Mohon tunggu...
Leiyla Elvizahro
Leiyla Elvizahro Mohon Tunggu... -

Lahir di Pekalongan, 29 April 1990. Tinggal di Semarang sejak empatbelas tahun lalu hingga sekarang duduk di perguruan tinggi. Mahasiswi semester VI Program Studi Ilmu Gizi FK Universitas Diponegoro. Peminat sains, seni, dan desain grafis yang saat ini sedang menghidupkan kembali kegemaran menulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang Hidup yang Tak Melulu Hitam Putih

29 Maret 2010   20:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:07 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kalian tahu gambar ambigu? Yang paling terkenal adalah gambar dua wajah berhadapan sekaligus vas bunga. Juga gambar wajah wanita cantik sekaligus nenek keriput. Dihadirkan dalam satu bingkai, namun dapat diterima penglihatan sebagai gambar yang berbeda. Seringkali peristiwa yang terjadi dalam kehidupan juga demikian. Menyuap, Atau diperas? Diperkosa, Atau menggoda? Merebut suami orang, Atau tertipu pria beristri? Dianiaya majikan, Atau terlalu tidak profesional? Ditabrak sopir yang ugal-ugalan, Atau mengendarai motor tanpa memperhatikan kaca spion? Ditinggalkan oleh lelaki yang tak bertanggungjawab, Atau menyerahkan kehormatan begitu saja? Dirampas haknya untuk mencari nafkah, Atau mendirikan warung sembarangan di pinggir jalan? Pemerintah yang tidak tanggap menghadapi gizi buruk, Atau masyarakat yang malas menghidupkan posyandu? Begitu relatif sekaligus membingungkan. Terutama jika kita diharuskan untuk menentukan siapa yang (patut di-)salah(kan). Tentu jika saya sudah menulis "ditabrak sopir yang ugal-ugalan, atau mengendarai motor tanpa memperhatikan kaca spion?", dengan mudah kita bilang "ya salah dua-duanya dong". Sayangnya apa yang terjadi tidak tertulis sejelas itu kan? Ada asumsi, ada simpati, ada keberpihakan, ada pendapat yang dominan, yang tidak tahu apakah semua itu akan membawa kita pada kesimpulan yang benar. Perlu mata yang lebih tajam untuk melihat (atau mungkin mata tambahan untuk bisa melihat dari sisi yang lain), telinga yang lebih peka untuk mendengar, dan yang terpenting, hati serta akal yang mau diajak berpikir lebih keras. Jangan hanya mulut yang bekerja lebih dulu. Tak terbayang begitu sulitnya pekerjaan seorang hakim. Karena kehidupan tidak melulu hitam putih, dan bahkan hitam pun tak selalu tampak sebagai hitam. Dengan pengalaman hidup yang baru seujung kuku ini, yang bisa saya petik hanyalah bahwa Tuhan memang Maha Adil. Dia menentukan siapa yang berhak atas pahala, menentukan mereka yang layak mendapat dosa, dengan cara dan pertimbangan yang tidak pernah setitik pun bisa manusia bayangkan. Tulisan yang sama bisa dibaca di note Facebook http://www.facebook.com/notes/leiyla-elvizahro/tentang-hidup-yang-tak-melulu-hitam-putih/372930483308

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun