Mohon tunggu...
elvira rafika
elvira rafika Mohon Tunggu... Lainnya - Executive tenant relation

Saat ini bekerja sebagai tenant relation di virtualmall.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bahasa Dalam Jiwa - Bahasa dan Kita

24 September 2012   11:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bahasa Dalam Jiwa

Oleh: Elvira Rafika

Setiap kali ibu mengelus rambut panjangku dengan lembut, penuh cinta kasih yang tidak bisa beliau ungkapkan dengan kata – kata. Ah, ibu pasti begitu merindukanku,ya? Aku juga merindukan Ibu.”

Seorang gadis manja masih asyik membaca koran the jakarta post hari ini. Belaian rindu ibu tidak ditanggapinya dengan cara sedemikian sendu. Dia hanya terdiam, menikmati jari jemari ibu bermain di kepalanya. Sudah seminggu gadis tercinta Ibu kembali dari Denpasar setelah berhasil menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama di Bali. Gadis bermata sipit yang jelas ciri mongoloidnya itu hanya mengurung diri di rumah Ibu sembari menulis apapun yang dia suka ke dalam catatan kecilnya. Gadis penikmat goresan indah, entah beberapa kali dia bercerita, menulis itu indah, sangat indah. Menulis seperti teman hidup yang berjalan bersama kehidupan. Sama indahnya ketika dia hidup di lingkungan asing yang membuatnya semakin terlihat lebih “modern”. Graciera Nanda Aquera Tan, seorang gadis keturunan Chinese – Palembang. Atau Sebutlah dia Nanda Tan. Nanda lahir di Kuala Lumpur, ketika Ayahnya masih bekerja di perusahaan timah di Malaysia 15 tahun yang lalu. Tiga tahun awal sejak awal kelahirannya, Nanda dan keluarga menetap di sana. Hingga kembali ke negaranya, dia harus menelan masa- masa buruk saat duduk di bangku sekolah dasar di Jakarta. Nanda menuntut orang tuanya agar mengizinkan dia untuk tinggal di Denpasar bersama Tante Lian. Dan kini Nanda kembali ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas. Semua demi permintaan Ibu.

“mau kemana kamu setelah ini, Nanda? Masuk SMA, SMK, atau sekolah internasional? Pilih mana yang kamu mau, sayang...” tanya Ibu membuka percakapan.

“Nanda mau masuk SMIP, Bu.”

“SMIP?”

“Sekolah menengah industri pariwisata, Bu. Setingkat SMK. Boleh ya?”

“dari kecil kamu sudah belajar di sekolah Internasional. Kenapa sekarang kamu mau masuk SMK? Bahasa inggris kamu fasih, sayang. Teman – teman kamu banyak yang masuk sekolah internasional. Termasuk teman – teman kecilmu dari Kuala Lumpur. Apa nggak sayang sama pilihanmu itu?”

“Bu, pariwisata itu butuh banyak orang yang berkemampuan bahasa Inggris yang baik. Nanda rasa, Nanda bisa, Bu. Nanda ingin menjadi pemandu wisata seperti tante Lian.”

Ibu menatap Nanda penuh tanda tanya. Dadanya berdenyut cepat menyimpan keraguan. Nanda masuk SMK? SMIP? Ibu mengenal Nanda sebagai sosok gadis blasteran yang “canggih”. Meskipun mampu berbahasa Indonesia, Nanda lebih baik berbicara dengan bahasa Inggris. Singkatnya, Nanda lebih mampu berbahasa Indonesia dalam bentuk oral ketimbang lisan. Jika Nanda masuk SMK, dan banyak bertemu orang – orang yang menganggap anaknya aneh, Nanda pasti kembali bernostalgia dengan masa kecilnya. Masa – masa disaat Nanda menjadi korban kekerasan verbal. Bagaimana tidak, anak cantik satu ini lebih pantas berbahasa Inggris. Jika berbicara bahasa Indonesia, rasanya perlu latihan lagi agar terdengar lebih “nasional”. Sudah beberapa kali Ibu mengajarkan Nanda agar tidak berbahasa Inggris di lingkungannya karena Nanda sering dianggap “sok Inggris”. Namun Nanda selalu mengelak. “suatu saat mungkin bahasa Inggris akan menjadi bahasa terbesar kedua di negara kita, Bu. Nanda nggak suka belajar bahasa Indonesia sedangkan anak – anak zaman sekarang sering mengubah – ubah makna kata menjadi bahasa yang kasar. Nanda bisa bahasa Indonesia, Bu. Lihat saja aku sekarang. Cuma logatku saja yang sering menjadi bahan ledekan. Tidak apa – apa ya, Bu? Nanda juga merasa lebih cerdas karena teman Nanda belum ada yang fasih berbahasa Inggris.” Cerita Nanda suatu hari ketika Ibu sedang menasihati Nanda.

“Nanda, kamu yakin masuk SMK? Kamu ingat masa kecil kamu, nak? Kamu pernah dihina teman kamu karena dianggap sok bule, padahal memang kamu terbiasa berbahasa asing sejak kecil. Kalau kamu masuk sekolah internasional dengan kurikulum berbahasa inggris, kamu tidak perlu khawatir karena bahasa inggris adalah bahasa pengantar di sekolah internasional.” Ibu kembali mengelus rambut Nanda.

“Ehm... tapi mungkin saja dengan masuk SMK, Nanda jadi lancar bahasa Indonesia kan, Bu. Nanda jadi bisa dua bahasa.”

“Nanda... tapi...!”

Bu, tolong. Kali ini saja.” Nanda mencium tangan ibu lalu memeluknya erat – erat. Sekalipun Ibu sedang berdebar khawatir, Ibu tidak bisa mengelak kemauan anak semata wayangnya itu. Sikap optimisme Nanda sering kali membuat ibu kehabisan akal. Termasuk saat ini.

Jangan takut ya, bu!”

“Baiklah, terserah kamu, Nanda!”

Mereka saling memandang binar – binar air mata dengan penuh keharuan.

*

Satu bulan berlalu setelah masa orientasi siswa berakhir. Nanda sangat menghargai pilihannya sebagai siswi SMK Pariwisata. Kisah – kisah getir masa kecilnya hanyalah separuh khayalan semu yang tidak akan terjadi lagi di kehidupannya. “Siapa juga yang berniat menghina saya di sini sedangkan teman – teman saya berlomba ingin menjadi diri saya. Ehm, saya menyukai Indonesia dan saya juga mencintai bahasa Inggris. Dua hal penting dalam pariwisata!!” seru Nanda dalam hati. Ya, Nanda, namamu memiliki arti anugerah, semoga hidupmu akan selalu menjadi anugerah.

Nanda turun dari mobil pribadinya dan berjalan menuju bus di halaman sekolah. Hari ini adalah hari pertama Nanda mengikuti program wisata Jakarta. Sebuah program wajib dari pihak sekolah bagi siswa usaha perjalanan wisata. Dengan gegas Nanda naik ke bus dan mengambil kursi paling belakang. Semua anak kelas X UPW memperhatikan tingkah konyolnya tanpa terkecuali Bapak Sira, guru senior dengan gaya khasnya yang nyaris menegur Nanda karena terlambat hadir 10 menit.

Semua murid sibuk mencatat apapun yang dijelaskan oleh Pak Sira bersama beberapa murid pilihannya dari kelas XII. Perjalanan yang melelahkan, bahkan lebih melelahkan dari study tour ke luar kota sekalipun. Mencatat dan mendengar. Hanya dua aktifitas wajib yang harus murid – murid lakukan selama perjalanan berlangsung.

Nanda mengamati sekelilingnya, teman – teman sebayanya sibuk dengan urusannya sendiri. “mungkin semua ini tidak penting untuk mereka. Senangnya hidup lama di Jakarta”, pikir Nanda. Supir bus membelokkan kemudinya menuju suatu bangunan. Bangunan antik, cukup megah, terdapat patung gajah di halaman depannya. Pak sira terlihat semakin serius menanggapi teman – teman Nanda yang selalu “sibuk sendiri” selama perjalanan.

“Selamat datang di Museum Nasional! di sini kalian tidak bisa main – main. Ini adalah bagian dari tugas seorang murid usaha perjalanan wisata. Kalian bukan hanya mengunjungi museum ini, kalian harus mencatat serinci mungkin apapun yang saya katakan dan jangan ada yang terpisah dari rombongan. Setelah perjalanan ini berakhir, kalian harus segera mengumpulkan laporan dengan format yang sudah ditentukan!” suara Pak Sira semakin terdengar serak.

“Baik, Pak !” semua murid menjawab perintah Sang guru pujaan yang terkenal sebagai sepuluh besar orang yang paling berpengaruh di dunia pariwisata Indonesia. Mereka berjalan mengikuti arahan Pak Sira dan tanpa lalai mencatat.

Dan kini mereka berada di ruang geografi Indonesia.

“Museum Nasional sebagai museum terbesar dan tertua di Indonesia tidak hanya berisi arca ataupun keramik. Disini kalian dapat mengamati geografi Indonesia beserta kebudayaannya....”

Pak sira terus menjelaskan kalimat cerdasnya sembari tertawa – tawa kecil melihat kelakuan muridnya yang aneh – aneh saja. Beberapa kalimat terakhir Beliau membuat Nanda tersentak dan berhenti mencatat.

“Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dari peta geografi, mari kita lihat peta bahasa dan etnis. Indonesia memiliki 300 – 400 suku bangsa dan 360 bahasa. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa jumlah bahasa negara kita adalah 760. Namun dari peta ini dapat kita simpulkan bahwa jumlah bahasa di Indonesia sebanyak 360. Provinsi yang memiliki bahasa daerah paling banyak adalah Nusa Tenggara Timur. Lebih dari 100 bahasa ada disana, bahkan setiap kampung bahasanya hampir berbeda.” Pak Sira dengan bangga menjelaskan peta bahasa dan etnis. Beliau menatap peta itu cukup lama, sampai akhirnya beliau bicara lagi.

“Usia saya sudah 60 tahun. Selama ini saya banyak mempelajari bahasa – bahasa asing seperti bahasa Inggris, Perancis, Mandarin, Jepang, dan sedikit bahasa Belanda. Namun saya menyesal telah berusaha menjadi orang yang baik untuk orang lain,tapi orang lain tidak menganggap saya baik. Saya selalu dinilai kurang nasionalis, dan tidak idealis.”

“kenapa begitu, Pak?” Harry, salah satu cowo tampan di kelas mulai mengerutkan alisnya.

Pak sira menghela nafas panjang dengan beberapa detik untuk melanjutkan kata - katanya.

“karena saya mampu menguasai lima bahasa asing namun saya hanya menguasai satu bahasa Indonesia. Suatu waktu saya pernah ditanya wisatawan asal Belgia, dia bertanya kepada saya tentang bahasa Sunda. Bahkan minta diajarkan bahasa Sunda. Dia mengatakan bahwa bahasa Sunda adalah salah satu bahasa indah di Dunia setelah bahasa Perancis. Dan apa kalian tahu? Saya pun tidak bisa menjawabnya. Bukan karena saya bukan orang Sunda, namun karena saya memang tidak tahu bahasa Sunda. Bahasa daerah merupakan salah satu faktor daya tarik wisatawan.

Nanda membuka mulutnya perlahan, memberanikan diri untuk bertanya. “Bapak, bukankah bahasa asing itu penting?”

“Ya, memang penting. Penting untuk kalian berilmu namun tidak penting jika anda ingin dipandang Bangsa lain. Orang – orang di belahan dunia sangat mengagumi bangsa kita namun kita sendiri tidak mengaguminya. Belajarlah berbahasa Indonesia yang baik untuk hasil yang paling baik. Pariwisata itu bersifat dinamis dan lentur seperti karet.” Pak Sira berhenti bicara ketika semua murid bersemarak menepuk tangannya. Rasa bangga karena mereka telah mengenal pahlawan tanpa tanda jasa yang tidak mengenal lelah hingga usianya yang semakin senja. Nanda tersenyum sembari mengamati peta bahasa dan etnis. Dia terus bergumam dalam hatinya. Mungkin ini adalah bagian dari sebuah pembelajaran. Semua dimulai dari sini. “Terima kasih Bapak Sira! Saya ingin mencoba mengenal bahasa negara saya sendiri. Bahasa indah, ya bahasa luar biasa ! pasti menarik!” Nanda kembali berjalan dan melanjutkan catatannya.

*

Suara – suara robekan kertas terdengar dari balik sebuah kamar di lantai dua. Seorang gadis sedang bersandar di atas sofa bed berwarna pink dengan memegang alat tulis bermerk. lembar demi lembar kertas dijadikannya sebagai sampah, beberapa diantaranya dikumpulkan dalam kotak putih di samping tempat duduknya. Setiap orang akan menatapnya dengan iba jika banyak yang tahu bahwa gadis itu sedang meratapi penyesalan. Matanya tajam menatap langit malam. Goresan – goresan kecil mulai mewarnai kertas barunya.

Duri – duri waktu semakin menyekam.

Laksana rindu yang tiada terurai

Aku padamu hanyalah semu

Selalu menghilang ketika kelam.

Riung – riung waktu semakin teduh

Teduh dalam biru lalu berakar palsu

Semu, semua berparas semu

Aku tak lebih binatang gila

Yang semakin ganas dalam cinta

Yang semakin tunduk bila tersengat

Semua terlalu abu – abu.

NANDA TAN

Gadis itu mulai meneteskan air matanya yang semakin terasa dingin. Dingin, sedingin hatinya. Dia terus menatap langit malam yang semakin kelam. Dia ingin bercerita, namun rasanya belum di dengar juga. Kegelisahan terus melanda jiwanya. Perlahan – lahan gadis itu meraih amplop coklat dari atas meja belajar lalu membuka isi amplop tersebut.

“Ini tidak mungkin !!!” gadis itu berteriak dalam hati sekuat mungkin. Selembar kartu hasil belajar memberikan nilai 45 untuk pelajaran bahasa Indonesia atas nama Graciera Nanda Aquera Tan. Gadis itu menggigit bibirnya sampai berdarah. Mengisyaratkan kegalauan tergila dalam hidupnya.

“Tuhan, apa engkau tahu seumur hidup saya, saya tidak pernah mendapatkan nilai macam ini. ini memalukan, Tuhan !!!”

Kini gadis itu benar – benar menangis mengingat “pertempuran empat hari” akan dilaksanakannya beberapa bulan lagi.

“Tuhan, apa saya terlalu angkuh dengan kemampuan saya? Atau saya terlalu banyak mencela orang – orang yang tidak sepadan dengan saya. Namun kini ternyata orang – orang itu adalah orang yang lebih baik dari saya. Orang yang selalu bisa menerima kondisi apa adanyatanpa harus sempurna. Mereka hanya berusaha meminimalisir kesalahan. Sedangkan saya? Saya selalu takut dengan kesalahan saya dan berusaha angkuh dengan kebaikan saya, untuk kali ini, saya mohon ampuni saya Tuhan. Bukan maksud saya untuk memaksa diri.” Gadis itu kembali diam menatap langit. Kebodohan seperti bagian dari hidupnya.

“ini yang selalu ibu takutkan sayang, belajarlah menjadi pribadi yang menghargai apapun. Jangan terus mengejar mimpi sedangkan kondisi lama tidak lebih baik dari apa yang kamu impikan. Belajar menerima kesalahan kalau kamu belum bisa menghargai orang lain. Termasuk menghargai negaramu sendiri. Kamu tidak pernah mau ikut bimbingan belajar karena kamu benci bahasa Indonesia. Apa untungnya logat inggris yang sering kamu pamerkan itu. Ibu orang Indonesia, begitu juga dengan kamu. ” Suara ibu berbisik dari balik pintu kamar seorang gadis di lantai dua.

*

Nanda berusaha melupakan hal terburuk yang mungkin akan terjadi pada dirinya. Impian menjadi lulusan terbaik selalu menjadi pedomannya. Detik demi detik pikirannya berlalu dan sesaat terbelit kerinduan dalam benaknya. Bali, ya Bali. Nanda sangat merindukan Bali. Alkuturasi bersama budaya asing yang telah memberinya subjek sebagai orang yang kehilangan identitas tanah air dalam jiwanya. Walaupun sebenarnya tidak demikian, Nanda hanya seperti kebanyakan remaja lain yang lebih bahagia berbahasa asing ketimbang bahasa negara mereka sendiri dan menganggap itu semua adalah pelajaran berharga. Sayangnya, persentase sikap tersebut lebih besar untuk Nanda. Jika dihitung, Nanda 6 tahun tinggal di Jakarta dan sisa usianya dia hidup di Kuala Lumpur dan Bali. 9 tahun masa sekolahnya dulu, Nanda selalu bergabung di yayasan sekolah internasional yang kebanyakan warga sekolahnya adalah WNA.

Sepulang sekolah ini Nanda berencana pergi ke toko buku untuk membeli beberapa keperluan ujian Nasional yang akan berlangsung 3 hari lagi. Toko buku adalah tempat terindah kedua setelah rumahnya. Tempat yang tepat untuk mengisi keseharian Nanda yang tidak lebih dari bergurau bersama Ibu dan beberapa teman dekatnya. Nanda menghampiri lorong bagian novel di depan meja coklat yang menjual buku diskon.

“Ren, apa kamu ingat pelajaran kelas X, pelajaran pertukaran makna?”

“Iya ingat, wah susah ya, ameliorasi, peyorasi, apalagi ya... aku juga masih bingung sis!”

“Banyak siswa tidak lulus UN di pelajaran Bahasa Indonesia. UN itu seperti hantu ya... !”

Seketika Nanda mendengar pembicaraan 3 orang gadis yang sedang seksama memilih buku pribahasa dan salah satunya sedang membaca kamus besar bahasa indonesia. Melihat seragam putih abu – abu, Nanda lantas mengerti bahwa mereka adalah gadis sebaya Nanda yang sedang sibuk menyiapkan perlengkapan UN.

“Bahasa Indonesia? Pertukaran makna? Bukankah itu mudah? Semua butuh logika yang tepat!” nanda tersenyum sinis sambil berlalu menuju kasir tanpa menghiraukan pembicaraan panjang 3 gadis tersebut.

*

Tiga hari berlalu.

Hari ini adalah hari pertama Ujian Nasional bagi siswa SMA sederajat. Mata pelajaran pertama adalah bahasa Indonesia. Nanda sibuk mencari kursinya sedangkan teman – temannya saling berhamburan menuju siswa yang dianggap mereka cerdas. Apa lagi kalau bukan berniat konsultasi.

“Nah, itu dia. Argh, ramai sekali pagi – pagi gini. Bangku saya sudah ada penghuninya saja!” nanda meletakkan tasnya dan duduk di bangku temannya yang lain. Beberapa menit kemudian, bel masuk pun berdering. Semua murid sibuk kembali ke kursi masing – masing.

Pengawas memberikan lembar ujian diiringi dengan lembar – lembar soal yang tampak cukup tebal. Setelah selesai mengisi kolom identitas, semua murid mulai fokus mengerjakan soal – soal yang diberikan. Nanda duduk di kursi paling depan. Detik – detik aman ternyata sangat singkat. Tangannya mulai keringat dingin. Perutnya benar - benar mulas. Soal UN bahasa Indonesia benar – benar membuat Nanda panik tidak karuan. Nanda membaca soal satu per satu berharap ada yang bisa dia jawab dengan cepat.

“Hah? Apa ini ? kalimat majemuk, prosa? ah, prosa itu puisi, sajak, atau apalah. Kenapa harus ada yang lama sama yang baru? Setidaknya itu sama saja. Sama – sama fiktif. Andai seperti bahasa yang lain, saya tidak mungkin memikirkan ini lebih lama lagi!” Nanda mulai meremas pensil dan penghapusnya

Nanda pun menjawab pertanyaan dengan logika, bukan berdasarkan ketentuan.

“Ya, saya bisa bahasa, bukankah bahasa Indonesia tidak seperti tenses yang memiliki banyak aturan, kan? Ternyata ini cukup mudah!” dengan rasa optimisme yang menggebu Nanda adalah murid pertama yang keluar dari ruangan nomor 9.

“Nanda Tan, saya pasti lulus dengan predikat lulusan terbaik. Amin.”

*

Sebulan sudah Ujian Negara berlalu. Hari ini adalah pengumuman kelulusan untuk tingkat SMA sederajat.

“surat kelulusan akan dikirimkan penjaga sekolah, Nanda. Untuk apa kamu berdiri di sana sedari tadi?

“aku ingin melihat surat kelulusanku untuk pertama kali Bu, bersama Ibu.”

“kamu pasti lulus, sayang!”

“Amin, Bu !”

Suara klakson motor penjaga sekolah berbunyi dari depan rumah Nanda. Dengan sigap Nanda mengambil surat kelulusan dan membukanya.

“Bu, Nanda lulus ! satu lagi mimpi Nanda di masa sekolah, mungkin aku akan jadi lulusan terbaik. Sama seperti saat aku lulus SMP dulu.”

“Ibu juga berharap begitu, berdoalah kepada Tuhan, sayang.” Ibu memeluk Nanda penuh haru. Putri kecilnya kini telah tamat SMK.

Ah, tapi bagaimana dengan mimpi Nanda? Ibu tahu sesuatu !

*

Saat wisuda telah tiba, Nanda dengan kebaya cantiknya bergandengan dengan Ibu menuju ruang kartika. semua orang terpanah melihat kecantikannya. Gadis oriental yang terkenal bule itu benar – benar anggun berbalut kebaya kuning dan kain songket. Nanda memakai baju toga berwarna biru lalu duduk di bangku wisudawati.

Para wisudawan dan wisudawati bergantian maju ke atas panggung. Suasana membahagiakan menyelimuti seisi ruangan. Tahun ini, SMK Pariwisata berhasil meluluskan 100% muridnya.

Dan sebentar lagi adalah pengumuman lulusan terbaik. Nanda mulai memainkan mimpi indahnya.

“Dan siswa dengan nilai UN tertinggi diberikan kepada... Camelia Nur Cahaya dari kelas XII UPW dengan jumlah nilai 39,50!” semua orang berdiri memberikan apresiasi kebanggaan. Kecuali gadis yang sedang lesuh di barisan terakhir bangku wisudawati. Telapak kaki Nanda seperti terbang dan hilang tak berarah. Mimpinya laksana buaian dalam belenggu dosa. Untuk ketiga kalinya Nanda seperti menelan pil pahit yang tiada habisnya. Nanda menoleh ke arah Ibunya di barisan belakang. Nanda berkaca – kaca pada kesalahaan yang tidak kunjung diperbaikinya. Hal – hal kecil yang tidak semestinya terjadi saat ini bermula dari keangkuhan nasionalisme.

“aku benar – benar disambar petir bertubi – tubi, Bu! Memalukan!” nanda membalikkan badan dan mengepalkan kedua tangannya. “Ternyata, Ibu menyimpan nilai UN Nanda dengan baik. Meskipun SKHUN belum diturunkan, Ibu telah mengetahui bahwa nilai UN bahasa indonesia Nanda adalah 5,5. Kenapa Ibu tidak cerita saja? Pantas ada yang ganjil saat kelulusan saat itu. Ketika temanku membicarakan nilai rata – rata UN, dan aku bertanya kepada Ibu, Ibu selalu berkata bahwa nilai UN Nanda belum diberikan!” Ibu menundukkan kepalanya dan berisak pedih dalam hati “semoga kamu dapat belajar dari pengalaman pahitmu, nak. Itu maksud Ibu. Maaf sayang, maaf!”

“Baiklah, Nanda tan, aku harus memulai semua dari awal.”

*

Setiap kali ibu mengelus rambut panjangku dengan lembut, penuh cinta kasih yang tidak bisa beliau ungkapkan dengan kata – kata. Aku selalu merasa, bahwa Ibu adalah takdir terindah dalam hidupku. Ibu, engkau selalu mengiringi langkah – langkahku.

“mau kemana kamu setelah ini, Nanda? Masuk PTN, kerja, kursus atau ada yang lain? Pilih mana yang kamu mau, sayang...” tanya Ibu membuka percakapan.

“Nanda mau masuk UNJ, Bu. Universitas Negeri Jakarta.”

“UNJ? Menjadi guru? Bukannya kamu ingin menjadi pemandu wisata, Nanda?”

“Ya Bu, aku mau jadi guru bahasa Indonesia saja. Boleh ya, Bu ?”

“kamu yakin, Nanda?”

“sangat yakin!”

“kamu tidak takut akan dilecehkan lagi?”

“tidak ada orang yang bisa mengelak kemuliaan seorang pahlawan tanpa tanda jasa, Bu.”

“Baiklah. Pilih apapun yang kamu mau, sayang!”.

“terima kasih, Bu. Aku mencintaimu.”

Ibu memeluk Nanda erat – erat. mereka saling memandang binar – binar air mata dengan penuh keharuan.

*

Aku, Graciera Nanda Aquera Tan, seorang mahasiswi UNJ jurusan bahasa dan sastra Indonesia.

Kelak jika aku menjadi seorang guru Bahasa Indonesia, aku ingin semua muridku mendengar kisahku. Kisah sesorang yang selalu mencintai globalisasi meskipun globalisasi telah membawanya kepada suatu penghinaan. Anggaplah Nanda seorang Warga Negara Indonesia yang tergila – gila gaya internasional. Aku teringat ketika Bapak Sira pernah berkisah tentang pengalaman pilu dari seorang wisatawan asal Belgia. Aku harus seperti Beliau! Berjiwa besar dan menghargai keadaan. Nanda Tan, apa aku mencintai Bahasa Inggris karena kelahiranku di Kuala Lumpur dan bersahabat dengan orang – dari dari belahan dunia? Tidak! Aku mencintai bahasa Indonesia. Bahasa indonesia adalah bahasa nasional bangsa indonesia. Sesuai sumpah pemuda 28 Oktober 1928. “Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia!”

Selama ini aku membanggakan diri sebagai sosok yang tidak pernah tertinggal modernisasi namun aku tidak mampu mencintai bahasa ibuku sendiri? Aku kah korban globalisasi? Ketika bahasa Indonesia aku anggap seperti bahasa “kedua” dan aku tidak punya rasa nasionalisme. Aku, aku orang yang keliru. Aku seperti lari dari bangsaku sendiri. Banyak orang lebih memilih mendiskusikan sesuatu dalam bahasa asing. Aku tidak mengerti mengapa bahasa asing selalu dianggap lebih layak. Jika begitu, kemana moral bahasa Indonesia? Apakah hilang tertelan teknologi informasi? Semoga tidak!

Bahasa Indonesia, bahasa kita. Bahasa Indonesia telah memanggil jiwaku untuk berbakti kepada negara ini dengan membimbing anak cucunya. Sekalipun terdapat 360 bahasa daerah, bahasa indonesia adalah bahasa nasional. Kini aku berprinsip, Bangsa yang besar adalah Bangsa yang mencintai bahasanya sendiri. Bahasa Indonesia sebagai identitas Bangsa yang tidak bisa diraih oleh siapapun.

Salam hangat terdalam, untuk orang – orang yang mampu bangkit dari penyesalan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun