Mohon tunggu...
Elwin Domo
Elwin Domo Mohon Tunggu... -

Cukup peduli dengan banyak hal dan juga butuh berekspresi dan mengaktualisasikan diri, tentunya untuk kemaslahatan bersama, namun tetap dalam konteks belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

I am Indonesian

19 Mei 2015   15:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:49 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengapa kadang-kadang kita tidak berani atau sungkan mengatakan atau menyatakan bahwa saya orang Indonesia dalam arti apa adanya, sebagaimana orang Amerika umumnya bangga dengan mengatakan bahwa dirinya orang Amerika. Ada apa dengan kebangsaan kita ?

Memang kita mengakui bahwa bangsa kita belumlah menjadi bangsa yang maju seperti bangsa-bangsa yang telah maju yang ada di muka bumi ini. Akan tetapi walaupun demikian mestinya kita punya kebanggaan tersendiri yang mungkin dari sisi lainnya yang bisa membuat kita cukup bangga menjadi bangsa Indonesia. Kalaupun tidak, bagaimanapun negeri tanah air kita adalah Indonesia, itu berarti bagaimanapun keadaan yang ada adalah tetap bangsa kita juga yang mau tidak mau patut kita hargai apa adanya.

Secara teori sesungguhnya tidak ada yang tidak bisa kita tata bersama secara baik sehingga segala sesuatunya menjadi lebih baik, karena sesungguhnya tugas para pemimpin adalah membaikkan dan mengelokkan keadaan yang ada, dasar-dasarnyapun sudah diletakkan oleh para pendiri bangsa. Usia Tujuh puluh tahun hingga pada tahun ini berdasarkan titik tolak secara resmi sebagai negara semenjak dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan ke seluruh dunia oleh para pendiri bangsa yang diwakili oleh Sukarno-Hatta, merupakan usia yang bukan kanak-kanak lagi dan juga bukan usia remaja lagi. Timeline sejarah yang dimulai dari titik nol kemerdekaan tersebut dan dengan sudah bergonta-gantinya kepemimpinan bangsa sesuai masa jabatannya hingga sekarang presiden yang ketujuh, seharusnya kita sudah bisa berdiri tegap dan berani mengatakan “ saya Indonesia”.

Pengalaman sepanjang timeline sejarah bangsa adalah modal yang berguna yang bisa kita ambil dan petik hikmahnya ketika kita memperingati kebangkitan nasional bangsa kita yang bertepatan dengan setiap tanggal 20 Mei yang diangkat dari peristiwa Budi Utomo dan kawan-kawan, walaupun terjadi pada tahun 1928 sebelum kemerdekaan. Semangat kebangkitan tersebut bukan berarti kita mengulang sejarah, karena bila kita maknai demikian, maka akan ada lagi pengulangan sejarah-sejarah yang lainnya, sebab kalau begitu kita tidak akan pernah keluar dari sejarah masa lalu dan kecenderungan kita meniru pengalaman sejarah dan menghidup-hidupkan kembali sejarah masa lalu tersebut terlepas dari sejarah yang baiknya maupun yang buruknya. Justru dalam hal ini kita harus membuat sejarah kedepan yang lebih baik, tanpa melibatkan sejarah-sejarah masa lalu dan hanya berbuat berdasarkan realitas-realitas yang ada dimasa kini.

Kita harus keluar dari mainstream berpikir yang sudah usang, karena terbukti mainstream tersebut tidak berguna bagi kehidupan bangsa kita. Berpikir bahwa kehidupan ini adalah pengulangan sejarah adalah mainstream yang sudah usang. Sekarang ini yang perlu kita usahakan adalah bagaimana agar kita bisa merasa bangga sebagai bangsa Indonesia sebagaimana yang telah disebutkan diatas dan juga bagaimana agar kita bangsa Indonesia tetap memiliki harapan. Untuk itu pangkas dan tata kembali tatanan yang tidak mengindahkan harapan dan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia.

Berbagai elemen kebangsaan haruslah menyadari hal ini, apalagi kita sekarang sudah berada dalam tatanan dunia global yang mau tidak mau akan terseret kedalamnya. Media ataupun multi media teknologi informasi yang ada yang sudah hampir massiv merambah dan masuk ketengah-tengah kehidupan kita dan bahkan lewat media publik yang umum dinikmati masyarakat kita. Pengaruh globalisasi yang merasuk ketengah-tengah kehidupan kita yang merubah budaya dan tatanan kehidupan sosial seperti tidak bisa dibendung oleh negara. Perbedaan tantangan yang ada dalam masa kini berbeda sekali dengan masa-masa sebelumnya seperti ketika masa pemerintahan Suharto dimana ketika itu belum ada internet dan media publik yang ada seperti stasiun TV hanya satu TVRI saja, sehingga kementrian Penerangan bisa berfungsi dalam mempropaganda kepentingan negara serta dalam membangun karakter bangsa. Sekarang ini kita hanya mengandalkan kementrian KOMINFO dalam turut serta membangun karakter bangsa selain juga KPI.

