"Saya seorang suami. Bekerja sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil dengan gaji pas-pasan untuk ukuran tuntutan  jaman kini.  Tapi kata orang cukuplah kalau disyukuri dan hidup sederhana. Putera kami hanya semata wayang, lebih sering di rumah neneknya  karena sekolahnya berdekatan.  Setelah kelahiran putera kami 10 tahun lalu, hingga kini isteri saya tak kunjung hamil lagi meskipun tidak melakukan program KB.
Kehidupan perkawinan kami biasa-biasa saja. Sebagai suami saya tidak banyak menuntut. Hingga satu tahun terakhir ini, saya mulai muak dengan kehidupan perkawinan kami. Saya mulai menyadari betapa dia tidak memperhatikan saya lagi. Bahkan sangat. Hampir setiap pulang kantor dia tidak di rumah. Mulanya saya memahami, maklumlah dia sibuk dengan urusan bisnisnya. Lama-kelamaan saya mulai curiga dan sakit hati. Sebagai suami saya menginginkan hal-hal wajar, sesibuk apapun setidaknya dia masih bisa menjawab salam saya saat pulang kantor, atau sekedar bertanya apa kegiatan di kantor hari ini, atau permintaan manja: Mas bisa temeni aku ke pasar?
Saya sadar dalam rumah tangga kami lebih banyak bergantung padanya dalam hal keuangan. Seleranya makin hari makin tak bisa saya penuhi. Rumah makan mahal yang dia pilih, peralatan rumah tangga mewah, pakaian, tas, bros, cosmetik, parfum dan lain-lain. Apakah karena itu semua menjadikan saya tidak pantas mendapatkan perhatiannya. Apakah sama sekali tak ada waktu buat saya untuk sekedar duduk mengobrol, makan bersama, atau sekedar memberikanku minuman seperti yang sering kusaksikan di rumah tangga orang tua atau tetangga-tetangga saya. Tidak usahlah mencium tangan atau pipi saya seperti di sinetron, atau melepaskan sepatu saya seperti cerita-cerita orang.
Kalau saya tanya enteng sekali jawabnya seperti: Maas Mas, kayak ga tahu saja. Dimaklumin saja supaya sama-sama enak. Lha wong kalau Mas ada kegiatan aku juga santai kok. Aku kan ngurus bisnis dengan Bu Hanum, Bu Jaya dengan Pak Bowo, Pak Dedi  dan lain-lain. Jika kebetulan aku pulang dia sedang di rumah, pasti ada saja alasannya untuk keluar lagi, "Mas aku keluar bentar, ada yang diurus. Bisnis dengan Bu Rina ini lumayan lho Mas, bisa dapat sebongkah berlian," kira uacapa-ucapan seperti itulah, diiringi ringkik tawa kecilnya. "Dekat saja kok, paling setengah jam-an sudah di rumah lagi, bye bye." Dan dia akan muncul lago di rumah tiga -- empat jam lagi. Saya seperti tidak memiliki hak untuk mengusut apapun aktivitasnya. Padahal jujur saya mulai curiga jangan-jangan....
Penghasilan saya memang kecil dibanding dia. Tapi lama-kelamaan saya tidak tahan, saya benar-benar muak, saya tidak terima. Saya pernah bertanya tentang aktivitasnya yang tak kunjung usai. Jawabnya selalu saja, "Sudah toh Mas, jangan dibuat ribet." atau  "Makanan kan sudah aku siapin, tinggal makan. Makan dululah, aku gampang, aku harus buru-buru ketemu Pak Anu, Bu Anu atau Mbak Anu." Diapun kabur.  Dia memang tidak suka masak, kami sering go food, atau saya beli di warung dekat rumah.
Isteri saya tidak pernah mempermasalahkan atau membanding-bandingkan penghasilan saya dengannya. Dia juga tidak pelit membelikan saya makanan enak atau pakaian bagus. Saya sebenarnya juga tidak memiliki alasan untuk cemburu misalnya ada laki-laki lain yang mendekatinya, atau isteri saya yang mendekati. Tidak ada indikasi apapun ke arah itu. Saya juga tidak mempermasalahkan bisnisnya di salah satu bisnis MLM. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini saya diliputi kekesalan, merasa diremehkan seremeh-remehnya, semua urusan saya dianggapnya receh. Saya ingin meluapkan kemarahan saya. Namun tidak ada daya, saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Soal cinta, jangan ditanya, saya asli mencintainya. Hanya sisi perasaan saya lainnya benar-benar geram. Rasanya tak terbendung lagi. Saya kerap memendam amarah di kamar seorang diri, memukul bantal, kasur atau apapun dalam kebuntuan pikiran.
Apakah saya ini suami kuno? Suami ketinggalan jaman? Saya tak bisa membendung lagi.  Saya ingin teriak memuntahkan kekecewaan dan rasa direndahkan ini dihadapan isteri saya. Namun buntu. Dalam kebuntuan ini saya berpikir mungkin membununya akan lebih baik. Yah, saya terpikir akan membunuhnya, karena inilah jalan satu-satunya yang dapat menyelesaikan masalah ini. Saya  sangat mencintainya, tidak ingin jauh apalagi berpisah darinya, tapi saya juga tidak rela dan tidak sudi diperlakukan demikian. Mana harga diri saya?
Jadi biarlah dia mati di tangan saya, dan sayapun akan mati karena dijatuhi hukuman mati. Saya tidak memiliki nyali untuk bunuh diri, bukan takut dosa, tapi saya tidak rela jika saya mati isteri saya makin bebas kesana-kemari, apalagi kawin lagi dengan lelaki lain.
Mungkin anda akan bilang bahwa lelaki itu mahluk lemah karena menghadapi permasalahan dengan perempuan menggunakan jalan pintas yaitu dengan membunuh perempuan tersebut. Namun, bukankah akan lebih jelas sejelas-jelasnya nampak, jika saya terus-menerus diam  justru menunjukkan bahwa lelaki benar-benar mahluk yang lemah."