Acap kali ada kekhawatiran di kalangan perempuan yang belum menopause tidak dapat mejalankan ibadah secara sempurna akibat haid. Kehadiran haid dapat menghalalangi mereka untuk bisa beribadah semisal shalat, puasa, hadir di masjid, haji untuk rukun tertentu dan membaca Alquran. Kendatipun untuk hadir di masjid dan membaca Alquran terjadi perbedaan pendapat karena untuk kasus dan kondisi tertentu ada  yang menetapkan kebolehannya.
Perlu digarisbawahi bahwa  ibadah tentu saja tidak terbatas pada hal sebagaimana disebut di atas. Bagi mereka yang diberi dispensasi atau keringanan tidak shalat dan puasa bukan berarti lapangan ibadah telah menyempit.  Masih banyak lapangan lain yang terbuka seperti menyediakan keperluan orang yang shalat atau puasa, bersedekah, menjamu tamu, membaca atau mendengarkan hal-hal yang bermanfaat. Bahkan menghadiri shalat 'idul fitri saat haid tanpa ikut shalatpun juga amal kebajikan,  bahkan dianjurkan termasuk bagi anak-anak.
Pil Penunda Haid dan Puasa Ramadan
Dalam hal ini Syaikh Ibnu Utsaimin, seorang ulama era kontemporer pernah memberikan beberapa penjelasan diantaranya bahwa perempuan yang mendapatkan haid di bulan Ramadan, walaupun dampak dari haid tersebut mengharuskan mereka meninggalkan shalat, membaca Alquran dan ibadah-ibadah lainnya, itu adalah merupakan ketetapan Allah Swt. Maka hendaknya kaum perempuan bersabar dalam menerima hal itu semua. Nabi Saw pernah bersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haid, yang artinya: "Sesungguhnya haid itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada kaum perempuan".
Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam buku Fatawa Mu'ashirah (hlm. 550-551) menyebutkan perempuan yang mengkonsumsi obat penunda haid dengan tujuan agar puasanya sempurna di bulan Ramadan diperbolehkan. Tetapi dengan catatan obat tersebut tidak membahayakan dirinya, dan seyogianya ia meminta saran dokter. Selanjutnya puasanya tetap dikatakan sah dan diterima oleh Allah Swt.
Sementara ulama, seperti Prof. Quraish Shihab  berpendapat bahwa Allah sudah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa dan menqadha'nya di hari lain. Pahala qadha puasa Ramadan yang dilaksanakan pada hari-hari di luar Ramadan ini sedikitpun tidak dikurangi. Bahkan para perempuan yang haid itu diberikan imbalan pahala sesuai dengan niat dan tingkat tinggi rendah instensitas beribadahnya saat  tidak haid. Minum obat memang mencegah keluarnya darah, tetapi belum tentu menghilangkan stres dan gangguan. Karenanya alangkah bijaknya jika menerima keringanan itu sabagai rahmat dari Allah Swt, terlebih qadha puasa bisa dilaksanakan  sepanjang tahun.
Pil Penunda Haid dan Ibadah Haji
Berbeda untuk kasus ibadah haji bagi kaum perempuan. Tingkat masaqqah (kesulitan) lebih tinggi. Bukan semata biaya yang mahal, namun juga waktunya sangat terbatas, yang hampir tidak mungkin mengulangnya di tahun kemudian dengan waiting list yang sangat panjang dan biaya yang luar biasa mahal. Maka penggunakan obat penunda haid menjadi hal yang boleh-boleh saja dilakukan bagi perempuan produktif. Tentu saja tetap dengan pertimbangan-pertimbagan dari dokter. Karena penggunaan obat haid tidak selalu sesuai bagi semua perempuan produktif.
Pada masa Rasulullah Saw tidak ada pil penunda haid. Karenanya penetapan hukum terkait perempuan yang berhaji dengan meminum pil penunda haid itu menjadi maslah ijtihadiyah (dicarikan penetapan hukumnya). Saat thawaf umrah dan thawaf ifadhah yang merupakan rukun haji, berlaku syarat suci dari hadats, baik hadats kecil (akibat buang angin atau buang air kecil dan atau besar) maupun hadats besar (bermimpi berhubungan badan dan haid). Sedang thawaf wada' bagi yang haid bisa dikecualikan berdasarkan dalil hadits, "Manusia diperintahkan agar akhir dari pelaksanaan hajinya dengan tawaf wada' di Baitullah. Kecuali bagi perempuan haid diberi keringanan untuk tidak melaksanakannya." (HR Muslim).