Di masyarakat yang sangat menganut kebenaran tunggal, jangan kaget ketika disabilitas akan dipandang aneh atau tidak normal, padahal sebenarnya tidak ada yang berbeda dari mereka. Tidak jarang orang-orang dengan bangganya menyebut "teman-teman normal" dengan berpikir bahwa tidak menyebutkan sebagai penyakit akan membuatnya menjadi lebih "sopan". "Orang yang normal mungkin tidak akan bisa merasakan apa kesulitan yang dialami oleh orang disabilitas." Kontradiktif, menyebut "disabilitas" tapi menyebutkan juga soal "normal".Â
Menggunakan kata normal sama saja dengan menyematkan label tidak normal bagi teman-teman disabilitas karena normal mengartikan ada kebenaran tunggal yang juga mengartikan sebuh pengharapan untuk menjadi "normal".Banyak istilah yang digunkan untuk memperhalus katanya, tapi justru mengurangi substansi dan menyampingkan perjuangan disabilitas untuk mendapatkan akses yang setara di masyarakat.Â
Ditambah media-media mainstream yang sering sekali menggambarkan teman-teman disabilitas sebagai sosok yang perlu dikasihani tanpa melihat aspek keterampilan dan keahlian dimiliki. Orang disabilitas itu normal. Mereka makan nasi, tidur juga seperti yang manusia lainnya. Mereka itu normal juga memiliki "hambatan". Hambatan lingkungan, hambatan infrastruktur, hambatan perilaku masyarakat dan hambatan pola piker akibat kurangnya inklisifikasi dalam pembagunan, sehingga seakan-akan teman-teman disabilitas memang tidak mampu, hanya saja tidak diberikan akses.Â
Perlu adanya perubahan pemikiran entah itu lewat kebijakan atau individual. Perlu adanya pemahaman bahwa manusia itu beragam sehingga mulailah untuk tidak menyematkan label dan sebut saja ragam disabilitas secara langsung. Setipa orang berpotensi untuk menjadi penyandang disabilitas sehingga perlu adanya kepekaan bahwa penggunaan kata "normal" itu seakan-akan memang menjadi "disabilitas" seperti kutukan. Sehingga advokasi terkait disabilitas perlu dikalukan oleh semua pihak. Apabila ketika berbicara soal perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan berlapir karena identitasnya. Oleh sebab itu:Â
1.Mulailah untuk mengedukasi ragam disabilitas yang sebenarnya bisa kalian pelajari dimanapun.Â
2.Menyadari bahwa kesetaraan gender dan inklusif bukan berarti menyamakan perlakuan antara disabilitas dan non-disabilitas atau menyamakan permasalahan gender di kelompok disabilitas.Â
3.Serta mendorong implementasi dari UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas gar lebih membumi karena masih banyak kesulitan akses di berbagai daerah akibat pola piker masyarakat, pemerintah atau APH setempat.Â
4.Stop sebut "tidak normal", "cacat", "tunarunggu" atau apapun sebutan subjektif yang sebenarnya merendahkan dan deskriminasi teman-teman disabilitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H