I. PENDAHULUAN
Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 34 Tahun 2016 telah menghadirkan dinamika yang cukup panjang terkait wacana untuk memaknai sekaligus kemudian merubahnya. Tahun 2018 hingga 2020 beberapa kali diadakan pertemuan membahas bagaimana "menerjemahkan" regulasi ini, sekaligus inventarisir daftar masalah yang perlu dijelaskan secara lebih teknis. Dua kali regulasi ini dirubah pada tahun 2021 dan kemudian Tahun 2022 yaitu dengan PMA Nomor 70 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas PMA Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama KecamatanÂ
Wacana Penyuluh Agama diberi pelung menjadi Kepala KUA-pun telah menjadi diskusi panjang dalam perjalanan penyusunan perubahannya. Puncaknya digantinya PMA ini menjadi PMA baru yaitu Nomor 24 Tahun 2024 (nomor yang cantik) tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama.
Mengangkat Penyuluh Agama Islam menjadi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) memang merupakan langkah baru yang diakomodasi oleh PMA baru ini.
Perlu diketahui bahwa jabatan Kepala KUA ini bagi PNS Penghulu atau Penyuluh Agama adalah jabatan non eselon, bersifat tugas tambahan dan tidak menggugurkan tugas fungsi Jabatan Fungsional Penghulu atau Penyuluh Agama.
Dengan demikian, dari sisi kesejahteraan seperti gaji, tunjangan kinerja dan lain-lainnya, tentu akan mengikuti atau sesuai dengan jenjang jabatannya dalam Jabatan fungsionalnya. Â
Dalam konteks Jabatan Fungsional (JF) Penyuluh Agama tentu berbeda dengan JF Penghulu sebagai Kepala KUA. JF Penghulu dipastikan hanya terdiri dari para laki-laki, maka Kepala KUA dari PNS JF Penyuluh Agama tidak menutup kemungkinan bagi PNS Penyuluh  Agama perempuan.
Sebagaimana disebut dalam Pasal 7 PMA Â yang menyatakan "Kepala KUA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dijabat oleh pegawai negeri sipil yang menduduki Jabatan Fungsional Penghulu atau Penyuluh Agama Islam". Sehingga peluang untuk PPPK (apalagi Penyuluh Agama Non PNS) menjadi tertutup. Diperlukan menjelasan yang regulatif terkait apa alasannya, mengingat banyak juga yang mempertanyakan hal ini.
II. BAGAIMANA PENYULUH AGAMA DIANGKAT SEBAGAI KEPALA KUA?
Ada beberapa hal yang perlu dipahami sekaligus dijawab oleh para pemangku kepentingan terkait bagaimana JF Penyuluh Agama bisa diangkat menjadi Kepala KUA, beberapa hal di bawah ini perlu dipertegas, agar secara prosedur rekruitmen, kuantitas dan kualitas para calon Kepala KUA yang berasal dari JF Penyuluh Agama menjadi lebih jelas dan terukur.
1. Terpenuhi secara Administratif dan Regulatif
Secara umum pengangkatan aparat negara yang menjadi Kepala KUA harus memenuhi persyaratan administratif regulatif, artinya bukti dokumen administratif persyaratkan pada saat pengangkatan. Misalnya SK PNS dengan golongan tertentu,  batas minimal nilai kinerja dan sejenisnya bisa terpenuhi, record record yang bersangkutan, begitu juga keberadaan payung hukum peraturan perundang-undangannya atau regulasi yang jelas tentang petunjuk teknis pengangkatannya.
2. Kualifikasi KompetensiÂ
Disamping itu Penyuluh Agama tersebut harus memiliki kualifikasi kompetensi yang sesuai dengan tugas Kepala KUA. Ini mencakup latar belakang pendidikan, pemahaman administratif dan manajerial, pemahaman masalah syariah terutama berkaitan dengan bidang yang menjadi tugas fungsi KUA, juga pemahaman akan regulasi terkait perkawinan, wakaf, dan bidang lain yang berkaitan dengan tugas  dan fungsinya. Bahkan menjadi penting Penyuluh Agama tersebut memahami masalah kepenghuluan karena mereka harus melakukan mengelolaan dan menjadi pengambil keputusan terkait masalah tersebut. Peningkatan kompetensi ini memerlukan pelatihan tambahan, yang pelaksanaannya bisa dibuktikan secara autentik.
3. Proses Seleksi dan Administrasi
Bagi Penyuluh Agama yang ingin mengajukan diri sebagai Kepala KUA selayaknya difasilitasi melalui seleksi yang tersatndar, seperti seleksi kompetensi, psikotes, dan mungkin uji wawancara. Proses ini memang akan memakan waktu dan membutuhkan kesiapan administratif serta regulasi yang lebih komprehensif. Namun dengan persiapan instrumen perekrutan yang memadai sistem meritokrasi, akuntabilitas dan kredibilitas akan lebih terjaga dibanding hanya dengan penunjukan, tiba-tiba diSKkan dan dilantik. Ini adalah PR instansi pembina sebagai regulator, agar PMA 24 Tahun 2024 ini dapat diimplementasikan, aplikatif dan memancarkan "gaung useful", bukan sekedar normatif, yang tak jauh berbeda dengan tataran wacana.Â
4. Persyaratan Pengalaman
Idealnya, juga ditentukan standar pengalamannya. Penyuluh Agama yang ingin menjadi atau akan diseleksi menjadi Kepala KUA misalnya harus memiliki pengalaman yang cukup dan beragam dalam pelayanan keagamaan dan administratif perKUAan. Instansi Pembina, dalam hal ini Kementerian Agama bisa menentukan persyaratan pengalaman tertentu untuk menjaga kualitas pelayanan.
5. Penyesuaian dan Penyelarasan antara Regulasi dan Tugas
Peraturan baru mungkin memerlukan penyesuaian di tingkat teknis operasional di KUA. Perlu diingat selalu, bahwa Penyuluh Agama memiliki tugas utama yaitu melaksanakan bimbingan dan penyuluhan agama dan pembangunan yang berbeda dari tugas Kepala KUA. Bukan hanya diperlukan pengaturan khusus agar Penyuluh Agama yang menjadi Kepala KUA tetap bisa menjalankan peran bimbingan penyuluhan yang melekat tanpa mengganggu tugas-tugas managerial dan administratifnya sebagai Kepala KUA, tetapi juga diperlukan "managemen sikap menerima" perubahan ini sehingga terjadi penyesuaian suasana kerja yang baik-baik saja dari aparat di lingkungan KUA.Â
PMA Nomor 24 Tahun 2024 harus segera disusul dengan regulasi turunannya. Pasal-pasal yang rawan  atau  dinilai berpotensi bertentangan harus segera mendapatkan pencerahannya.
Misalnya, dalam pasal 10 ayat (4) disebut "Tugas, jenis, dan jenjang jabatan fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan fungsional masing-masing."
Artinya, Pasal ini, dalam konteks Penyuluh Agama sebagai Kepala KUA, harus tetap mejalankan tugas utamanya sebagai Penyuluh Agama dimana tugas, fungsi dan ruang lingkup kegiatan tugasnya tertera dalam Kepdirjen 637 Tahun 2024. Dan ini juga berarti Penyuluh Agama sebagai Kepala KUA harus menyadari tugas gandanya.
Dalam Pasal 21, Peraturan ini menyebut pada ayat  (1) "Setiap pimpinan unit organisasi di lingkungan KUA bertanggung jawab memimpin dan mengoordinasikan bawahan dan memberikan pengarahan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas sesuai dengan uraian tugas yang ditetapkan."
Serta disebut dalam ayat (2) bahwa "Pengarahan dan petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diikuti dan dipatuhi oleh bawahan secara bertanggung jawab serta dilaporkan secara berkala sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan."
Selanjutnya Pasal 22 "Dalam melaksanakan tugas, setiap pimpinan unit organisasi harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap unit kerja di bawahnya."
Pasal 21 dan 22 ini bisa dimaknai bahwa Kepala KUA dari unsur apapun latar jabatan fungsionalnya, baik Penghulu ataupun Penyuluh Agama, hendaknya memahami tugas, fungsi dan ruang lingkup kegiatan para Penjabat Fungsional  di bawah kepemimpinannya. Kepala KUA juga harus memahami bahwa loyalitas orang-orang yang dipimpin bukan fokus pada personal sang pimpinan, tetapi lebih pada pelaksanaan tugas, fungsi dan ruang lingkup kegiatan serta kode etik dan perilaku profesi sebagaimana diatur dalam perundangan untuk masing-masing Jabatan Fungsional. Loyalitas terletak pada pengabdian akan amanah jabatannya denagn managemen etika yang baik. Jika hal ini bisa dipahami, maka objektivitas dalam menilai kinerja aparat di bawah kepemimpinan Kepala KUA menjadi terstandar, tidak dipengaruhi oleh subyektifitas personal apalagi kecemburuan dan persaingan yang tidak sehat.
6. Penjelasan yang Utuh
PMA Â 24 Tahun 2024 masih memerlukan penjelasan yang lebih utuh. Bukan hanya bagaimana secara teknis atau prosedur bagi PNS Penyuluh Agama akan diangkat sebagai Kepala KUA, namun juga penjelasan lainnya, misalnya tentang:
- Bagaimana posisi Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota terhadap KUA yang secara operasional berdasar PMA Nomor 34 Tahun 2016 (yang sudah tidak berlaku lagi) KUA dibina oleh Kepala kemenag Kabupaten/Kota. Seperti apa penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUA berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal serta secara fungsional dibina oleh direktorat yang menyelenggarakan tugas di bidang bina KUA. (2) KUA dalam melaksanakan tugas, secara teknis fungsional dibina oleh direktur di lingkungan Direktorat Jenderal sesuai dengan bidang tugasnya dan secara teknis administratif dikoordinasikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal.
- Dimana KUA berkedudukan? PMA 34 menyebut di kecamtana, PMA 24 tidak menyebutkan, mungkin di aturan lainnya disebutkan
- Tugas layanan bimbingan masyarakat Islam juga mengalami perubahan, kesannya lebih sempit dibanding PMA 34 Tahun 2016, meskipun kemudian dibuka ruang yang seluas-luasnya oleh Pasal 5 dimana  KUA dapat menyelenggarakan fungsi lain berdasarkan penugasan dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Bagaimana penjelasan Bagan struktur organisasi KUA? Apakah masih diperlukan sinkronisasi harmonisasi aturan lainnya?
- Pada Pasal 12 Pejabat fungsional dan pejabat pelaksana berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala KUA. Ini harusnya bermakna Penghulu dan Penyuluh Agama yang berada di KUA atasan langsungnya adalah Kepala KUA. Idealnya  tidak ada regulasi lain yang dapat mementahkan Pasal ini, sehingga menimbulkan perdebatan tentang makna ini. Regulasi yang baik, hendaklah tidak"abu-abu".
- Bagaimana dan kapan proses bisnis harus disusun dan ditetapkan?
- Bagaimana mekanisme atau alur Kepala KUA menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal mengenai hasil pelaksanaan tugas dan fungsi secara berkala atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.