"Nanti kalian diculik penunggu pohon pulai itu, kalian dibawa masuk ke dalam pohon itu, terus gak bisa keluar. Tinggal selamanya dengan hantu pohon pulai itu." Begitu omongan salah satu tetangga kami. Beberapa teman ada yang keder, lalu tidak pernah lagi ikut ke kolam.Â
"Kemarin, ada anak-anak main di kolam itu pas adzan Dzuhur, dia ditampar hantu pulai, bibirnya jadi mencong (miring) dan nggak bisa balik lagi." Usaha menakut-nakuti kami agar tidak lagi ke kolam terus dilakukan. Bagi kami yang dianggap bandel, jika tidak ada bukti yang terpampang nyata, omongan tersebut sekadar bualan orang dewasa saja. Bermain lumpur sambil mencari ikan dan belut tetap saja kesenangan yang sulit tergantikan.Â
Saya lupa kapan terakhir saya dan teman-teman tetangga berhenti main ke kolam tersebut. Saat SMP, kolam-kolam tersebut tiba-tiba sudah hilang, berganti dengan beberapa bangunan rumah di atasnya. Seiring dengan teman-teman bermain saya yang juga ikut pergi. Ada yang pindah ke kota lain, ada yang punya hobi dan mainan baru.Â
Sampai sekarang, abang saya masih hobi memancing. Tidak peduli isterinya sering komplain, memancing seperti menjadi jalan ninja bagi abang saya.Â
Saat bekerja di komunitas Suku Orang Rimba, saat air sungai dangkal, sesekali saya ikut Anak-anak Rimba memancing ikan. Dan karena ikan yang dipancing seringnya dapat yang kecil, saya cuma bisa bergumam, "harusnya tadi bawa tudung saji."Â
Elvidayanty Darkasih, Jambi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H