Part 3
Setetes Embun Pagi
Â
      Malam ini aku tak dapat memejamkan mata. Bukan karena mataku sakit tetapi aku terus memikirkan esok pagi di kampus. Bagaimana suasana belajar di kampus? Meskipun aku pernah menonton sinetron tentang anak kuliah, aku tetap saja khawatir. Bagaimana tidak khawatir, aku ini anak desa yang tidak memiliki apa-apa. Aku hanya bermodal kemauan belajar yang kuat. Dari segi materi tentu aku pasti dipandang sebelah mata. Untuk pakaian kuliah saja aku hanya memiliki baju kuliah  untuk enam hari, enam baju. Selebihnya baju sehari-hari dipakai di kosan. Bagaimana dengan sepatu? Tidak usah ditanya lagi,  aku hanya memiliki sepasang sepatu pansus dan satu tas selempang. Dapat dibayangkan selama sebulan aku wajib memakai semua barang tadi. Itu dan itu lagi tidak ada penggantinya. Bisa jadi aku akan menjadi pusat perhatian semua teman-temanku. Betapa malunya aku dengan keadaan seperti ini. Aku si anak desa yang tidak kaya berani masuk ke dunia belajar tingkat tinggi.
      Sekelebat datang pikiran baikku, untuk apa aku memikirkan semua itu? Bukankah setiap manusia itu memiliki kelebihannya masing-masing? Biar saja aku kurang dari sisi materi tetapi aku masih punya semangat yang tinggi untuk belajar. Aku tidak akan menyia-nyiakan semangat ini untuk meraih prestasi. Kalaupun aku tidak menjadi yang terbaik, setidaknya aku bisa menamatkan kuliah sesuai dengan waktu yang ditentukan. Ini merupakan targetku ke depan, aku harus bisa menyelesaikan kuliah selama empat tahun. Iya, hanya empat tahun saja, ini janji pada diriku.
      Seiring berjalannya  malam yang pekat ini, tak terasa waktu menunjukkan pukul lima pagi. Jam di dinding kamar mengisyaratkan agar aku melakukan sesuatu. Aku ingin beranjak dari kasur  menuju ke kamar mandi mengambil wudu untuk melakukan salat subuh bermunajat pada sang Khalik. Aku terperanjat ketika bangun dari tidurku ternyata  sudah kulihat Purnama sedang melaksanakan salat subuh. Ternyata,  Purnama lebih duluan bangun daripada aku. Rasa kagumku mulai tumbuh untuk teman kosku yang bernama Purnama ini.
      Ada sesuatu yang menarik dari Purnama ini bila kulihat dari sudut pandangku. Dia seorang gadis yang tidak banyak berbicara. Sekali berbicara penuh makna. Padahal aku dan Purnama masih seumuran. Aku  sangat beruntung punya teman sekosan yang baik hati dan baik budi. Â
      "Purnama, aku boleh bertanya?" tukasku setelah menyelesaikan salat. Aku duduk memandang gadis yang baik hati itu.
      "Iya, Wani, boleh..."
      "Bagaimana perasaanmu  menghadapi hari pertama ke kampus?"
      "Alhamdulillah, aku akan menghadapinya dengan rasa syukur karena aku masih  diberi kesempatan untuk belajar.", dengan lembut Purnama menjawab. Senyumnya yang manis itu menambah aura cantik menyeruak kepermukaan. Aku menjadi malu dengan jawaban Purnama. Berbanding terbalik dengan perasaanku yang galau dan takut.