Mohon tunggu...
Elvinakey
Elvinakey Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menjejak, supaya diingat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebijakan Baru Pak Talib

1 April 2021   01:48 Diperbarui: 1 April 2021   01:51 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Seperti biasa, Pak Talib memulai harinya dengan duduk di kursi teras jeparanya sambil menyeruput teh manis hangat. Tidak lama, dirinya terjun dalam dunianya sendiri. Tenggelam dalam sajian bacaan harian yang sejak dari lama menjadi langganan rutinitas paginya. Bola matanya menyapu bersih kolom demi kolom, baris demi baris. Sesekali matanya berhenti pada satu kalimat, tanda pikirannya sedang bekerja keras mencerna informasi yang baru saja ia telan. Hari ini, tanggal satu April. Berdasarkan berita yang dibacanya, kondisi politik tanah air sedang adem ayem, sementara perhatian nusantara sedang dihebohkan dengan berita bom bunuh diri di Makassar dan upaya penyerangan yang dilakukan seorang wanita di Mabes Polri.

            "Ah kacau, ada-ada saja ulah masyarakat ini." Tukas Pak Talib sambil meletakkan surat kabar yang sudah selesai ia baca. Tangannya meraih cawan berisi teh manis yang kondisinya tidak lagi sehangat semula. Diteguknya tandas teh tersebut, lalu dirapikannya surat kabar yang tadi hanya diletakkan serampangan. Kali ini matanya tertuju pada satu hal, terdiam sesaat, lalu kembali merapikan surat kabar.

            "Buk, saya berangkat ya." Ujar Pak Talib berpamitan pada istrinya. Dengan sigap Bu Talib meninggalkan aktivitasnya yang semula sedang bermain dengan cucunya yang lucu, kemudian mengantarkan Pak Talib ke depan gerbang.

            "Hari ini ada rapat dengan seluruh mentri-mentri desa," ujar Pak Talib

            "Kaya presiden aja, ada mentrinya."

            "Oh ya harus dong, yang baik dari pak Presiden harus ditiru sama Gujarat" Pak Talib menimpali, sambil menutup gerbang. Kemudian dilangkahkan kakinya mantap menuju balai desa.

            Sesampainya di Balai Desa Gujarat, Pak Talib memiliki waktu mempersiapkan diri sebelum rapat dimulai. Agenda rapat yang telah ia ramu dari jauh-jauh hari kini dikeluarkannya dari tas kulit buatan Itali, hadiah dari teman saudagar lainnya. Dalam agenda itu pula, Pak Talib menambahkan hal-hal penting yang baru saja dia pikirkan dalam perjalanan menuju Balai Desa tadi. Tangannya sibuk menuntun pena untuk mengguratkan ide-ide yang dirasa sangat perlu untuk disampaikan nantinya.

            Rapat pun berlangsung, seusai doa pembuka yang dibawakan oleh bapak Mentri Agama Desa Gujarat, sah sudah rapat penting desa berjalan. Pak Talib memiliki waktu untuk memegang mikrofon pertama, dan dalam kesempatan ini, Pak Talib tidak menyia-nyiakannya.

            "Saya memiliki beberapa kebijakan yang harus disetujui oleh seluruh mentri tanpa tapi," begitu kata sambutan yang disampaikannya. Seluruh mentri bingung, tidak biasanya Pak Talib bersifat tidak ingin ditentang.

            "Pertama, dalam bidang pendidikan. Saya mau sekolah memungut iuran sebesar lima puluh ribu per-bulan kepada setiap siswa. Tidak boleh mengutang, tidak boleh putus sekolah juga. Jika hendak putus sekolah, siswa tersebut perlu membayar sepuluh kali lipat dari besaran iuran bulanan." Pernyataan pertama disambut oleh bisu seluruh mentri. Mata mereka tiba-tiba sudah sebesar jengkol khas Desa Gujarat yang harusnya dipanen pekan depan. Pak Talib hendak melanjutkan prosesi pembacaan kebijakan baru, hingga seseorang dari sudut kanan meja siding bersuara.

            "Anu.. Pak.. Maaf. Mengapa tiba-tiba iuran pendidikan diadakan? Bukannya kita memiliki dana bantuan dari pemerintah?" Ternyata yang berbicara adalah mentri pendidikan.

            "Saya sudah katakan di awal, mas mentri. Kalau kebijakan ini harus disetujui tanpa tapi." Dengan tenang, Pak Talib menjawab.

            "Ta.. ta.. tapi Pak, saya hanya bertanya." Balas sang mentri takut.

            "Barusan itu anda mengucapkan kata tapi. Sudah-sudah, saya lanjut dulu ke kebijakan kedua. Ini kebijakan khusus kepada mentri transportasi. Mulai hari ini, setiap kendaraan masyarakat nyinyir yang melintas dari jalan yang telah kita hot mix dikenakan tarif dua puluh ribu per-perjalanan."

            "Lah, Pak. Dari mana saya tau itu kendaraan warga nyinyir atau bukan?" Tanpa takut sang mentri transportasi menimpali.

            "Lah, mana saya tau. Itu kan tugas kamu. Kalau kamu gak bisa, ya sudah jabatan mentri saya berikan kepada preman Gujarat saja. Mereka lebih handal sepertinya." Ujaran pedas Pak Talib dibalas kerutan di dahi mentri transportasi. Berbeda dari sebelumnya, kini dirinya tidak berani menimpali tuturan Pak Talib.

            "Ketiga. Pasokan pupuk dan perbaikan irigasi diberhentikan sementara. Petani sekarang semakin malas saja, saya lihat-lihat. Mentri ekonomi segera alihkan anggaran kepada pembangunan pariwisata desa. Kerjasama dengan mentri pariwisata."

            Sekretaris rapat yang sedari tadi sibuk menulis notula kini menghentikan kegiatannya.

            "Kita tidak punya mentri pariwisata, Pak Talib"

            "Ya cari." Sambung Pak Talib enteng.

            "Tapi desa kita bukan desa pariwisata." Timpal sang sekretaris kesal.

            "Rapat ini mengharamkan kata TAPI." Ujar pak Talib gampang.

Suasana ruangan semakin panas. Semua mentri resah dan terheran-heran dengan sosok kepala desa yang selama ini mereka bangga-banggakan. Pada saat yang bersamaan, tidak ada yang berani mempertanyakan hal apa yang sebenarnya terjadi pada diri Pak Talib.

            "Saya lanjut ya. Nanti banyak waktu kita terbuang sia-sia. Kan lucu kalo di rapat selanjutnya kita harus mengangkat satu mentri lagi. Mentri Waktu. Ha..ha..ha." Tawa Pak Talib meledak, dan para mentri yang menjadi angus dan gosong karena ledakannya.

            "Pajak kita naikkan 15 persen. Iuran listrik dan air juga naik 15 persen."

            "Lah pak tidak bisa begitu."

            "Kenapa tidak bisa?" Pertanyaan tersebut dilemparkan Pak Talib santai.

            "Anu.. Pak.. Kasihan warga." Ujar mentri sosial.

            "Mantap Pak mentri sosial. Kalo gitu, bapak aja yang bantu warga ya." Pak Talib memandang wajah mentri sosial dengan senyum.lalu pandangannya dilayangkan pada seluruh peserta rapat.

            "Ha.. ha.. ha...APRIL MOP!" Pak Talib tidak kuasa meredam geli sedari tadi, kali ini, ditumpahkannya seluruh tawanya menatap mentri-mentrinya yang sudah kepalang bingung menghadapi pemimpin desanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun