Sabtu pagi, saat yang menyenangkan bagi diri untuk bersantai setelah lima hari disibukkan dengan kegiatan gono-gini. Sudah menjadi rencana bahwa aku akan bangun lebih siang, kemudian menghabiskan waktu untuk membaca buku atau mengerjakan tugas-tugas yang belum rampung dengan load waktu yang lebih santai. Namun, semua rencana sirna ketika alarm yang sengaja kuatur sedikit siang hari ini kalah pagi dengan ributnya suara anak-anak komplek.
Tidak ada yang salah dalam hal ini, mereka---selayaknya kita juga ingin menikmati akhir pekan dengan bahagia. Berkumpul dengan teman setelah menghabiskan minggu-minggu penilaian akhir sekolah yang berat sudah menjadi satu hal menghibur bagi mereka. Aku pun memutuskan untuk menikmati Sabtu pagi dengan duduk di teras rumah, meminum teh manis hangat buatan mama, dan memeriksa notifikasi pagi.
Permasalahan timbul ketika aku mendengar tuturan kasar yang keluar dari kerumunan anak komplek. Dalam dunia permainan yang mereka ciptakan, tuturan kasar seperti bit**, WT* cukup sering terdengar. Keterkejutan langsung hinggap di diri saya. Pasalnya, sejak kecil hingga sekarang tuturan kasar sangat jarang terlontar dari mulut saya. Saya masih mengingat betul lidah saya dioles dengan cabai rawit ketika dengan sengaja saya menyumpah dan menyebut kata anjr**. Saat itu, saya tengah duduk di kelas tujuh (SMP).
Tidak hanya itu, keprihatinan saya bertambah ketika mereka cukup santai menyanyikan lagu anak-anak berjudul Becak-becak yang liriknya telah digubah dan identik dengan pembunuhan mantan. Sungguh ironi. Anak kecil yang sesungguhnya belum paham betul (secara matang) mengenai pembunuhan, mantan, selingkuhan, dan berbagai hal-hal yang (seharusnya) identik dengan kehidupan orang dewasa telah sedari dini terpapar konten-konten tidak baik yang disajikan oleh media. Menjadi semakin geger karena orang tua sering kali bertindak abai dalam menyaring konten-konten dan mengedukasi anak.
Benar bahwa saya tidak seharusnya mengambil sikap menyalahkan orang tua atau mengkomparasi zaman ketika saya masih anak-anak dengan zaman sekarang. Namun, perkembangan zaman yang semakin pesat diiringi dengan kemudahan akses terhadap informasi perlu diimbangi dengan kebijaksanaan orang tua. Peran orang tua sebagai pendidik nomor satu di dalam rumah tidak serta-merta hilang seiring perkembangan zaman. Penanaman karakter tetap perlu dipupuk guna membentuk generasi bangsa yang matang. Saya yakin, tidak ada kata terlambat bagi pendidik (guru dan orang tua) untuk membentuk karakter generasi muda. Tantangannya adalah, apakah kita memiliki kepedulian terhadap hal tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H