Konsep otonomi kita mestinya pemerintahan propinsi adalah sub ordinat dari pemerintahan pusat dan pemerintahan kabupaten/kota adalah sub ordinat pemerintahan propinsi, sehingga otonomi seharusnya diberikan kepada pemerintahan propinsi.
Semenjak otonomi diberlakukan di kabupaten/kota banyak sekali program-program dan kebijakan pemerintah pusat atau perencanaan nasional yang tidak bisa berjalan lancar karena ada semacam bottle neck di daerah dan semua pihak berpegang pada undang-undang ketentuan yang ada. Di daerah propinsipun demikian, banyak perencanaan dan tata ruang yang tidak bisa dijalankan, oleh karena otonomi yang dimiliki kabupaten/kota. Sehingga sekarang ini jangan heran bila ijin-ijin banyak diberikan pemerintahan kabupaten/kota kepada perusahaan-perusahaan untuk mengeksplotasi daerahnya guna mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan tidak sedikit lingkungan alam di negeri kita yang telah rusak akibat kegiatan eksploitasi tersebut.
Sekiranya pemerintah pusat khawatir dari segi politis dengan pemberian otonomi kepada propinsi apakah itu berupa separatisme disintegrasi bangsa atau yang berhubungan dengan kepentingan politik negara lainnya, maka pemerintah pusat bisa saja menempatkan kekuatan pengamanan yang lebih pada propinsi-propinsi yang dianggap punya potensi seperti itu. Satuan-satuan keamanan POLDA beserta jajaranya ditambah KOREM beserta jajarannya pada setiap propinsi sudah dipandang cukup untuk menciptakan stabilitas dan keamanan di daerah, dan mereka juga adalah bagian yang tak terpisahkan dari pemerintahan yang ada di daerah, karena mereka disertakan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang ada di daerah, terutama terhadap hal-hal yang memerlukan keamanan.
Namun sebelum menyerahkan atau memberikan otonomi pada propinsi, memang sistem pemilihan kepala daerah perlu diubah, dimana calon-calon kepala daerah tersebut harus terlebih dahulu direstui oleh pemerintah pusat untuk dipilih oleh rakyat. Pemerintah pusat yang akan mengukur kapasitas dan integritas calon-calon tersebut atau calon-calon tersebut harus lulus dari ujian-ujian kursus atau pendidikan dari LEMHANAS. Jangan sampai kepala daerah yang terpilih tidak mempunyai kapasitas kapabilitas dan integritas. Sangat disayangkan dalam pemilihan selama ini bila ada pemimpin kepala daerah yang sebetulnya tidak cukup syarat untuk menjabat sebagai pemimpin kepala daerah karena tidak mengerti dengan ketatanegaraan, hukum, birokrasi dan lain sebagainya dalam seluk beluk pemerintahan. Dan yang parah lagi bila tidak mengerti dengan demokrasi yang sesungguhnya.
Akan halnya kepala pemerintahan di kabupaten/kota tetap dipilih oleh rakyat, namun tidak perlu harus dicalonkan oleh partai, melainkan cukup calon independen atau sejauh mana ketokohan seseorang didaerah tersebut. Begitu juga dengan anggaran belanja daerahnya diusulkan lewat pemerintahan propinsi, namun bukan pemerintahan propinsi yang menentukannya melainkan langsung pemerintah pusat, pemerintah propinsi hanya menyalurkannya saja dan memberi catatanbila memang dianggap perlu. Sehingga dengan demikian tidak perlu berjubel para kepala daerah atau stafnya setiap tahunnya ke dirjen anggaran untuk mengurus anggaran APBD. Pemindahan otonomi ke propinsi bukan berarti pemerintahan propinsi bisa sewenang-wenang dan mendikte daerah/kabupaten dalam membuat program dan perencanaan. Pemindahan otonomi ini bertujuan agar sistem kerja birokrasi dari pusat ke daerah (top-down) bisa lancar begitu juga sebaliknya jalur birokrasi dari daerah ke pusat (bottom-up) berada dalam alur manajemen sistem yang benar. Bagaimanapun sistem desentralisasi kita harus berada dalam kerangka sistem yang tidak jomplang sehingga terjadi kesatuan yang simetris. Sistem desentralisasi juga harus nyambung dengan sentralisasi. Desentralisasi dimaksudkan agar pelayanan kepada rakyat dapat lebih cepat diproses tanpa harus menunggu keputusan pemerintah pusat, karena wewenangnya sudah diserahkan pada pemerintah daerah. Konsepotonomi kita sesungguhya bukanlah seperti konsep negara federal, walaupun dalam satu sisi ada kesamaan seperti misalnya dalam bagi hasil pendapatan daerah dengan pusat, namun tetap saja pemerintahan daerah tidak bisa semaunya membuat program yang tidak sesuai dengan perundangan negara atau apa-apa yang menjadi program perencanaan nasional. Desentralisasi tidak berarti bottom-up melulu, namun ada program sentralisasi top-down kepentingan nasional yang kadang juga membutuhkan keterlibatan anggaran daerah untuk mewujudkannya. Maka istilah Desentralisasi dan Sentralisasi harus bisa dimaknai secara benar dan proporsinal. Desentralisasi dan Sentralisasi adalah satu kesatuan manajemen pemerintahan pusat dan daerah dalam pembangunan bangsa dan negara.
Sesungguhnya keberadaan partai di daerah-daerah tidak sebegitu penting seperti di pusat atau pada level nasional, walaupun keberadaannya tetap tidak bisa diabaikan untuk urusan pemilihan nasional sekali dalam 5 tahun dan juga untuk menampung berbagai aspirasi dan permasalahan yang terjadi di daerah untuk diteruskan ke tingkat nasional, sehingga partai harus berkantor didaerah-daerah. Sebab fenomena yang terjadi banyak klaim dari partai terhadap kemajuan daerah yang seolah-olah peran partai besar terhadap kemajuan, namun sebaliknya tidak ada klaim terhadap kemunduran. Padahal sesunguhnya kemajuan atau apapun itu tidak ada korelasinya dengan partai secara signifikan.Dengan stereotype seperti itu partai merasa punya andil besar terhadap kepala daerah dan daerah tersebut. Padahal kalau kita perhatikan dengan pemilihan langsung selama ini keberadaan partai tidak menjadi alasan pilihan rakyat, karena rakyat sebenarnya lebih cenderung melihat figur tokoh untuk dipilih, lagipun yang banyak menyukseskannya adalah tim suksesnya beserta relawan yang sama sekali tidak ada kaitan dengan partai. Disamping itu oleh karena partai merasa telah berjasa mendudukkannyasehingga partai tersebut seperti bisa berkehendak apa saja didaerah yang kepala daerahnya berasal dari partainya guna kepentingan untuk menyiapkan pemenangan pemilihan dimasa berikutnya, termasuk menggunakan fasilitas pemerintahan, selain itu kepala daerah tersebut jadi seperti mesin pencari dana buat partai.
Dengan begitu hubungan Partai dengan kepala daerah atau daerah dapat diputus dan kepala daerah tidak punya kewajiban atau tanggungjawab moral terhadap partai. Dan tidak ada pengkotak-kotakan daerah menurut kemenangan partai didaerah, karena sesunguhnya kepentingan partai terhadap keterkaitan hal ini hanya sementara saja disaat pemilu dan tidak perlu didramatisir bahwa kondisi tersebut berarti untuk selama lima tahun secara organik.Sebab hal ini pulalah yang membuat ketidakharmonisan dan kesenjangan antar lembaga pemerintahan sehinggga pemerintahan sedikit banyak terganggu oleh karena adanya hubungan khusus dengan partai tersebut. Seharusnya campur tangan partai di daerah tidak perlu ada, partai seharusnya hanya diperuntukkan untuk urusan kepentingan nasional, namun partai berhak dan bertugas memonitor kegiatan di daerah-daerah mencari masukan untuk pembahasan di tingkat nasional. Dan untuk yang mewakili rakyat di parlemen daerah atau DPRD propinsi cukup dengan pemilihan anggota DPD dari tiap-tiap kabupaten/kota dan untuk yang mewakili rakyat di parlemen DPRD kabupaten/kota berasal dari anggota DPD dari tiap-tiap kecamatan.
Dengan begitu keberadaan partai di daerah jelas bahwa keberadaannya semata-mata untuk pemenangan pemilu dimasa berikutnya. Dan kalaupun salah satu partai menang didaerah tersebut, itu bukan berarti partai tersebut ada kaitannya dengan pemerintahan yang berkuasa, karena kepala pemerintahan daerah tidak dipilih berdasarkan partai melainkan calon independen, begitu juga anggota legislatif di daerah bukanlah berisi orang-orang partai.
Kita berkepentingan untuk memisahkan jalur partai dengan pemerintahan daerah karena kita hanya ingin menempatkan partai pada tingkat level nasionalsaja. karena memang para anggota DPR dari partai yang kita pilih dibutuhkan perannya untuk membahas persoalan-persoalan nasional dan melegislasi undang-undang, mensyahkan anggaran serta memonitornya, namun tidak termasuk mengawasinya seperti supervisor. Sedangkan DPRD sesungguhnya volume pekerjaan yang ada tidak begitu besar seperti DPR, mereka anggota DPRD tidak harus membuat banyak perda dan dinamika yang ada didaerah tidak sebegitu luas seperti level nasional, karena pemerintahan di daerah hakikatnya hanya melaksanakan apa-apa yang dibuat pemerintahan pusat dan dalam membuat perdapun tidak bisa menyalahi ketentuan perundangan dari pusat, oleh karena itu keberadaan anggota partai di DPRD tidak begitu dibutuhkan secara signifikan.
Maka dengan begitu kita bisa membedakan fungsi kelembagaan antara Partai-partai dengan DPD yang ada di DPR, bahwa fungsi, misi dan lingkup pekerjaankeduanya berbeda sama sekali. Partai-partai hadir dari pusat untuk daerah-daerah (top-down) dalam urusan-urusan nasional sehingga Partai harus berkantor di daerah-daerah termasuk untuk kepentingannya menyiapkan diri di pemilu berikutnya.. Sedang kehadiran DPD adalah dari daerah-daerah untuk pusat (bottom-up) dan bertemu di titik kumpul di gedung parlemen DPR untuk sama-sama membahas persoalan bangsa. Walaupun sebenarnya anggota legislatif yang berasal dari partai dan anggota DPD juga sama-sama berasal dari daerah sesuai daerah pemilihannya. Dengan begini jelas job deskripsi pekerjaan masing-masing antara lembaga partai dengan lembaga DPD di Gedung parlemen pusat.
Kalau kita ingin berubah dan lebih baik lagi, mestinya perkara partai-partai ini harus bisa dituntaskan sistem dan ketentuannya karena terlalu banyak persoalan yang muncul yang membuat bangunan demokrasi kita tidak jelas. Dengan sistem pemilihan langsung sekarang ini peran partai hanya semacam armada bus yang ada di terminal. Ada banyak armada bus yang akan mengantarkan calon penumpangnya ke tujuan, ada penumpang tetap (kader partai) dan ada penumpang musiman yang sering muncul disaat pemilu legislatif akan dimulai. Bagi pemilik armada bus tidak jadi soal mana yang akan lebih dulu diantar sampai tujuan. Namun kenyataannya yang banyak diantar ke tujuan adalah yang punya modal cukup dan yang populer dari kalangan apa saja walaupun tidak jelas track recordnya di dunia politik maupun di masyarakat. Seharusnya partai-partai kita seperti kereta api di rel doubel track yang siap memberi pelayanan pada para penumpang tanpa terkecuali, dan yang berada di gerbong paling depan adalah kader-kader yang siap untuk diketengahkan di pentas nasional.
Maka untuk dapat merubah ini, partai tidak perlu seperti armada bus yang jumlahnya banyak tersebut. Partai harus merger dan bertransformasi menjadi kereta api, dan kereta api tersebut pastilah hanya melintas dijalur-jalur penting (Nasional) karena jalur lainnya (Daerah) bukan dalam layanan kereta api lagi. Partai hanya perlu menyiapkan lokomotiv dan gerbong, karena jalan rel sudah disiapkan negara, itu artinya negara akan ikut menyiapkan dana untuk partai sebatas untuk pembangunan infrastruktur jalan rel tersebut. Demokratisasi ditubuh partaipun harus terjadi, karena feodalisme kekuasaan di partaipun juga jadi hambatan dalam menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat, ciri kapitalisme dan senioritas di partai harus bisa ditransformasikan kedalam budaya demokrasi yang sesungguhnya. Oleh karena itu merger beberapa partai dalam suatu kubu sejak awal sehingga membentuk kekuatan yang besar untuk pemilihan berikutnya akan sangat efektif dalam rangka menerapkan sistem presidensial dan mendapatkan kursi yang cukup di legislatif guna melancarkan kebijakan dan program-program pemerintah.
Begitulah seharusnya peran partai di negara kita, karena sesungguhnya sudah jelas bagi kita dan hal itu bukanlah sesuatu yang tabu bahwa realitas keberadaan partai guna dan misinya adalah untuk meraih kekuasaan pemerintahan, karena dalam mekanisme demokrasi, peralihan kekuasaan yang sudah habis masanya akan digantikan oleh partai pemenang pemilu, namun hal ini mestinya berlaku untuk pemerintahan pusat saja, dan tidak berlaku untuk di daerah dengan alasan sebagimana yang disebutkan diatas.
Dan bila kita perhatikan paradigma yang ada semenjak perubahan kedalam sistem pemilihan langsung tidak lagi seperti sebelumnya. Dengan pemilihan langsung banyak hubungan yang terputus olehnya, misalkan hubungan ormas dengan partai yang sudah tidak menjadi perhatian rakyat lagi. Mungkin inilah bentuk transformasi yang terjadi dengan sendirinya di bangsa kita sebagai akibat perubahan dari sistem perwakilan dalam memilih pemimpin kepada sistem pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga rakyat tidak subyektif lagi dalam memilih para pemimpinnya dan berbagai perbedaan-perbedaan yang ada dibangsa kita cair dengan sendirinya. Dengan perubahan kepada cara pemilihan langsung, rakyat jadi semakin jelas melihat kegunaan partai politik dan peran politik dimasa sekarang.Rakyat sudah paham tujuan akhir dari setiap partai dan kompetisi partai pada setiap kali pemilu, yakni untuk meraih kekuasaan pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif.
Sesungguhnya apa yang dipersiapkan para pendahulu negara ini memang belum pernah tuntas dalam hal menciptakan dinamika dan harmoni dalam penyaluran kehidupan berpolitik kita. Ketika zaman pemerintahan Sukarno malah terjadi pemberontakan aliansi komunisme akibat penerapan sistem multi partai, namun kita maklum ketika itu karena bangsa kita masih baru merdeka dan sedang mencari bentuk ditambah lagi dengan adanya dua kekuatan dunia yang dominan yang cukup kuat mempengaruhi dan siap mencengkeram negara-negara yang masih lemah sehingga rentan terhadap pengaruh infiltrasi kekuasaan walaupun kita sudah punya ideologi sendiri yakni pancasila dan Konferensi Asia Afrika yang merupakan cikal bakal lahirnya gerakan Non Blok diadakan di negara kita.
