"Apa sih pamer terus", "Aku sepertinya harus unfollow dia karena sering bikin mental breakdown", "Kenapa sih orang ini toxic banget postingannya?"
Â
Ya, kurang lebih seperti itu tanggapan kita ketika ada teman kita yang membagikan kebahagiaan di sosmednya. Lalu benarkah tindakan yang kita lakukan untuk menghindarinya? Mungkin itu benar, untuk menjaga mood dan tidak membuat kita merasa insecure. Tapi, sampai kapan kita harus menghindar, apakah kita bisa terus menghindar? Bukan kah di sosial media memang tempat untuk pamer? Lalu apakah sebaiknya kita tidak menggunakan sosial media apapun?
Â
Coba kita renungi lagi, sosial media adalah bentuk inovasi yang berkembang seiring kemajuan zaman. Apakah kita akan membenarkan, jika kita terus bersembunyi dalam pemikiran kuno padahal zaman terus berkembang? Apakah kita sepatutnya mempertahankan diri dalam persembunyian untuk selamanya? Lalu apa bedanya kita dengan manusia pra aksara? Lalu apa bentuk adaptasi kita dengan kemajuan zaman yang ada?
Â
Sekarang kita coba balik keadaannya. Apakah kamu merasa pernah pamer? Apakah mungkin orang lain mengira kamu pamer, padahal sebenarnya tidak terbesit sedikitpun keinginanmu untuk melakukannya. Benar, semua itu bergantung pada sudut pandang, bagaimana pemahaman dan cara berpikir akan menjadikan hal yang sama menjadi berbeda.
Â
Mungkin kamu yang dianugerahi wajah cantik, dengan polosnya selalu posting foto selfie. Tanpa kamu sadari, pasti ada yang merasa kamu itu suka pamer kecantikan. Tentu saja orang yang kurang cantik berpikir seperti ini. Sebagian orang suka membagikan momen hangat bersama keluarganya. Padahal bagi keluarga broken home itu sangat menyakitkan bukan. Sesederhana postingan sedang bekerja di kantor, mungkin bagi sebagian orang bisa saja kamu diartikan sedang pamer dan membuat iri mereka yang pengangguran.
Â
"Tapi yang aku maksud pamer itu kan mereka yang posting beli barang branded baru, atau upload dia lagi dapat achievement tertentu. Pasti semua orang juga berpikir seperti itu"
Â
Pikiran itu benar, dan memang tidak salah bahwa pada umumnya orang sependapat dengan hal itu. Tapi coba kita telaah lagi, sebenarnya orang yang berpikir seperti itu bukankah posisinya sama denganmu? Apakah mereka yang terbiasa membeli barang mewah, terbiasa mendapat medali akan berpikir demikian? Tentu saja tidak!
Â
Kalau boleh dirakit dalam kalimat, kurang lebih konsepnya begini. Kita akan merasa dipameri ketika kita tidak dapat memiliki atau menggapai hal yang sama. Apakah ini benar? Jadi, apakah mereka yang pamer, atau kita aja yang iri hati? Yuk lebih banyak self-talk biar kita paham, yang toxic itu orang lain atau hati kita yang suka penyakitan. Yang harus di unfollow mereka, atau kita yang belajar mengubah sudut pandang dalam melihat postingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H