Terlahir sebagai anak pertama dan menjadi seorang kakak membuatku merasa punya bertanggung jawab, ingin membela dan melindungi keluarga. Aku masih ingat dengan jelas ketika Ibu memohon agar Ayah tidak angkat kaki dari rumah. Dan Ibu rela dimadu oleh perempuan yang telah merebut kedamaian keluarga kami.
Saat itu aku masih duduk di klas dua Sekolah Menengah Pertama.
Suatu sore Ayah membawa semua pakaiannya dengan dua buah koper besar. Ibu menangis memohon Ayah untuk tidak pergi.
"Ayah, jangan pergi demi anak-anak. Saya mohon, saya ikhlas dimadu." Ibu bersimpuh sambil memegang kaki Ayah.
"Aku sudah bosan! Dengan segala tetek bengek rumah ini!"
Plakk
Bukk
Ayah menampar dan menendang Ibu, tubuh perempuan yang melahirkanku terkulai di sudut kamar. Aku terdiam dan ketiga adikku menangis ketakutan. Karena tak tahan melihat kondisi ini. Aku berlari melindungi Ibu.
"Ayah cukup! Jangan sakiti Ibu, cukup perselingkuhan Ayah menjadi duri dalam daging." Teriakku.
"Oh, kamu sudah besar ya? Lancang!"
Plakk