Mohon tunggu...
Elvinakey
Elvinakey Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menjejak, supaya diingat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata Pak Talib

20 April 2021   11:16 Diperbarui: 20 April 2021   11:38 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Belum habis perkara gemparnya penyakit yang disebabkan oleh virus menular, kali ini bencana baru menghampiri Desa Gujarat. Siapa sangka? Desa yang permai, indah, meski sektor pariwisatanya belum dilirik ini menjadi salah satu desa terdampak bencana alam. Warga-warga mengungsi karena puluhan rumah hanyut ditelan melimpahnya air. Puluhan korban luka-luka, hilang, bahkan beberapa ditemukan tidak bernyawa lagi.

            Hari itu, seluruh desa sedang sibuk mempersiapkan hajatan. Kali ini dengan persetujuan Pak Talib, sang kepala desa, hajatan besar dapat digelar. Persetujuan digelarnya hajatan pernikahan anak wakil kepala desa ini dinilai tidak adil. Baru beberapa minggu yang lalu hajatan Pak Muklis digusur karena tidak sesuai protokol kesehatan, namun minggu ini justru wakil kepala desa yang menggelar hajatan besar. Tidak hanya itu, warga Gujarat bahkan dikejutkan dengan sosok Pak Talib yang tampil sebagai saksi nikah kedua mempelai.

            Serbuan dari warga nyinyir tidak tanggung-tanggung, beberapa kali warga nyinyir menunjukkan ketidaksukaannya kepada pak Talib dengan sengaja membuang sampah di depan rumahnya, atau berpura-pura tidak melihat Pak Talib saat sedang berpapasan di jalan. Pun hal ini tidak direspons oleh Pak Talib secara vokal. Kebisuannya selalu mengukir rasa kagum di hati pemujanya, meski di pihak oposit, hal tersebut pertanda Pak Talib tidak memiliki kuasa untuk dapat membela dirinya.

            Hajatan tetap hajatan. Bagi warga Gujarat, baik musuh maupun teman tetap akan menjadi saudara di bawah tenda hajatan. Sudah menjadi hukum alam bahwa tidak ada dua warna kontras yang terlihat di sepanjang acara. Warga nyinyir dan tidak nyinyir bergabung dalam satu antrian panjang menunggu giliran memegang sendok daging prasmanan. Semua berjalan lancar hingga datanglah bala ke Desa Gujarat. Seusai pesta, saat Pak Talib baru saja melepas sepatunya, hujan deras mengepung Desa dari berbagai sisi. Curah hujan tidak main-main kali ini, luapan air sungai tidak terbendung, tumpah ruah meremukkan tulang-tulang rumah. Lunglai sudah tempat teraman bagi masing-masing keluarga Desa Gujarat meletakkan penat. Rata dimakan gelombang air yang kian detik kian deras. Masing-masing anggota keluarga yang tercerai berai saling mencari, saling menyelamatkan. Bersahut-sahutan mereka menangis mempertanyakan nasib kepada Yang Kuasa.

            Dalam rumah mewahnya, bergetar hati Pak Talib mendengar sengsara Desa Gujarat. Dipakainya sepatunya serampangan, bergegas dirinya pergi memantau situasi. Seorang anak kecil dalam gigilnya memanggil nama Pak Talib.

            "Bapak. Alam marah karena kita tidak mengundang mereka dalam hajatan bapak wakil kepala desa, akibatnya di hari yang sama alam berpesta pora melihat kita menangis."

Detik itu pula, Pak Talib tersungkur. Sesal dan sedih tergambar dalam wajah letihnya. Pun air matanya memeluk tanah, menyampaikan maafnya pada bumi yang sangat jarang menjadi bagian dari perhatiannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun