Gerakan feminisme bukan lagi hal yang baru dewasa ini, meski demikian tujuan dari gerakan ini nampaknya masih jauh api dari panggang. Pasalnya, para perempuan belum mendapatkan hal-hal yang mereka dambakan, misalnya kesetaraan nilai terlepas dari apa pun gender, tidak diposisikan sebagai masyarakat kelas dua setelah laki-laki, dan banyak hal lain. Salah satu tokoh yang tidak boleh luput dari perhatian ketika membicarakan gerakan feminis adalah Simon de Beauvoir, seorang tokoh filsafat dan feminisme eksistensialis dari Prancis yang lahir pada tahun 1908. Ada banyak gagasan yang dikemukakan oleh Beauvoir, akan tetapi karyanya yang paling terkenal adalah The Second Sex yang diterbitkan pada tahun 1949.Â
Karya ini berisi tentang studi kedudukan dan peranan wanita. Menurut Beauvoir, perempuan sangat berbeda dengan laki-laki, dan kondisi perempuan menurutnya sangat berbeda dengan pandangan banyak ahli filsuf lain. Dalam pandangan Beauvoir, perempuan tidak memenuhi kategori sebagai manusia yang ada dalam pikiran Descartes (I think therefore I am), karena bagi perempuan, I am woman, there from I think. Masyarakat  memandang perempuan dengan acuan biologis, dan bukannya pemikiran. Artinya cara berpikir perempuan diharuskan untuk berangkat dari kenyataan bahwa ia adalah seorang perempuan. Hal ini tentu tidak bisa diterima, bukankah setiap pemikiran harus dinilai berdasarkan muatan pemikiran itu sendiri, dan bukan dari siapa yang memberikan pemikiran itu?
Pendekatan yang digunakan oleh Beauvoir di antaranya: pertama, perempuan sama dengan laki-laki, yaitu manusia, oleh karena itu hak-haknya universal, dan kedua, sesungguhnya tidak ada manusia yang universal, yang ada adalah adanya kodrat laki-laki dan perempuan. Perempuan didefinisikan dengan merujuk kepada laki-laki dan bukan kepada dirinya sendiri. Sehingga keberadaan perempuan seolah incidental saja, tidak esensial, laki-laki adalah subjek dan absolut. Sedangkan perempuan adalah the other yang menerima sikap ketidakpedulian, hasrat, sadisme, dan kebencian.Â
Perlakuan perempuan sebagai objek masih bisa kita lihat hingga saat ini, bahkan dengan mudah. Ketika kita meminta orang-orang untuk mendeskripsikan apa itu perempuan, masih ada saja orang yang menjadikan laki-laki sebagai rujukannya. Misalnya, "perempuan adalah makhluk lain selain laki-laki", "perempuan adalah pendamping laki-laki", "perempuan adalah orang yang harus dipimpin laki-laki". Sangat sulit untuk mendeskripsikan perempuan sebagai sebuah subjek. Perempuan juga masih terus menerima komando-komando tidak penting dalam hidupnya. Perempuan harusnya begini, perempuan harusnya begitu. Semua diatur oleh orang lain (keseringan oleh laki-laki) sehingga ia tidak punya kendali atas hidupnya sendiri. Sungguh menyedihkan.
Inilah mengapa kesadaran bahwa setiap orang adalah subjek dalam hidupnya masing-masing harus semakin ditingkatkan, terutama kepada para perempuan yang sering kali hanya bersikap nrimo. Tidak seorang pun boleh tinggal diam ketika dirinya diobjektifikasi dalam kehidupannya sendiri. Perempuan (dan juga laki-laki) dapat memilih untuk menjadi apa saja yang diinginkannya, meskipun mereka bisa saja menjadi objek dan sebagai liyan yang dieksploitasi, setidaknya di sisi lain mereka merupakan suatu subjek yang mengeksploitasi. Apakah ia memilih untuk menempatkan diri sebagai seorang yang ditindas, atau tidak, setidaknya hal itu didasarkan pada pilihannya. Saat itu lah ia sudah menjadi subjek atas hidupnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H