Mohon tunggu...
Elvira MutiaraShinta
Elvira MutiaraShinta Mohon Tunggu... Freelancer - Assalamu'alaikum :)

حسبن الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير "Cukuplah Allah penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung" (Ali Imran : 173)

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Optimisme vs Toxic Positivity?

11 Desember 2019   04:45 Diperbarui: 11 Desember 2019   08:38 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pernahkah kita merasa benar-benar merasa down namun ada sebuah dorongan bahwa kita bisa kembali bangkit dari segala pelik kehidupan. Atau sebuah paksaan yang berkamuflase seolah-olah itu menjadi dorongan agar kita baik-baik saja?. Mari sama-sama kita tanyakan pada pribadi kita masing-masing. Sebenarnya selama ini kita sedang berada pada fase yang mana.

Jika itu benar dorongan untuk kita merasa baik-baik saja maka itu adalah sebuah Optimisme kehidupan. Namun apabila yang kita alami adalah sebuah paksaan pada batin kita agar kita merasa bahwa semuanya baik-baik saja maka itu adalah Toxic Positivity. Jadi apa sebenarnya perbedaan Optimisme dengan Toxic Positivity?

Mengenal Optimis

Optimisme merupakan suatu keyakinan bahwa kita selalu punya harapan baik akan suatu hal yang terjadi diantara persoalan yang sedang kita hadapi. Hal ini termasuk reaksi seseorang tentang kegagalan yang sedang kita hadapi. Optimisme bisa terbentuk melalui dorongan lingkungan sekitar, bisa jadi itu faktor keluarga, teman, sahabat bahkan lingkungan kesehariannya. 

Optimisme sangat baik bagi kesehatan pikiran serta mental kita, karena kita menjadi berpikir positif dan berpikir kedepan. Ia yang memiliki optimisme akan mempunyai keyakinan bahwa setiap permasalahan pasti ada penyelesaiannya dan tidak ingin berlama-lama memikirkan hal buruk yang menimpa, keinginan untuk selalu bergerak maju tanpa ada batasan mencari informasi atau sumber daya yang dapat meringankan masalah hingga menggapai tujuan utama dalam kehidupannya untuk bahagia (sukses dan berhasil).

Lalu Apa itu Toxic Positivity?

Walaupun positivity itu baik, tetap saja buruk karena ada kata toxic disana. Kalimat "Good vibes only" memang baik namun juga bisa berdampak buruk bagi kita. Kalimat lain yakni "Kamu harus bahagia pokoknya nggak boleh sedih". Sifat dan kalimat ini sama-sama racun bagi personal kita lho teman-teman. 

Jadi Toxic Positivity itu merupakan gagasan yang dilontarkan untuk mendorong dan memaksa orang lain agar selalu bahagia, berpikir positif, semangat, selalu melihat sisi baik dari setiap masalah dan lain sebagainya. Kita pasti pernah mendengar kalimat "kamu seharusnya lebih bersyukur karena masih ada yang jauh dibawah kondisi kamu sekarang", untuk kalian yang sering mengucapkannya hati-hati ya, karena kata-kata tersebut bukan menambah orang yang sedang galau menjadi semangat, justru malah akan menambah stress.

Bukankah sesuatu yang dipaksa hasilnya tidak akan baik atau kurang maksimal?. Sudah kita ketahui bersama bahwasannya Toxic Positivity itu tidak akan membawa efek positif bagi personal kita. Benar saja kata penyanyi Jeremy Zucker dalam lirik lagunya yang berjudul comethru, bahwa "it's alright to not be fine on your own". Bahwa sebenarnya tidak masalah untuk tidak baik-baik saja. Karena jika terus menerus merasa bahwa kita baik-baik saja itu hanya akan membuat kita tambah stress dan semakin terobsesi terhadap perasaan bahagia sehingga dapat  memanipulasi perasaan sendiri.

Maka jika kamu merasa sedih, jengkel, lelah, ingin mengeluh, maka lakukan saja, keluarkan semuanya. Keluarkan saja semuanya sampai kamu merasa benar-benar lega. Memendam suatu kesedihan hanya akan membuat kita menjadi tambah merasa buruk. Dan untuk kalian yang sedang dijadikan tempat berbagi daripada memberikan solusi permasalahan, jauh lebih baik jika anda hanya mendengarkan lalu memahami. Karena pada dasarnya mereka yang mempunyai unek-unek dan saat ia bercerita kepada orang lain mereka semua sebenarya hanya butuh didengarkan bukan penyelesaian masalah. Maka dari itu belajarlah menjadi pedengar setia yang baik bagi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun