Mohon tunggu...
Arif El-Syironjie
Arif El-Syironjie Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya sejak SD senang menulis puisi-puisi, kemudian ketika duduk di SMA saya mulai menyukai menulis cerpen dan sajak, bagi saya sastra adalah media paling tepat dalam menuangkan pikiran, karena dengan menulis saya lebih bebas bercerita dan berkhayal serta berekspresi. Sekarang saya sedang menempuh pendidikan S1 di Desain Produk, ITB.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senandung Rindu dalam Duka

6 Januari 2014   20:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

”Putri!” Terdengar suara lantang dari arah Kantin sekolah, pada seorang perempuan yang berjalan di koridor sekolah, dengan pakaian seragam putih abu, dan tas berwarna ungu muda, terselempang di pundaknya. Perempuan itupun menghentikan langkahnya yang berniat menuju Ruang Bahasa, dan seketika matanya mencari sumber suara yang memanggil namanya.
Dari arah Kantin, terlihat seorang perempuan berusia 16 tahun, dengan pakaian putih abu, dan tas berwarna pink mendekat.
”Put, kamu udah sembuh? Katanya kamu sakit, kemarin? Sakit apa?” Perempuan itu meluncurkan pertanyaannya pada Putri yang hanya diam tertunduk dengan senyum.
Bersamaan dengan senyumnya ia membalas temannya yang berusaha menjadi wartawan kecil, ”Kalo mau nanya satu-satu dong, jangan maen keroyokan! Uh dasar, kebiasaan kamu, kalo nanya sekaligus, udah kaya wartawan nanyain pejabat!”
”iya deh, maaf kalo begitu. Hehehe,” sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, temannya, Lily, tertawa kecil.
”Iyah... Saya udah sembuh kok, Lihat aja, udah ga apa-apa kan? Cuma sakit biasa.” Balas Putri, yang lagi-lagi manjawabnya dengan lembut dan selalu ditemani dengan senyuman.
Putri duduk di kelas XI IPS, di sebuah SMA Negeri, yang lokasinya di sebuah perkampungan pinggir Kota Serang, yakni Kampung Nancag Cilik. Dia cukup pintar di kelasnya, ia juga sering menjuarai berbagai event perlombaan yang diadakan di Kota, Kota-Kabupaten, di Kampus-kampus, bahkan Provinsi. Dia juga ramah, lembut, dia lebih sering tersenyum dibanding tertawa, namun ia juga cukup humoris, jika ia sudah dekat dengan seseorang. Dengan tubuh yang tinggi, dengan wajahnya yang merah merona, yang selalu menjadi penghias senyumnya yang manis. Dia juga pintar menyimpan rahasianya dari siapapun, bahkan dari sahabatnya sendiri. Sehingga, siapa yang tahu, bahwa sebenarnya ia diintai Serigala yang siap menerkamnya kapanpun Serigala itu mau.
Ketika bel pulang berbunyi, jam tangannya tepat menunjukkan angka 14.00 WIB, ia pun keluar dari Ruang Bahasa. Baru berjalan beberapa langkah, ia langsung disambut oleh Andi, penghuni ruang kecil dihatinya, dengan tas hitam gendong, yang selalu menjadi pelengkapnya ke sekolah. Dengan senyum kecilnya yang menjadi penanda kelembutan dan ke-ramahannya.
”Udah sembuh De’?” Tanya Andi, menyambut pertemuan mereka berdua hari itu.
”Udah kok kak.” Jawab Putri, dengan lembut dan senyumnya, sambil melangkah mendekat pada lelaki itu.
Mereka pun berjalan berdua, menuju rumah mereka yang lokasinya cukup jauh dari sekolah, yakni di sebuah perumahan elit, di Ciceri, Kota Serang. Jarak rumah mereka tak begitu jauh, antara rumah Putri dan rumah Andi, hanya di pisahkan oleh dua Blok saja. Sudah tiga tahun mereka saling mengenal, sejak Putri pindah dari Jakarta. Setiap hari mereka pergi ke sekolah bersama, dan pulang bersama dari sekolahnya, mereka pun sudah satu tahun menjalin hubungan.
Tetapi kedekatan mereka tak menghilangkan pribadi Putri yang sangat tertutup dari orang lain, tentang masalahnya. Yang mengetahui tentang semua masalahnya, hanya ibu dan ayahnya, dan ayahnya sekarang telah tiada, menyusul neneknya yang telah meninggalkannya untuk selamanya. Sekarang, hanya ibunya yang menjadi tumpuan harapannya menumpahkan segala keluh kesahnya, membagikan segala kesedihannya, bahkan hanya ibunya yang ia mintai tolong untuk mencabutkan duri, jika ada yang tertancap dalam relung kalbunya, sampai-sampai, Andi, sang penghuni hati pun, tak tahu akan serigala yang mengintainya dari dekat, Andi pun tak tahu akan parasit yang menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit, yakni kanker otak stadium akhir, hingga tak menutup kemungkinan, dalam waktu dekat Andi akan kehilangan Putri, sang permaisuri kerajaan kalbu, untuk selamanya. Andi tak menyadari, bahwa kekasihnya menutupi sebuah rahasia besar, yang akan menjadi sebuah petaka bagi kerajaan kalbunya.
Hingga suatu hari, saat Putri tak sekolah, Andi mencarinya ke setiap sudut sekolah, ia pun menanyakannya ke setiap teman Putri di kelas, karena ia bingung, seorang perempuan yang biasa menemani langkahnya menuju Istana ilmu, pagi itu tak terlihat di rumahnya, dan rumanya pun sepi. Namun, setelah ia mencarinya di sekolah, tak jua ia temukan Putri di sekolah, hingga ia mendapat kabar dari teman dekat Putri, yakni Lily, bahwa Putri tak masuk sekolah karena sakit.
Saat bel istirahat berbunyi, ia pun langsung keluar dari gerbang dua sekolah, menuju tempat parkir, untuk mengambil handphone-nya yang ia simpan di bawah jok motornya, kemudian ia langsung menekan nomor handphone Putri, dan langsung menghubunginya. Terdengar sebuah percakapan lembut di antara mereka dalam jaringan telephone.
”Halo Ade,” Andi mengawali percakapannya di handphone.
”Iya halo kak, kenapa kak?” Terdengar jawaban lembut di seberang sana.
”Ade, kok enggak bilang kalo sakit? Kan kakak bisa tengokin Ade, seenggaknya kakak bisa anterin surat izin ade ke sekolah,” terdengar suara Andi yang gelisah dan khawatir akan kondisi Putri saat itu.
”Enggak apa-apa kok kak, Ade gak mau bikin kakak khawatir, lagi pula Ade udah hubungin sekolah, hubungin wali kelas, kalo Ade gak bisa masuk, karena sakit, Ade juga cuma sakit biasa. Kakak kok enggak masuk?” Lagi-lagi terdengar jawaban lembut dari handphone.
” Kakak lagi istirahat Ade. Syukurlah kalo cuma sakit biasa, terus sekarang gimana keadaannya? Udah mendingan? Pulang sekolah, kakak boleh tengokin Ade ke rumah Sakit? Kakak kan juga pengen temenin Ade,” jawab Andi, yang sedikit lebih lega dari sebelumnya, karena telah mendengar suara Putri, dan sudah mengetahui keadaannya.
”Iya kak, udah mendingan kok, gak usah kak, Ade gak apa-apa kok, sebentar lagi juga pulang,” jawab putri dengan lembut dan sedikit lemah.
”oh, ya udah kalo gitu,” jawab Andi singkat.
”Kak, Ade boleh minta sesuatu?” Tanya Putri yang sedikit ragu untuk bertanya.
”Boleh, emang mau minta apa De?” Andi mengembalikan pertanyaan dengan lembut.
”Kak, Ade pengen banget kakak buktiin kesetiaan kakak, buktiin kasih sayang kakak, tapi dengan cara Ade,” pinta Putri dengan harap.
”siap De, kalo emang ade masih ragu dengan kasih sayang kakak, emang gimana cara Ade?” Tanya Andi.
”Kak, ade pengen selama beberapa hari ini, kakak coba hidup tanpa Ade, kakak jangan hubungin Ade, jangan temuin Ade, jangan tanya Ade ke siapa pun, pokoknya kakak anggep Ade ini enggak ada, dengan begitu, ade bisa tahu, kalo kakak sayang ama Ade, bukan karena kecantikan Ade, bukan karena kelebihan yang ada pada Ade, tapi karena kakak ingin melindungi Ade, karena Ade yakin, kalo kakak udah sayang untuk melindungi, walau kakak enggak denger dan hubungin Ade, atau ketemu dengan Ade, kakak pasti tetep doain Ade, dan doa pasti lebih ikhlas dari cinta, karena doa dari kasih sayang, dan kasih sayang pasti dari hati, kakak mau kan?” Jelas Putri pada Andi, dengan kekuatannya menyembunyikan isak tangis.
”Kalo amang gitu, dan itu emang mau Ade, dan bisa buktiin rasa sayang yang menyarang di hati kakak ini, kakak siap De, kakak siap ngelakuin itu,” jawab Andi, tanpa ia tahu, maksud sebenarnya yang diinginkan Putri, adalah, agar Andi, kekasihnya, siap menerima kenyataan yang akan terjadi, yakni kehilangan Putri, karena ia telah difonis tak dapat disembuhkan, dan ia akan meninggal dalam waktu dekat.
”makasih ya kak, sampe ketemu nanti ya kak,” Putri menutup perbincangan mereka, karena ia tak sanggup lagi menahan air matanya yang tak mampu ia bendung, seolah ingin berlari dari pelabuhannya.
”Iya De, sama-sama, sampe ketemu nanti ya.” Andi pun menjawabnya, dan menutup handphone-nya.
****
Suatu hari, Andi yang sedang duduk diteras belakang rumahnya, dikejutkan dengan panggilan ibunya yang memecahkan lamunannya dalam sepi. Kemudian ia pun bergegas ke ruang tengah rumahnya, di sana ia hanya melihat dua orang wanita paruh baya, yang telah nyata itu adalah ibunya dan ibu dari Putri, sang penghuni lamunannya, yang terlihat menyembunyikan topan dibalik kelembutan senyumnya. Ia pun dimintanya untuk duduk di sebuah sofa di ruang tengah rumahnya, bersama dengan kedua ibu yang telah lama dikenalnya, ia pun diminta untuk tetap tenang dan diminta untuk ikut ke rumah Putri, setelah beberapa hari mereka tanpa komunikasi dan pertemuan. Tanpa ia tahu apa yang sebenarnya terjadi, ia pun langsung mengikuti langkah kedua kaki ibunya ke rumah Putri.
Sesampainya ia di rumah Putri, ia pun terkejut saat ia melihat keramaian rumah Putri dengan bendera berwarna kuning telah melambai ke arahnya, seolah menggantikan sebuah tangan lembut yang tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Ia pun hanya tertunduk lemas tanpa tenaga, saat ia melihat jelas di ruang tengah sebuah rumah sederhana itu, didapatinya sosok jasad bersih suci, sang permaisuri kerajaan kalbu, Putri. Ia tak tahu apa yang harus ia ucapkan, apa yang harus ia lakukan, apa yang sedang ia hadapi, yang ia tahu hanya sekujur tubuhnya lemas, seolah nyawanya ikut terbang bersama dengan hembusan napas terakhir kekasihnya.
Tanpa ia sadari, saat ia melihat sekelilingnya, ternyata ia telah berada di sebuah ranjang kayu, di sebuah kamar, dengan seorang ibu yang memegang segelas air putih. Kemudian ia memberikan secarik kertas putih bersih, yang di bagian depannya bertuiskan:
Untuk Kak Andi, teman hatiku
Seketika, ia pun membukanya, dan didapatinya barisan huruf yang rapi, yang seolah berbaris dalam barisan upacara duka. Ia pun membacanya dalam suara lirih dan lemah.

Kak, mungkin saat kakak membaca surat ini, kakak hanya dapat melihatku terbujur dalam selimut putih. Dalam surat ini, aku hanya ingin menyampaikan sebuah Senandung Rindu dalam Duka. Maaf kak, selama ini, aku menyembunyikan sebuah rahasia besar yang mungkin bisa menjadi petaka bagi hatimu yang tulus. Telah lama aku diintai oleh seekor serigala yang siap menerkamku kapan ia mau, aku mengidap penyakit kanker otak. Aku tak ingin kau tahu, karena aku tak mau kau mencintaiku karena iba, bukan mencintai dalam tulus karena kerinduan yang bersemi dalam dada.
Selamat yah kak, kakak telah berhasil membuktikan akan kasih sayang dan keikhlasanmu, sebelum aku pergi.
Jaga kasihmu, jaga ketulusanmu, dan berikan ketulusan itu pada seorang wanita yang akan menjadi kasihmu, aku yakin kau mampu melebur kata aku dan kamu menjadi kita, dengan orang lain yang sama beruntung denganku, seperti halnya kau meleburku dalam hatimu dengan keikhlasanmu.
Jika dunia ini terlalu sempit untuk luasnya cinta kita dan tingginya keikhlasan kita, mungkin akhirat sana akan lebih bermakna.
Salam manis dan rindu, Adinda Putri
Surat itu pun mulai basah dengan air bening yang tak hentinya berlari dari pelabuhannya. Ia yang bagai karang, kini ia berubah menjadi pasir, tak kuasa menahan derasnya terpaan ombak yang terus menerjang pesisir yang tengah runtuh perlahan.
Semenjak kejadian itu pun Andi hanya duduk dalam sepi, menanti seorang yang mampu menggantikan seorang wanita yang telah mengisi relung kalbunya dalam keikhlasan, ia hanya menanti yang tak kunjung pasti, hanya ditemani sepucuk surat terakhir, dengan senandung rindu dalam duka.
******

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun