Aku lahir pada siang yang beranjak pada DhuhurNya yang mulia
Melahirkan sebuah tendensi dan sebuah obsesi
Aku lahir dalam untaian sepanjang wirid tasbih yang berputar
dengan harapan-harapan yang menggelora memenuhi setiap dada sanak keluarga
Aku adalah serpihan dari bait-bait yang memecah
berserakan dalam sebaris do'a untuk sebuah keluhuran penghayatan
Aku berdiri memijak langit yang memantul pada laut yang bersandar pada bumi
Meremas bongkahan sunyi dengan beragam cerai warna matahari
Aku hanya sebuah ilusi dari sebuah kelahiran metafora
Cadas jalanku berbatu berbongkah terjal
melintasi hamparan beku Antartika, atau panas Sahara yang membakar muka
Aku terhampar pada paceklik dan terdampar di pusaran paria
Dan dipaksa habis-habisan menatap duniaku yang telah habis usia
Berjuta ornamen alam yang tak dapat kusebut barang sebentuk indahnya
Dilalap habis, berderak menjadi kerak diujung pilu perut yang membuncit
mengkategorikan pada dua kasta
antara buncit karena tidak kaya
atau membuncit karena lupa berderma
Aku dilahirkan untuk menatap segala kebengisan
Aliansi yang melebur dan menimbulkan kerugian
Kolusi dan segala sarang kawan-kawannya telah mengurat menjadi banar
Aku dilahirkan untuk sebuah alimentasi
revolusi dan resolusi
yang tak pernah ku tau maknanya hingga kini
yang aku dengar dari para priyayi
Anak muda, Bangsa ini bergantung kepada kemana tangan kalian menepuknya
Dan aku sunyi senyap
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H