakan untuk menunda polisi wanita (Polwan) Muslimah untuk tidak berjilbab misalnya,satu contoh bau aroma kepentingan.
Pada tahun 2007 dalam seminar yang diselenggarakan oleh American Academy of Art and Sciences, Robert Kaplan, seorang wartawan dan penulis buku, dalam makalahnya yang berjudul The New Evil of The 21 Century menyimpulkan, bahwa demokrasi dapat menjadi kejahatan politik. Kaplan menegaskan, tidak ada negara dibentuk berdasarkan demokrasi. Negara adalah perjuangan panjang melalui pemukiman penduduk, migrasi, atau perang.
Inilah demokrasi yang dicontohkan oleh negara Amerika, Prancis, Inggris, dan Australia. Negara ini sering berkoalisi menginvasi negara lemah atas nama demokrasi. Invasi ke Irak atau Libya merupakan contoh nyata. Demokrasi tidak lebih merupakan sumber kejahatan politik Amerika dan negara kroninya. Mantan Presiden AS, George W Bush pernah berkata: “Jika kita ingin melindungi Negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi”(Koran Kompas, 6/11/2004). Sebuah ironi. Memang.
Mahathir Mohammad (2003) dalam pidato terakhirnya sebagai Perdana Menteri Malaysia dan Ketua Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) di parlemen mengatakan; “Obsesi kebebasan demokratis dapat berkembang ke arah anarki. Keyakinan jika demokrasi diimplementasikan maka segala sesuatunya akan beres sama sekali tidak berdasar, terutama jika demokrasi langsung diterapkan”.
Pilihan…
Demokrasi sekuler yang mengagungkan kemampuan manusia dan mengabaikan kekuasaan Tuhan dalam mengatur kehidupan bernegara bukan sebuah jawaban bin bukan sebuah pilihan. Demokrasi, kalau memang harus demikian, maka harus berazaskan teokrasi. Di mana kekuasaan rakyat sebagai kumpulan manusia beridentitas khalifah harus tunduk kepada hukum (syariat) Allah Subhaana wa Ta’alaa sebagai pencipta sekaligus pengatur kehidupan manusia.
Untuk itu, Indonesia saat ini butuh ‘pemimpin syariat’ yang memiliki karakter negarawan sekaligus agamawan. Nasionalis sekaligus Islamis. Mengapa Islamis bukan yang lain? Karena sejarah telah pernah mencatat, dunia telah mengakui, bahwa di bawah kepemimpinan pemimpin-pemimpin Islam yang di dada mereka terhujam iman dan takwa, serta memuliakan syariat Islam terbukti mampu memberi keadilan dan kedamaian di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk (pluralitas).
Will Durant dalam The Story of Civilization, Vol .XIII hal.151 menulis: “Para khalifah (Islam-pen.) telah memberi keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukannya dan memberi kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, di mana fenomena itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka”(dikutip dari Media Ummat, Edisi 124, 19 Jumadil Awal – 3 Jumadil Akhir 1435 H/ 21 Maret – 3 April 2014)
Bacalah satu kisah sejarah kepemimpinan islami dari cicit khalifah Umar bin Khattab RA, yakni Umar bin Abdul Aziz yang semasa kepemimpinannya dikisahkan, Domba dan Srigala bisa hidup rukun dan damai. Biji Gandum sebesar biji Bawang (riwayat Imam Ahmad). Artinya, pemimpin yang adil, beriman dan betakwa, menegakkan nilai-nilai syariat agama; jangankan manusia, binatang pun merasakan pengaruhnya!
Sebaliknya, pemimpin yang alergi bahkan menolak syariat agama, dan dzalim! adalah sumber munculnya kemaksiatan dan musibah di mana-mana. Di negeri ini, jangan-jangan hanya satu di dunia, di mana pelacur umur 60 tahun harganya Rp1000 sampai Rp2000 dan pelanggannya anak SD dan SMP (Lihat wawancara Najwa Shihab dengan Risma, Wali Kota Surabaya di acara Mata Najwa MetroTV beberapa waktu lalu).
Oleh sebab itu, sistem demokrasi sekuler an sich jelas sebuah kesombongan. Bukan jawaban. Tidak memilih pemimpin yang mencintai syariat Islam, bahkan bersimpati dengan pemimpin kafir, jelas sebuah kemunkaran. Tugas bersama yang pasti saat ini, untuk membeli masa depan dengan harga hari ini, adalah pendidikan (tarbiyah) ummat harus terus berlangsung sehingga memunculkan generasi-generasi Rabbani dan Qur’ani untuk sebuah cita-cita membangun masyarakat madani (civil society). Sebuah peradaban yang diberkahi berdasarkan janji Allah Ta’ala (lihat QS Al-A’raf: 96) dengan dasar iman dan takwa! [] Wallahu A’lam. [Tulisan telah dimuat di Majalah Tabligh PP Muhammadiyah, April 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H