Akan tetapi hal itu hanya satu sisi dari segi informasi dan media publik. Belum lagi soal demokrasi kita yang seperti telah membuat kita tercabik-cabik sesuai berbagai kepentingan yang ada, padahal demokrasi sesungguhnya adalah pilihan terbaik dan sarana ampuh yang kita pilih untuk dapat menyelesaikan dan mengatasi berbagai persoalan bangsa. Kita perlu menata kembali demokrasi yang kita miliki. Demokrasi kita mestinya meletakkan kearifan sebagai landasan dan bukan pada budaya voting dalam menentukan kebijakan, sebab dengan selalu menggunakan budaya voting dalam memutuskan perkara atau dalam merumuskan suatu kebijakan secara politik bukanlah budaya yang elok karena kearifan bisa hilang dan tenggelam dan yang naik ke permukaan hanya produk-produk yang tidak layak sehingga keadaan tetap saja menjadi tidak membaik. Demokrasi kita terjebak pada kekuatan-kekuatan atau adu kekuatan, demokrasi kita terjebak pada prediket kalah dan menang, dimana semua itu sebenarnya bukan esensi tujuan kita berdemokrasi. Begitu juga dengan politik uang yang telah banyak menjebak kita. Oleh karena itu harus ada perubahan sistemik dalam hal yang mengatur kita berdemokrasi, agar energi bangsa yang besar ini tidak sia-sia dan menjadi lebih bermanfaat.

Semenjak kran demokrasi terbuka setelah lengsernya kepemimpinan Suharto, energi bangsa kita banyak yang terbuang sia-sia karena tidak berada dalam kanal-kanal yang tepat, karena memang pengaturan kanal itu tidak ada dan terlalu bebas, sehingga terlalu banyak para pemain, terlalu banyak kelompok-kelompok yang mengatasnamakan rakyat atau kepentingan rakyat. Padahal kanal induk itu sesungguhnya tidak perlu banyak, kecuali mungkin anak-anak kanalnya, sehingga kanal-kanal induk tersebut dapat mendorong atau menggerakkan turbin negara ini, dan kanal yang lainnya sebagai penyeimbang untuk menjaga dan mengontrol elevasi agar turbin tetap bekerja normal.

Banyak catatan yang sesunguhnya menjadi PR yang tidak akan mungkin dilakukan oleh sepihak saja tanpa keiukutsertaan yang lainnya atau secara bersama-sama elemen bangsa apalagi dalam konteks Indonesia dalam dunia global seperti sekarang ini yang mau tidak mau ikut berpengaruh kepada bangsa kita secara langsung maupun tidak langsung baik regional maupun internasional.

Demokrasi yang mengesampingkan kearifan yang sesungguhnya, bukanlah demokrasi yang akan merubah peradaban bangsa kita kepada kemajuan. Demokrasi yang seperti itu hanya komoditi dan permaianan dalam hal kepentingan kekuasaan para elit, dan dalam hal elit kita tidak tahu persis defenisi ‘elite’ yang sebenarnya. Proses politik adalah proses yang wajar, karena kita bebas berkelompok dan mengeluarkan pendapat dan hal itu dijamin dalam undang-undang, akan tetapi yang menjadi goalnya seharusnya tetap sesuatu yang mengandung kearifan dan bukan soal kalah menang lewat voting.

Kearifan mutlak diperlukan dalam pembangunan bangsa atau menata peradaban, bukan soal kekuatan atau himpunan kekuatan yang ada untuk suatu kekuasaan yang diperebutkan. Kita punya Garis Besar Haluan, dan seharusnya kekuatan atau kekuasaan yang ada dari pihak manapun diarahkan pada Haluan tersebut baik yang berada didalam sistem maupun yang berada diluar sistem kekuasaan.

Revolusi mental yang diperlukan untuk merubah dan memperbaiki sejarah dan peradaban bangsa merupakan syarat yang harus dipenuhi. Hal seperti itu adalah biasa dan tidak perlu shock dengan istilah tersebut. Ketika kepemimpinan presiden Suhartopun pernah ada yang dinamakan pembangunan manusia seutuhnya dengan berbagai program BP7, hasilnya berupa pencegahan namun tidak juga menyentuh kalangan diri para pejabatnya sendiri, dan boleh dianggap program tersebut gagal, karena sesungguhnya yang harus digarap adalah para pemimpinnya lebih dulu. Karena rakyat adalah seperti para penonton yang berada dibawah, sedangkan yang berada diatas pentas adalah para pemimpinnya.

Revolusi mental kali ini diharapkan ada hasilnya agar sejarah dan paradaban bangsa kita bisa berubah menjadi lebih baik. Revolusi mental merupakan softpower yang berbeda dengan hardpower dalam revolusi fisik dan ini adalah pilihan yang bijak walaupun mungkin butuh waktu dalam prosesnya. Namun sebagaimana musik orkestra yang besar ‘Indonesia Harmony’ walaupun dirigent sudah menggerakkan tongkatnya kalau elemen lainnya yang memegang terompet, biola, oboe, fluit, biola, dan banyak perangkat lainnya tidak bisa menyimak dan tidak nyambung, maka orkestra tersebut tidak akan menghasilkan simponi dan pertunjukan menjadi kacau, sedangkan penonton sangat ingin menyaksikan dan menikmati simponi tersebut. Inilah mungkin analogi yang pas dalam melihat dan menggambarkan keadaan yang mungkin terjadi di negeri kita, bahwa kita membutuhkan sinergi dan integritas yang sama.

Semoga kita para penonton tidak kecewa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun