Dari entah berapa ratus komik yang saya baca sejak duduk di sekolah dasar, beberapa yang berkesan bagi saya adalah karya2 Urasawa Naoki, sebut saja MONSTER, 20th Century Boys, 21th Century Boys, dan yang baru saja saya baca, PLUTO. Ada rasa berbeda yang ditawarkan, rasa yang serius dan tidak bisa ditelan begitu saja, berputar2, serta kadang tidak memberikan rasa 'plong' setelah membacanya. Para penyuka 'komik cewek', serial fantasi yang penuh adegan kocak, apalagi komik hentai (*haha) mungkin tidak menyukainya.
Gambar yang ditawarkan bergaya realistis, walau tidak seekstrim Takehiko Inoue dalam Vagabond. Kalau bisa saya bilang, lebih bergaya "Hollywood" daripada manga.. Apalagi dalam MONSTER dan PLUTO, setting ceritanya kebanyakan di Eropa dan tokoh Jepangnya hanya sedikit.
Fusanosuke Natsume, seorang kolumnis komik dari Jepang mengatakan bahwa Urasawa Naoki adalah seorang pengkhianat, dalam artian dia sangat suka mengkhianati perasaan antusias, penasaran, harapan, dan tebakan pembacanya dengan memberikan berbagai macam kejutan yang tidak terduga. Rentetan kenyataan yang dibangun yang sepertinya menuju ke kenyataan A, ternyata di akhir chapter tersebut malah menuju ke B. Saya salah satu orang yang merasa di'khianati' dengan kematian tokoh Gesicht dalam PLUTO *sigh.. Padahal Gesicht muncul dari awal dan ceritanya seolah menuntun pikiran saya untuk menyimpulkan bahwa dia adalah tokoh utamanya.
Kerumitan ceritanya bisa membuat saya berpikir ulang tentang "manusia" dan "kemanusiaan". Siapa yang lebih 'jahat', manusia yang menjadi senjata pembunuh masal tanpa perasaan atau orang yang membuat manusia itu menjadi seperti itu? Mana yang lebih manusiawi, manusia yang kehilangan kemampuannya untuk berempati atau robot yang ingin sekali menangisi kematian robot lain? Yah, hal-hal semacam itulah yang bisa saya tangkap..
Adegan2 yang penuh kejutan, pemunculan karakter yang dramatis, alur yang meliuk2, semua itu digambarkan dengan gaya sinematis. Yup, bagi saya membaca karya Urasawa sama halnya dengan menonton film. Pengambilan sudut gambar pada panel-panel setiap halamannya, membuat adegannya seperti bergerak dinamis. Brilian.
Ditambah lagi dengan akhir yang seringkali berupa open ending, beliau seolah menyajikan film thriller suspense dalam lembaran kertas alih2 pita seluloid.
That's why I called him The Maestro ^^
P.S:
Kenapa dari semua komik karya beliau, selalu ada latar kota Duesseldorf, Jerman, ya??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H