Pemandangan sampah yang menghiasi sungai-sungai di beberapa kota besar Indonesia bukan menjadi sesuatu yang baru lagi sejak dulu. Jangankan berinisiatif memungut, masyarakat seolah membiasakan kegiatan buang sampah di sungai maupun tempat-tempat yang tidak seharusnya. Terbiasakannya hal seperti ini tanpa disadari membawa dampak lainnya. Misalkan saja penggunaan plastik sekali pakai dan barang-barang rumah tangga yang pemakaiannya menghasilkan banyak sampah. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Filipina dan Malaysia turut menjadi tempat pembuangan sampah dari negara-negara maju.Â
Berdasarkan data yang didapatkan dari The Economist Intelligence Unit tahun 2017, Indonesia mendapat gelar negara dengan penyumbang sampah terbesar kedua di Dunia. Jika sampah tersebut dibagi rata, setiap individu setidaknya menyumbang sebanyak 300 kg sampah. Komposisi jenis sampah yang mendominasi adalah sampah sisa makanan, disusul sampah plastik, sampah kayu atau ranting daun, sampah kertas atau karton, dan lainnya. Penghasil sampah urutan teratas bersumber dari rumah tangga, pusat perniagaan, pasar tradisional, perkantoran, dan fasilitas publik.
Dari data yang dipublikasi oleh Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa Indonesia sudah ditahap darurat akan sampah plastik karena sampah yang dihasilkan berjumlah 64 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3,2 juta ton sampah plastik dibuang ke laut. Karena itulah, dari data Kementrian Kelautan dan Perikanan, Indonesia menempati urutan kedua penyumbang sampah plastik dengan jumlah 3,21 juta ton/tahun. Jumlah tersebut berada persis di bawah negara China yang menempati urutan pertama.
Namun, kenyataannya dari jumlah sampah yang dihasilkan dan urutan kedua yang telah diperoleh berbanding terbalik dengan pelaku usaha yang malah mengimpor sampah dari luar negeri yang umumnya sampah tersebut berasal dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Perancis, Australia, Jerman dan Hongkong. Jika dilihat dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya, kegiatan impor sampah sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Hanya saja harus sesuai aturan, yakni Non Bahan Beracun Berbahaya. Di dalam peraturan tersebut juga menjelaskan bahwa sampah yang diimpor berupa sisa buangan atau reja, scrap, dan tidak terkontaminasi limbah B3 atau limbah lain yang tidak tertulis di Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016.
Menurut data pemeritah, impor sampah plastik di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2018 saja negara ini menampung 320,4 juta kilogram sampah plastik, berbanding jauh dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 128 juta kilogram. Bea cukai Indonesia juga kerap memulangkan 49 kontainer sampah ilegal yang berasal dari Amerika Serikat, Jerman, Perancis, dan Hongkong karena melanggar aturan yang ditetapkan.
Banyaknya peraturan yang telah ditetapkan tidak membuat pelaku impor sampah ilegal berkurang, malah semakin banyak yang tergiur melakukan penyelundupan sampah dari negara maju. Pihak pengimpor sampah menganggap bisnis ini menguntungkan. Bagaimana tidak, satu ton sampah diberi harga sekitar 40 dollar AS. Meskipun angka tersebut belum tentu benar, tetapi ada pihak luar yang membayar dengan harga tersebut. Apalagi setelah China memutuskan untuk menutup pintu impor sampah dari luar negeri sejak 2018 kegiatan impor sampah semakin meningkat.
Selain itu, alasan lain terjadinya impor sampah berhubungan dengan kebutuhan bahan baku industri. Salah satu contohnya adalah industri kertas. Industri kertas menggunakan sampah kertas (waste paper) untuk didaur ulang menjadi kertas baru. Hal yang perlu menjadi perhatian sampah kertas yang diimpor disertai sampah plastik. Lembaga Ecological Observation and Wet Conservation (Ecoton), mencatat sebanyak 12 pabrik kertas yang ada di Jawa Timur yang melakukan impor sampah kertas jenis scrap disusupi oleh sampah rumah tangga, terutama plastik mencapai 35%.
Pihak Ecoton mendapatkan ada aktivitas pembuangan sampah jenis plastik scrap atau sampah plastik basah, potongan kertas dan plastik kecil. Sampah tersebut didumping di daerah bantaran sungai dan pemukiman warga yang tidak terkelola dengan baik. Lembaga Ecoton juga menemukan serpihan mikroplastik berbentuk fiber, fragmen, dan lembaran pada tempat pembuangan limbah cair dari industri kertas.
Keadaan ini seharusnya bisa dicegah jika pemerintah memberi peraturan dan sanksi yang tegas. Aturan ini hanya menjadi angin lalu jika masyarakat termasuk pihak yang kerap melakukan impor sampah tidak turut mematuhinya. Pemerintah juga harus lebih tegas dalam memberi definisi sampah dan jenisnya. Selain itu, Indonesia diklaim menjadi negara penghasil sampah plastik terbanyak kedua di dunia, setelah China. Dari kondisi tersebut perlu dilakukan gerakan anti penggunaan plastik sekali pakai dalam rangka menekan angka penumpakan sampah. Misalnya dalam berbelanja, masyarakat sekarang sudah mulai masif membawa kantong belanja sendiri, membawa botol minum sendiri dibandingkan membeli air minum dalam kemasan agar mengurangi produksi sampah plastik. Namun, dalam prakteknya gerakan ini membutuhkan konsistensi yang tinggi.
Hal yang paling penting yaitu adanya revisi aturan dalam impor sampah. Pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun untuk mencegah masuknya sampah ilegal. Revisi tersebut juga berguna untuk menyaring barang-barang yang bisa masuk berdasarkan kode harmonized system lebih spesifik dikarenakan definisi dari sampah, plastik, dan kertas menjadi perdebatan oleh bidang perdagangan dan perindustrian. Langkah lain yang bisa ditempuh adalah mengikuti jejak China yang dengan tegas dalam menutup pintu impor sampah. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H