Sepiring nasi gurih dengan tongkol balado, sepotong risoles plus teh manis panas jadi menu sarapan saya minggu pagi(4/28) kemaren. Pagi yang istimewa karena kami, saya dan suami, sedang berada di kota Medan. Plesiran bulan muda. Suami saya minat sekali berkunjung ke Museum Negeri Sumatra Utara yang ada di jalan HM Joni. Selepas menyeruput kopinya suami menggiring saya ke seberang jalan menuju museum yang berbentuk rumah adat Batak tersebut. Masih jam 9 pagi, suasana masih terlihat sepi,saya ragu sudah buka atau belum. Tapi seorang petugas tidak berseragam memastikan sudah buka sambil menunjuk loket yang ada di kiri gerbang masuk. Kami berjalan ke sana melintasi halaman museum, tapi tidak bertemu siapapun. Setelah berapa kali memanggil akhirnya seorang perempuan melambai dari arah pintu museum. Sambil keheranan dalam hati kami menuju ke arah yang ternyata adalah lobi. Perempuan itu bertanya ramah kami dari mana sambil mengajak masuk. Saya jawab apa adanya. Suami saya memilih berhenti dihadapan sebuah peta geologi yang terdapat di samping meja petugas. Sadar kami tidak ingin didampingi perempuan itu akhirnya memberitahu bahwa kami harus membayar dua ribu rupiah/orang untuk bisa berkeliling. Saya menyerahkan uang lima ribu rupiah dan kami pun masuk tanpa diberi tiket. Meski terasa janggal, tapi ya sudahlah. Kami awali dari sayap kanan gedung, menemukan berbagai arca serta peninggalan sejarah yang terkait dengan peradaban masyarakat Batak sebagai etnis terbesar propinsi Sumatra Utara. Banyak sekali koleksi arca di sini . Juga berbagai replika yang sangat menarik, tapi lihatlah ke sebelah atas, plafon yang menganga dengan ember penampung air hujan dibawahnya. Hampir di setiap ruang terdapat kerusakan plafon, hingga ember penampung tergeletak di mana-mana. [caption id="attachment_257838" align="alignnone" width="518" caption="Bocorrrr"][/caption] Kami lanjut makin ke dalam . Betapa antusiasnya saya saat melihat foto besar proses penyadapan tanaman karet pada tahun 1930 an berdiri gagah di tengah ruang. Juga foto seorang pribumi Eropa pada sebuah papan yang menempel di pohon besar yang akan ditebang. Dokumentasi yang saya kenali sebagai bagian dari sejarah perusahaan perkebunan tempat saya bekerja sekarang. Memang perkebunan dan perdagangan adalah nadi dari propinsi yang sekarang di pimpin oleh Gatot Pujo Nugroho ini.  Wahh, saya makin bersemangat membaca satu persatu keterangan yang tertera. [caption id="attachment_257839" align="alignnone" width="576" caption="dokumentasi berharga"]
[caption id="attachment_257842" align="aligncenter" width="432" caption="bocor lagii"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H