Dari kejauhan kita mengucapkan kata selamat dan salut bagi para penempuh haji. Kita ikut senang dan bahagia sekalipun kita tidak menjadi bagian dari rombongan haji. Â Dengan rasa cemburu yang baik, cemburu yang diijinkan, kala menyaksikan mereka berjuang hendak berangkat, berjuang saat di padang-padang rumah Allah dan saat mereka pulang ke tanah air, kita menyaksikan. Tak peduli mereka yang menempuh haji dengan penuh kemudahan ekonomi, seakan bisa haji setiap tahun, maupun mereka yang melunasi dengan perjuangan yang tidak main-main, dengan menjual sawah, sapi, kerbau, atau menabung keringat demi keringat dari hari ke hari.
Alangkah tinggi tingkat keberuntungan mereka yang berhaji. Setiap hari kita mendengar lantunan adzan "hayya 'alal falah", namun tidak setiap manusia, setiap kita, setiap Muslim mendapatkan "falah" yaitu keberuntungan, kebahagiaan atau sukses. Arti lain "falah" adalah "dha-fa-ra bima thalaba" (Kamus Al Munjid), yaitu memperoleh sesuatu yang dicari. Banyak orang yang mencari sesuatu tidak memperoleh yang dicari, malah memperoleh sesuatu yang justru bukan yang dicari.
Mereka yang haji, jika ditegakkan dengan sesungguhnya dan diresapi sebagai pencapaian tertinggi rohani, adalah manusia yang paling memancarkan cahaya. Bukan dari wajahnya, tetapi dari kekhusyu'an hatinya.
Mereka yang haji, adalah hamba Allah yang menempuh ujung terjauh ash shirathal mustaqim, jalan yang ditegakkan. Kata mustaqim diambil dari akar kata qama-yaqumu berarti berdiri, tegak, lalu membentuk kata istiqamah (konsisten), qawwamah (pemimpin, pelindung). Kata mustaqim sering juga diartikan lurus, tidak fluktuatif. Artinya, masing-masing manusia itu sendirilah yang menegakkan jalannya, sehingga ia akan menjumpai bahwa ternyata jalannya adalah jalan-Nya. Manusia adalah produsen dari ash shirath mustaqim, bukan konsumennya. Allah hanya menyediakan konsep dasar dan cara bagaimana menegakkannya. Selanjutnya manusia bertugas untuk menempuhnya dengan menegakkan badan, hati, pikiran, dan jiwanya. Aktivitas haji ini seperti mandi besar, (ightisal) seluruh diri sendiri "mandi", agar kemudian memiliki kesanggupan untuk "ghasal" yaitu "memandikan" lingkungannya  dan menegakkan kebenaran dan kebaikan di tengah masyarakatnya.
Bagaimana mungkin kita tidak cemburu kepada para haji yang berkesempatan "mandi besar" -- mensucikan ruhani diri di rumah Allah langsung!
Haji yang sungguh-sungguh, dengan segenap ilmu, iman dan hati akan mendapatkan kemabruran: suatu keadaan kepribadian, suatu situasi mental dan atmosfer sikap rohani yang berkegunaan sosial tinggi. Mabrur dalam persepsi Allah Swt. biarlah itu menjadi wilayah-Nya, kita tidak akan menghakimi. Namun bagaimanapun tetaplah kemabruran itu memantul, termanifestasikan pada perilaku sosial hamba-hamba-Nya. Mereka yang berhaji dan belum, sewajarnya berbeda pada kadar kemanfaatan sosialnya.
Kematangan manusia haji mabrur terpancar, pertama dari kematangan diri pribadinya karena shalatnya bisa menjadi pertahanan dari fahsya' (keji) dan munkar serta puasanya telah menjernihkan rohaninya. Kedua, kematangan sosialnya karena zakatnya telah menguakkan wawasan sosialnya. Zakat menyempurnakan hakikat manusia sebagai makhluk sosial.
Dengan bekal dua kematangan itu, ibadah haji akan mengantarkan menjadi manusia terpilih, manifestsi kematangan pribadi - insan kamil. Dan yang memilih ini adalah dirinya sendiri, sang manusia haji. Haji tidak hanya bertahan hidup dari tantangan-tantangan kekejian atau kejahatan dan kemungkaran hidup, sebagaimana ibadah shalat bertugas untuk tahap itu. Haji adalah  sarang  kemanfaatan sosial di lingkungan hidup para penempuh haji, dan tentu, tidak mungkin menyebarkan kelicikan, kecurangan dan keonaran yang merugikan manusia atau apapun di lingkungan hidupnya.
Ibadah haji adalah keindahan spiritual yang begitu agung. Allah memanggil-manggil manusia pelaku haji dengan penuh kemesraan. Sapaan dari Al Rahman, Al Rahim. Manusia haji menyambutnya dengan sepenuh antusiame. Labbaikallahhumma labbaik..... Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Kerinduan yang dalam, antara makhluk dan Sang Kholiq. Ada yang terhubung, hubungan dari Sang Maha Agung. Ada sapaan-Nya yang penuh cinta kesucian, yang biasanya para telinga  hari-hari mendengarkan sapaan cinta palsu di sekitar rumah, dari layar televisi, gadget, halaman iklan-iklan, karir, obsesi kepemilikan, kepopuleran dan keserakahan yang membakar.
Haji, mensucikan segalanya, menjernihkan penglihatan, pendengaran, rasa, penciuman dan kepekaan respon seluruh syaraf. Dicuci fisik, mental, psikis, dan spiritual. Turun mesin jasmani - rohani.
Haji menjadikan manusia tercerahkan intelektualnya, spiritualnya (kejernihan jiwa dan kepekaan rohani terhadap cahaya keilahian), mental (ketenteraman, relaksitas, dan keseimbangan), serta moral (integritas kemanusiaan, kesantunan sosial).
Begitulah seorang haji seharusnya menyuguhkan "hajinya" di tengah masyarakat sekitarnya sepulang hajinya. Ibadah haji tidak berakhir setelah meninggalkan Ka'bah, Baitullah dan tempat suci di sekitarnya. Melainkan terus bersemayam, terus berhaji terutama di dalam diri masing-masing pelaku haji itu sendiri.
Manusia haji, tidak pulang ke negerinya untuk membangga-banggakan pengalaman hajinya dengan Ka'bah, dengan Multazam, dengan Hijr Ismail dengan Hajar aswad, dan entitas fisik lain, karena ini bukan perjalanan pelesir sebagai turis.
Manusia yang dilantik menjadi haji artinya dilantik karena berhasil melahirkan kembali kepribadiannya menjadi hamba yang sama sekali baru. Kemudian mensyukurinya, dan kemudian menaburkan kemanfaatannya ke lingkungannya, di keluarganya, desanya, tempat kerjanya, negaranya dan dunia.
Betapa beruntungnya para penempuh haji. Tidak perlu menunggu renta untuk mengerti kesejatian. Tidak perlu menunggu hancur untuk sanggup memahami perbedaan antara yang palsu dengan yang hakiki. (Megamendung, salam rinduku untuk Baitullah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H