Daeng-daeng itu telah lari bersamaan dengan datangnya orang-orang berdasi dari Jakarta dengan segembok kertas yang dicatut tandatangan kepala daerah. "Kami ini utusan bupati untuk mengeksplorasi tanah ini karena akan dibangun tambang agar bapak dan ibu-bu terutama generasi penerusnya tidak lagi primitif," tutur mereka saat bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat.
"Tidak. Ini tanah kami dan kami tidak mau merusaknya," tiba-tiba aku berteriak di antara kerumunan itu. Seluruh mata tertuju padaku. Ada mata kebencian dan lebih banyak tatapan harapan dari masyarakat Mae Rebho seakan berkisah agar aku terus maju hingga kemudian rombongan itu menghilang satu per satu dan tinggal aku bersama masyarakat.
Kini tiba-tiba namaku mencuat di media massa karena menolak pemerintah melakukan eksploitasi alam yang masih perawan di Mae Rebho. Aku dikabarkan sebagai wanita besi yang berani menolak kebijakan pemerintah. Berbagai ucapan dukungan mengalir ke hp seirama dngan ribuan caci maki dan intimidasi yang tak juga henti. Aku merasa semua peristiwa ini dipolitisasi oleh orang-orang yang berkepentingan termasuk pemerintah yang berkuasa. Tetapi lebih dari itu kini saya seakan terjaga dari tidur yang panjang kalau saya adalah istri politikus. Entah kenapa!
Kemudian terdengar bunyi ayam hutan menyambut matahari pagi dan aku terbangun serta merapikan pakaian tidurku yang sebagiannya terkulai lepas dari dipan-dipan tua.....***
=======
Â
Penulis: Ghostwritter
Tinggal di Soa-Ngada, Flores, NTT
Keterangan:
PNS; Pegawai Negeri Sipil
Mae Rebho: Jangan lupa (Bahasa Ngada)