Pada tragedi Perkosaan Mei 1998, Â tubuh perempuan dijadikan tempat pertarungan kekuasaan yang bertikai merupakan nyata adanya. Hal ini tidak terlepas dari konsep mengenai tubuh perempuan sebagai identitas komunitasnya. Menjaga tubuh perempuan seringkali diartikan sebagai menjaga "kemurnian" Atau "martabat" Komunitas.Â
Dengan artian tersebut, dalam konteks konflik termasuk perang, perkosaan dan kekerasan seksual seringkali digunakan untuk meneror populasi sipil dan memaksa penduduk untuk meninggalkan rumah atau pemukiman mereka, mempermalukan musuh dengan menunjukan siapa yang memiliki kontrol atas perempuan dan menjadi "hadiah" untuk pasukan, dengan maksud memicu keberanian di dalam kancah peperangan.Â
Hal tersebut juga tercermin dalam Tragedi Perkosaan Mei 1998 yang menjadikan Perempuan etnis Tionghoa sebagai korban.
Apa saja serangan seksual dalam Tragedi Perkosaan Mei 1998?
Serangan Seksual yang terjadi diantaranya yaitu; Pelecehan Seksual dimana di dalamnya terdapat ancaman perkosaan, percobaan perkosaan dan Tindak Pidana Perkosaan, termasuk gang rape dimana perkosaan tidak terbatas pada penetrasi penis ke vagina, tetapi juga dalam bentuk pemaksaan oral seks dan penganiayaan seksual dimana vagina dirusak dengan menggunakan berbagai benda.
Siapa Korban Kekerasan Seksual Tragedi Perkosaan Mei 1998?
Kebanyakan korban kekerasan seksual dalam perkosaan Mei 1998 adalah perempuan etnis Tionghoa. Hal ini bukan sebuah kebetulan, karena sebagian besar tindak penyerangan seksual terjadi di sekitar lokasi penjarahan, pengrusakan dan pembakaran dalam kerusuhan Mei 1998 yang sebagian besar adalah tempat tinggal dan niaga komunitas Tionghoa.
Kerusuhan Mei 1998 bukanlah kerusuhan pertama yang menargetkan komunitas Tionghoa untuk tujuan politik. Baik pemerintah Soekarno maupun Soeharto tidak pernah mengusut secara tuntas peristiwa kerusuhan rasial yang terjadi dalam masa kepemimpinan mereka. Karena adanya keberulangan sejarah pihak keluarga korban meyakini bahwa negara tidak akan pernah mengusut tuntas tragedi tersebut.
Perkosaan Mei 1998 merupakan peristiwa politik yang direncanakan terjadi dalam situasi krisis kepercayaan terhadap Orde Baru
Analisa bahwa kerusuhan Mei 1998 sebagai sebuah peristiwa politik yang direncanakan salah satunya dikemukakan oleh TGPF Mei 1998 berdasarkan pada hasil pengamatan enam lokasi kota pusat kejadian kerusuhan, yaitu "Adanya beberapa kesamaan, kemiripan maupun variasi pola kerusuhan" seperti adanya masa pra kondisi, kehadiran kelompok provokator terorganisir yang membakar kebencian massa,Â
indikasi keterlibatan aparat keamanan negara, dan adanya proses pembiaran negara yang ditunjukkan dengan tidak sigapnya aparat keamanan dalam menanggapi massa yang melakukan perusakan, pembakaran dan penjarahan.