Polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) semakin memanas. Ketua KPK, Firli Bahuri kini disebut-sebut sebagai 'dalang' yang merancang rekayasa tes tersebut. Setidaknya, itu yang diungkapkan hasil investigasi Indonesia Leaks. Melalui akun Twitter resminya @inaleaks, mereka membeberkan kejanggalan TWK dan peran Firli di dalamnya. Mulanya, pembahasan draf peraturan komisi (Perkom) alih status pegawai KPK menjadi ASN pertama kali dibahas pada 27-28 Agustus 2020. Ada perwakilan KPK dan dua orang ahli yang hadir. Mereka adalah pakar Hukum Tata Negara dari UGM, Oce Madril dan pakar Kebijakan Publik Eko Prasojo.
Bahasan pertama adalah Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Karena UU itu punya konteks yang berbeda terkait pegawai KPK yang independen, Eko mengusulkan untuk membuat aturan turunan saja. Pertemuan itu juga membahas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN. Untuk memenuhi syaratnya, Eko menyarankan untuk membuat surat pernyataan seperti yang dilakukan capres dan cawapres. Draf pertama akhirnya rampung pada September 2020. Namun, tidak ada embel-embel TWK dalam draf itu.
Setelahnya, pimpinan KPK dan sejumlah pegawai beberapa kali membahas mekanisme penentuan golongan jabatan sekaligus teknis alih status pegawai. Pembahasan pun dilakukan dengan melihat pasal demi pasal. Istilah TWK belum muncul dalam pasal. Mekanisme alih status yang ditawarkan pun juga enggak menyulitkan. Baru pada 05 Januari 2021, usulan tentang TWK muncul. Sang pengusul, tak lain dan tak bukan adalah Firli. "Kalian lupa. Di sini dulu banyak Taliban," kira-kira begitu ucapan Firli saat mengusulkan.
Pernyataan itu aneh karena selama ini, mantan pimpinan KPK enggak pernah membenarkan tuduhan itu. Karena terlalu mendadak, syarat TWK akhirnya tak dimasukkan dalam draf Perkom per 18 Januari 2021. Yang ada hanyalah tes asesmen. Namun, pada 20 Januari 2021, istilah itu kemudian berubah jadi asesmen TWK. Lima hari kemudian, tepatnya 25 Januari 2021 pukul 19.00 WIB, ketentuan TWK sudah ada dalam draf. Konon, draf itu harus selesai hari itu juga karena harus diserahkan ke Kementerian Hukum dan HAM besoknya.
Pada 17 Februari 2021, pimpinan KPK, termasuk Firli, mengumumkan tes tersebut. Pegawai KPK Benydictus Siumlala Martin Sumarno bertanya, apakah ada syarat kelulusan. Pimpinan menjawab tak ada. Namun, nyatanya, tes itu justru berhasil menyingkirkan orang-orang kompeten di dalamnya. Indonesia Leaks juga menemukan fakta lain. Sekitar November 2020, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron memberi sinyal 'hati-hati' kepada dua pegawai KPK. Mereka adalah Kasatgas Penyelidik KPK Harun Al Rasyid dan Sekjen Wadah Pegawai KPK Farid Andhika.
Kata Ghufron, Firli telah menyiapkan 21 nama yang bakal didepak dari KPK. Jumlah itu berkembang dari yang semula hanya lima nama, yaitu: Andi Abdul Rachman Rachim, Harun Al-Rasyid, Novel Baswedan, Rizka Anungnata, dan Yudi Purnomo. Indonesia Leaks lalu mengumpulkan 21 nama itu dalam beberapa kategori. Pertama, kelompok Wadah Pegawai KPK yaitu Novel dkk. Kedua, mereka yang menolak revisi UU KPK. Ketiga, kelompok yang menangani kasus "rekening gendut" Budi Gunawan, sekarang jadi kepala Badan Intelijen Negara.
Keempat, mereka yang menyelidiki kasus pelanggaran kode etik Firli saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK. Waktu itu, Firli menemui Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi. Dan terakhir, yang menyelidiki pelanggaran etik saat Firli menyewa helikopter buat perjalanan pribadi. Asal kalian tahu, utas Indonesia Leaks yang menguak kronologi ini telah hilang. Hmm, sepertinya ada yang takut ketahuan, nih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H