Semalam sehabis nonton film King's Speech bareng mantan pacar (istri saya maksudnya, bukan mantan pacar yang benar-benar mantan pacar lho ya!), kami mampir ke mini market. Di sana istri saya membeli beberapa cemilan. Dan saya yang sudah mencanangkan program berhenti merokok (lagi-lagi) terpaksa membeli sebungkus rokok. Pembenaran untuk pengingkaran janji berhenti merokok kali ini adalah karena tadi malam itu saya kedinginan dalam ruang bioskop. Dan kalo misalnya alasan di atas masih kurang benar saya toh sudah menyiapkan pembenaran lainnya: karena saya ini mudah terinspirasi oleh karya-karya besar sineas Hollywood dimana dalam film King's Speech yang semalam saya tonton banyak sekali adegan aktor-aktornya merokok di jalanan kota London yang sejuk.
Istri saya sibuk memilih cemilan. Dia selalu menghabiskan waktu yang lama dalam memilih cemilan. Memang tidak pernah mudah ketika kita harus mencari cemilan enak yang kemasannya berukuran kecil (kalo perlu super kecil) supaya gampang disembunyikan di tempat-tempat tak terduga di dalam rumah. Tapi tenang, saya selalu bisa mengendus aroma cemilan itu di manapun dia menyembunyikannya. Hidung saya sangat peka. Satu-satunya persyaratan yang tidak bisa saya penuhi untuk menjadi anjing pelacak adalah karena saya manusia.
Astaga, sori. Saya terlalu melebar.
Akhirnya saya memutuskan untuk membayar rokok saya trus keluar mencari api. Di depan mini market itu berdiri seorang penjual buah lontar. Kalo kami di sini di Makassar menyebutnya buah tala (selanjutnya kita sebut saja buah tala ya). Sebelum saya sempat berkata-kata untuk meminjam koreknya dia sudah duluan maju menawarkan dagangannya.
"Pak, buah tala pak..."
Saya tidak suka buah tala. Saya ini pemakan daging dan kurang suka buah. Satu-satunya buah yang saya suka ya buah berbentuk daging. Halah!
"Makasih, Daeng... Nda ji," kata saya sehalus mungkin. Daeng dalam bahasa Makassar berarti kakak. Kita memanggil Daeng untuk orang yang kita tuakan.
Si Daeng cuma cuma senyum lirih mendengar penolakan saya.
Saya meliat ke jam tangan saya dan ternyata waktu sudah menunjukkan lewat jam 11 malam. Di waktu yang sudah selarut ini si Daeng penjual tala masih menawarkan dagangannya. Buah yang belum terjual juga masih banyak, kira-kira masih ada sekitar 20-an kantong plastik.
Si Daeng itu perawakannya pendek dan ringkih. Raut-raut di wajahnya sudah cukup untuk menceritakan getir hidupnya. Sebagian rambutnya sudah putih dan saya yakin itu uban, bukan hasil bleaching salon. Badannya yang mungil masih harus memikul bambu tempat kantong-kantong plastik buah tala di tengah malam yang dingin di waktu kebanyakan orang sudah hampir tertidur di depan tivi di dalam rumah mereka yang hangat. Jujur saya merasa iba dengan kondisi si Daeng. Saya jadi nda enak mau pinjam korek. Saya malah terbersit untuk kasih duit. Tapi ada juga pikiran saya yang lain yang muncul secepat kilat, "Kasih duit? Kenapa kamu mesti kasih duit? Lebay ah kamu, wahai Elvin Miradi..."
Tapi saya langsung ingat kata-kata guru saya Pak Ary Ginandjar yang bilang, "Pikiran yang muncul pertama kali ketika kita melihat penderitaan orang lain adalah kata hati, pikiran yang menyusul sesudahnya seringkali kata-kata setan,"