Dulu, mereka girang, sekalipun hartanya habis,
rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran,
asal harga diri bangsanya tetap terjaga.
Dulu, orang tidak menghitung pengorbanannya,
asal kebebasan bisa ditebus.
Dulu, mereka rela berikan pengorbanan untuk rakyat,
asal rakyat merasakan ketenteraman.
Dulu mereka tidak minta dihargai, sekalipun hanya semut-semut yang menjadi saksi darah mengalir untuk bangsanya,
asal martabat kemerdekaan bisa direngkuh.
Kini orang menghitung pengorbanannya,
sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang dikorbankannya.
Kini, dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan imbalan,
dari setiap mili dari tetes pengorbanannya.
Kini orang tak henti menggerutu,
sekalipun telah hidup di negeri yang merdeka.
Kini timbul penyakit bakhil,
bakhil keringat, bakhil waktu, bakhil ilmu, bakhil materi.
Orang sudah keberatan memberikan keringatnya, waktunya, ilmunya,
sekalipun untuk tugas-kewajibannya sendiri.
Kini segala kekurangan di sekitar,
dibiarkan begitu saja.
Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya,
asalkan diri bisa selamat.
Kini orang sibuk menyelamatkan "cita-citanya" sendiri,
bukan cita-cita luhur negerinya.
Lampu cita-cita luhur telah redup.
Tapi Tuhan mengajarkan:
"Jika engaku berbuat baik,
maka hakikatnya kebaikan itu untuk dirimu sendiri.
Dan jika engkau berbuat keburukan,
keburukan itu hakikatnya untuk dirimu sendiri jua"
Tuhan juga mengajarkan:
"Hendaklah ada di antara kamu
segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang makruf,
dan mencegah dari yang mungkar."
Tuhan juga mengingatkan:
"Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik,
meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu."
"Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik."
Maka "Berlomba-lombalah engkau dalam kebajikan"
"Mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(@elviaa 17 Agustus 2023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H