Sedangkan penyempurnaan di zaman orde baru sesunguhnya sudah cukup lumayan, namun sayangnya Presiden Suharto bersifat otoriter dan demokrasi yang ada hanya semu, dan kekuasaan presiden tidak dibatasi dua kali masa jabatan seperti yang ada sekarang. Padahal demokrasi sangat bertentangan dengan otoritarian ataupun feodalisme, sebab tidak mungkin demokrasi bisa bersamaan atau dikombinasikan dengan sifat otoritarian ataupun feodalism.
Sebetulnya dari pengalaman yang sudah ada, kita bisa memetik mana yang terbaik untukbisa kita terapkan dalam masa kekinian. Dan tentunya para politisi harus sudah berubah menjadi para negarawan, karena tidak mungkin transformasi itu terjadi kalau tidak orangnya atau para pemimpinnya yang lebih dulu bertransformasi. Tidak ada perbedaan antara partai yang bercirikan agama dan partai yang dianggap nasionalis, flatform dan ideologi partai boleh saja berbeda-beda, namun tujuannya tetap saja sama yakni untuk merebut kekuasaan dan rakyat sudah paham akan hal tersebut.
Persoalan bangsa kita bukan persoalan agamis ataupun nasionalis, karena keduanya tetap saja sama punya kecenderungan untuk berperilaku yang baik dalam pemerintahan maupun perilaku sebaliknya seperti perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena persoalan bangsa kita adalah persoalan mental dan budaya yang kurang didukung oleh sistem yang tepat hingga sistem tersebut dapat membentuk budaya. Masih banyak sistem yang harus dibenahi guna mentransformasi budaya pemerintahan kita yang akhirnya juga mentransformasi budaya rakyat bangsa kita.
Lagipun sebenarnya kita tidak perlu membeda-bedakan antara umat dan bangsa. Sebab ketika kita berpikir tentang bangsa, yang ada didalamnya adalah umat, begitu juga sebaliknya ketika kita berpikir umat dalam bangsa kita yang ada adalah umat agama Islam dan umat agama lainnya yang sama-sama punya hak yang sama di negara ini. Oleh karena itu seperti yang terjadi dalam pilpres yang lalu dimana partai terbagi kedalam dua kubu dimana masing-masing kubu terdiri dari partai yang berbasis agama dan juga partai nasionalis adalah semacam model demokrasi yang ideal bagi rakyat kita dalam memilih para pemimpinnya tanpa harus mempertimbangkan partai agamis maupun partai nasionalis.
Pemilihan secara langsung telah merubah paradigma politik yang ada seperti sebelumnya. Dalam trend pemilu semenjak pemilihan lansung, ormas yang pada masa dahulu punya keterikatan kuat dengan partainya sudah tidak terjadi lagi, karena memang mereka yang menjadi caleg bukanlah berasal dari tokoh-tokoh ormas, karena perekrutan caleg yang ada lebih bersifat pragmatis. Namun pada masa lalu ormas juga sering diperalat sehingga terjadi pindah-pindah partai.
Kalau memang model dan paradigma politik kita sudah beralih kepada model yang terakhir seperti dalam pemilihan langsung tersebut, maka inilah pilihan bentuk demokrasi kita yang harus kita teruskan, dan inilah mungkin transformasi budaya politik yang ada, sehingga peran politik lebih pragmatis guna memperebutkan kekuasaan untuk selama 5 tahun dan bukan untuk selama-lamanya guna untuk pergantian kepemimpinan. Kalau memang begini buat apa kita memiliki jumlah partai yang banyak yang akan menyulitkan di parlemen sehingga harus melakukan koalisi, mengapa tidak dari awal saja berada dalam satu wadah partai yang besar sehingga kabinet presidensial bisa berjalan dengan baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI