Mohon tunggu...
ELVI HIDA
ELVI HIDA Mohon Tunggu... Freelancer - Dewa Hades

Do what you expect to do

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasib Bumi Pertiwiku

18 Februari 2018   06:25 Diperbarui: 18 Februari 2018   07:12 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan lautan hanya kolam susu

Kail dan jala cukup menghidupmu

Tiada badai tiada topan kau temui

Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Lagu yang sangat populer dikalangan anak Indonesia. Tapi kita juga sadar, lagu-lagu itu memang nyatanya ya. Apakah itu artinya negara kita sangat kaya? Ya, dalam hal sumber daya alam. Namun, apakah bisa bersaing dengan negara yang mempunyai lahan kecil dan bercuaca ekstrim? TIDAK! Indonesia jauh terbelakang.

Negeri yang sangat kaya pada sumber daya alamnya untuk urusan beras saja masih impor, wajarkah? Tidak. Bahkan di daerah yang menyimpan berton-ton emas didalamnya marak terjadi kasus kemiskinan dan gizi buruk.

Siapa yang salah? Siapa yang bertanggungjawab? Pasti sebagian besar manusia menjawab dengan lantang dan bangga "pemerintah!"

Jangan salahkan pemerintah jika negara kini semakin bobrok, bukan hanya tentang para pejabat yang suka koruptor, tapi juga masyarakat yang tak acuh, dan guru yang mendoktrin anak didiknya sukses jika berprofesi sebagai polisi, tentara, dan profesi mentereng lainnya. Pada usia sekolah dasar ketika guru membahas tentang cita-cita, pernahkah mereka mengenalkan petani atau nelayan  kepada anak? Tidak, memang bukan semua, tapi kebanyakan, karena mereka berfikir kedua profesi itu adalah profesi kumuh, dengan penghasilan yang sangat sedikit. 

Bagaimana bisa, negeri yang hanya menancapkan tongkat kayu jadi tanaman tapi tak ada yang mau menancapnya? Apakah kita telah terlalu terhipnotis dengan kemurah hatian tanah ini, hingga tak lagi khawatir apa yang akan terjadi kedepannya jika kita terlalu tak peduli.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun