Mohon tunggu...
Arif El-Syironjie
Arif El-Syironjie Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya sejak SD senang menulis puisi-puisi, kemudian ketika duduk di SMA saya mulai menyukai menulis cerpen dan sajak, bagi saya sastra adalah media paling tepat dalam menuangkan pikiran, karena dengan menulis saya lebih bebas bercerita dan berkhayal serta berekspresi. Sekarang saya sedang menempuh pendidikan S1 di Desain Produk, ITB.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lagu Rindu

23 April 2014   06:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:19 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Arif El-Syironjie

Tiba-tiba dering handphone-ku berbunyi, mengejutkan aku yang saat itu sedang menyiapkan buku mata kuliah hari ini. Saat itu jam digital-ku di meja belajar biruku yang terletak berdampingan dengan sebuah lemari di kamar kostku menunjukkan angka 07.38 WIB. Seperti hari biasanya, Kota Kembang, tempatku kuliah, sering kali diguyur hujan, terutama di bulan-bulan penghujan saat ini, jaket kulit lembut atau sweater wol hangat yang memelukku saat seperti ini.

Tanganku langsung mencari handphone-ku di atas kasur, dan saat aku lihat dilayar handphone-ku, terlihat barisan nomor ponsel yang tidak ku kenal bahkan tidak ada dalam daftar nomor ponsel di handphone-ku, aku pung langsung menerima telephone yang masuk.

“halo,” sebuah suara yang tak asing, dengan nada setengah teriak.

“iya, halo assalamu alaikum,” jawabku, sambil tanganku tetap mencari buku mata kuliah hari ini, dan menjepit handphone-ku dengan pundak dan pipiku.

“waalaikum salam Rin, ini gua Uci. Lo lagi dimana Rin? Kuliah ga lo?”

“Oh lo Ci? Gua kira siapa, eh nomor siapa lagi nih? Perasaan baru dua hari lo ganti nomor, sekarang udah beda lagi nomor hp lo!” Tanyaku, sambil membetulkan posisi handphone-ku dan duduk di atas ranjang tempat tidurku.

Uci adalah salah seorang teman terdekat bagiku, nama aslinya Lusi, tetapi teman-teman seangkatan memanggilnya dengan sebutan Uci. Dia selalu setia menemani aku, bahkan ia rela untuk tidak mengumpulkan tugas mata kuliah tata tulis karya ilmiah, hanya karena aku belum mengerjakan tugasku.

“eits tenang say, jawab dulu pertanyaan gua, lo mau kuliah ga hari ini?”

“iya gua kuliah ko, emang kenapa sih? Kan masuk jam sembilan hari ini,” tanyaku heran, karena tidak biasanya dia menanyakan hal itu jauh sebelum jam kuliah dimulai, biasanya dia menanyakan hal itu kira-kira saat kuliah lima atau sepuluh menit lagi dimulai, karena biasanya aku tertidur jika menunggu jam kuliah dimulai, maklumlah saat malam justru aku harus lembur belajar dan mengerjakan tugas, setidaknya sampai pukul 02.00 dini hari, hal itulah yang membuatku sering kali terlambat datang ke kampus.

“Ga papa sih, eh lo jangan tidur yah, tekor pulsa gua nih bangunin lo mulu sebelum kuliah. Hahaha,”

“Iya iya, eh tapi lo belum jawab tadi, ini nomor hp siapa?” Aku sambil membuka laptopku dan menyalakannya.

“oh, ini nomor gua yang baru, terserah lo sih mau di save atau engga, toh paling lama juga bertahan sampe satu mingguan. Hehe,” jawabnya ringan.

“uh dasar lo ga punya pendirian, ya udah nanti gua pengen curhat nih ama lo, nanti abis kuliah gua tunggu di kantin bengkok yah,” rajukku seperti biasanya saat aku sedang butuh seseorang yang mampu menjadi pendengar setia dari setiap curahan hatiku. Karena untuk saat ini hanya dia yang mampu mendengarkan aku kapan pun aku mau bercerita.

Ririn dan Lusi, keduanya kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di negeri ini, yakni Institut Teknologi Bandung (ITB), keduanya kuliah di fakultas yang sama, yaitu Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), dan baru menjalani kuliahnya di tahun pertama yang bagi mahasiswa ITB dikenal dengan Tahap Persiapan Bersama (TPB).

“hahahaha, enak aja lo ngomong, awas loh nanti gua jitak biar jidat lo tambah lebar. Sip sip, nanti kita ke kantin bengkok,” tawanya diiringi dengan jawaban atas permintaanku.

“hahaha, biarin biar tambah keliatan pinter gua,”

“haha, ya udah lah nanti kita lanjutin di kantin bengkok. Bye...” sambil menutup percakapan.

***

Aku menyingkap lengan bajuku sedikit, untuk melihat jam tangan hitamku yang melingkar di lenganku yang terlihat kontras dengan warna kulitku yang berwarna putih. Saat itu jarum jam tepat menunjuk pada angka 15.30, aku duduk sendiri di tengah ramainya kantin di Kampus Teknik Ternama di Negeri ini, Kampus Ganesha, Kota Kembang, Bandung.

Saat bibir merahku sedang menyeruput segelas teh hangat, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sepasang tangan yang menepuk pundakku.

“Dor..” Bersamaan dengan tepukan tangan di pundakku.

“Eh lo Ci, lo kebiasaan ih bikin gua kaget,” sambil menengok ke arahnya, dan lenganku tetap menggenggam sebuah gelas di hadapanku, yang hampir tumpah karena terkejut.

“Lagian lo juga kebiasaan ngelamun sendiri, entar kesurupan loh!” Uci sambil duduk disampingku.

“Emmh.. iya iya, eh gua mau curhat nih,” sambil membetulkan jilbab merah yang aku gunakan.

“oke, sok ceritain, gua dengerin, tapi gua mau beli susu coklat dulu yah,” sambil berdiri dan berjalan menuju kasir yang di dekatnya terdapat sebuah dispenser susu coklat yang besar.

Aku hanya menundukkan kepala dan kembali menyeruput teh hangat di hadapanku, untuk sekedar menghangatkan tubuhku, karena saat itu cuaca mendung menyelimuti kampusku.

“Oke, silakan tuan putri, ceritakan masalahmu,” Uci kembali dengan membawa segelas susu coklat, dan duduk di depanku, sambil merapikan poni dan rambut panjangnya yang tak tertutup oleh jilbab atau pun kerudung.

Aku menghela napas, “lo tau kan gua suka ama seseorang?”

“Iya, terus? Kan lo udah cerita ama gua sejak kita baru masuk dan awal-awal kenalan,”

“Nah, gua itu udah suka sama dia sejak gua masih kelas satu SMA, dan gua kenal dia waktu Mabis di SMA, dia jadi pendamping kelas gua, sampe sekarang gua deket sama dia, walaupun sekarang dia kuliah di UPI Bandung, sedangkan gua di sini, dan dia belum pernah tahu tentang perasaan gua, sampe saat ini,” mataku memandang Uci serius.

“Nah, terus selama ini sikap dia gimana ama lo?” Uci sambil meminum susu coklat di hadapannya dengan sedotan.

“Dia selalu hangat banget ke gua, dan setahu gua dia ga pernah punya pacar lagi sejak dia kenal sama gua,”

“Emh, kalo gitu sih udah ngasih tanda, coba deh lo ajak ketemuan dimana gitu, terus lo coba pancing supaya dia ngungkapin apa yang dia rasa ke lo, atau lo ungkapin aja perasaan lo ke dia,”

“Ah lo ada-ada aja, masa gua yang ngungkapin perasaan gua duluan?”

“Sekarang gini deh, ga semua cowo bisa ngungkapin perasaannya, banyak cowo yang cuma bisa nunjukkin perasaannya lewat sikapnya, cara pandangnya, tapi mereka ga pernah bisa buat ngungkapin perasaannya, bahkan walau pun itu lewat tulisan, bahkan mereka kadang cuma bisa menulis segala yang mereka rasakan ke dalam bentuk lain, entah itu diary, puisi, kadang malah cerpen,” Uci menghela napasnya, “lo ga mau kan kehilangan dia? Lo juga ga mau kan kehilangan kesempatan buat memiliki dia? Lo juga ga mau kan dalam hidup lo cuma bisa menyesali apa yang udah terjadi, karena keputusan yang terkesan lambat? Sedangkan lo ga akan pernah bisa mengubah waktu di masa lalu, lo bakalan nyesel karena lo ga akan pernah memiliki dia selamanya,” dengan pandangan serius, matanya dalam memandang mataku.

“Iya sih emang gua ga mau semuanya terjadi, tapi gua takut dia cuma anggep gua sebagai adik, ga lebih,”

“Perasaan takut mana yang lebih besar dalam hati lo? Takut untuk kehilangan dia dan kesempatan buat dapetin dia sepenuhnya, atau lo takut dia nolak lo dan dia tetep ada di samping lo walau pun yang lo dapet kasih sayang seorang kaka ke adiknya?”

Aku menghela napas panjang, “gua lebih takut kalo gua kehilangan dia dan kesempatan buat gua dapetin dia,”

“Nah, lo coba ajak dia ketemuan, saat dia nyempetin waktu buat nemuin lo di tengah kesibukannya, itu udah nunjukkin banget bahwa dia juga cinta sama lo, dan lo jangan sampe nyia-nyiain kesempatan itu!” Sambil tersenyum, dan dengan semangatnya, Uci memandangku lekat.

“Iya deh, gua coba,” aku tersenyum simpul, dan aku melirik jam tanganku, tak terasa jarum jam telah menunjuk tepat pada pukul 16.00, para penjual makanan di kantin itu satu-persatu menutup tokonya dan meninggalkan kami berdua, suasana mulai terasa lebih hening dari sebelumnya.

“Ci balik yuk, udah sore nih,” ajakku yang dilanjut dengan menghabiskan teh di depanku.

“Ayuk,” jawab Uci menyetujui, sambil menarik tas kulit merah mudanya, yang bermerek terkenal dan orijinal, kemudian berdiri dan langsung disusul olehku, mengenakan tas gendong berwarna abu-abu muda.

Aku dan Uci tinggal di tempat yang berbeda, namun satu arah. Aku tinggal di Asrama mahasisiwa ITB, Kanayakan, sedangkan Uci orang berada, dia tinggal di sebuah kost yang tergolong mewah, yang juga di daerah Kanayakan.

Suara kernet menawarkan angkutan umum berwarna hijau jurusan Dago Atas, mengiringi langkahku masuk ke sebuah mobil angkutan umum tersebut. Sesaat setelah aku duduk, suara dering sms dari ponselku memecahkan lamunanku mengenai saran Uci di kantin tadi. Aku langsung mengambil ponselku dari dalam tas, dan aku langsung membuka pesan singkat itu, yang ternyata dari Rizal, seorang laki-laki yang tadi aku ceritakan pada Uci, mataku pun langsung terbelalak terkejut, jantungku seolah dipompa lebih kencang, dan ada rasa lain yang hadir, bahagia mendadak.

“De, apa kabar? Lagi apa?” Sapanya, yang tetap terasa hangat walau hanya sebuah tulisan dalam sebuah pesan singkat.

“Alhamdulillah baik ka, kaka gimana kabarnya? Ade lagi di angkot ka, baru pulang dari kampus,”

“Alhamdulillah baik juga, ade ko sore banget pulangnya? Emang abis ngapain? Udah makan belum?”

“hehe, ga abis ngapa-ngapain ka, cuma cerita-cerita aja sama temen, udah makan ko tadi di kantin ka. Ka besok ada acara ga?”

“Oh syukur deh. Besok itu kaka ada kuliah de, emang kenapa?”

“emh, bisa ketemu ga ka? Ada hal penting yang pengen ade ceritain ke kaka,”

“Oh bisa ko de, ade mau ketemu jam berapa? Dan dimana?”

Aku terkejut saat aku membaca balasannya yang tanpa menanyakan cerita apa yang akan aku ceritakan, dan tanpa ragu menyanggupi ajakanku untuk bertemu. “Jam 10.00 bisa ga ka, Ade tunggu di MC Donald Simpang Dago?”

“Insya Allah bisa de, kaka sempetin waktu kaka buat nemuin ade besok,”

“Makasih ka, sampe ketemu besok ya ka :)” Aku hanya tersenyum dan tak terasa mobil yang aku tumpangi telah sampai di depan sebuah gang yang menuju asrama tempatku tinggal.

“Iya de, sama-sama :)” menutup perbincangan kita dalam pesan singkat sore itu.

***

Hari ini tepat tanggal 14 bulan Februari, selain bertepatan dengan valentine day, juga bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke 18. Sebuah McFlurry mulai meleleh dalam gelas, tergeletak di atas meja putih persegi. Aku melirik jam di lenganku, pukul 10.15 WIB. Jika hari ini aku bisa dengan lancar menyelami hati dari orang yang kian lama memenuhi relung kalbuku, dan ia menerimaku dan tak mau mengeluarkanku dari hatinya, mungkin ini jadi kado terindahku di sepanjang sejarahku berulang tahun.

Setengah jam aku duduk sendiri di sudut MCD, sedang di luar hujan semakin deras, hanya sebuah gelas McFlurry yang telah habis yang menemaniku, menunggu ia yang tak kunjung datang, dengan rasa yang tak karuan, grogi, bingung, takut, bimbang. Saat aku melihat ke arah pintu, aku melihat seorang laki-laki berkulit hitam manis, dengan teduh pandangannya, wajahnya yang sederhana, dengan jaket Jeans hitam yang terlihat basah kuyup. Ia perlahan menghampiriku dengan senyuman sederhana, dan duduk tepat di depanku. Tiba-tiba tubuhku terasa dingin, dan dingin itu terasa berpusat pada dadaku dan menyebar hingga ujung-ujung jemariku, aku bahkan tak dapat berkata apa-apa, aku hanya memandangi wajah itu yang pucat entah mungkin karena dingin, atau apa, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku. Hingga sebuah suara dentuman cukup keras memecahkan suasana hening saat itu.

Aku tersadar, dan aku melihat di hadapanku tak ada seorang pun yang duduk, wujud bayangan lelaki yang aku tunggu tiba-tiba hilang. Semua mata terarah pada kaca besar yang langsung mengarah ke perempatan jalan Ir. H. Djuanda, Simpang Dago. Mataku pun ikut melihat kearah kaca tersebut, aku melihat sebuah kerumunan orang yang tiba-tiba berkumpul membuat jalanan macet secara tiba-tiba.

Rasa penasaranku pun tumbuh, aku langsung berlari menuju kerumunan orang-orang di perempatan jalan. Aku menembus tumpukan tubuh orang-orang yang mengelilingi pusat penyebab berkumpulnya orang-orang disekitar perempatan jalan yang memang di situ adalah pasar tradisional. Saat aku berhasil menembus kerumunan orang, aku melihat tubuh seorang pria berjaket jeans hitam, berkulit hitam manis bersimbah darah tergeletak tak berdaya di jalan aspal dekat sebuah motor yang bagian depannya hancur, dan helm yang telah terlepas di dekat kepalanya dengan kaca yang pecah. Aku hanya bisa melihat sebuah wajah teduh dengan senyum sederhana dan mata yang tertutup bersimbah darah dari kepalanya. Perlahan aku merunduk mendekatkan wajahku, meyakinkan hatiku atas apa yang ku lihat.

Saat aku yakin bahwa orang itu adalah ia yang aku tunggu, Rizal, seolah ada sebuah benda tumpul yang sangat berat dan kuat menghantam dadaku, aku hanya dapat menjerit tertahan dengan air mata yang tak terasa telah bercampur dengan air hujan yang turun membasahi wajahku, aku dekap erat, tak peduli akan darah yang membasahi bajuku bercampur dengan hujan yang seolah berusaha menghapuskan pedih.

Sirine ambulans memecah keramaian jalanan saat itu, aku hanya dapat meronta di hadapan kerumunan orang yang membantu mengangkat tubuh yang lemas tak berdaya, aku langsung berlari masuk ke dalam ambulans mengantarnya sampai ke Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.

Tak sempat air mataku habis terkuras sedih dan pedih bercampur penyesalan, ada sepasang tangan yang tiba-tiba menyodorkan sebuah kotak berlapis kertas kado putih bergaris merah muda dengan pita merah hati, dan sebuah coklat terikat oleh seutas pita merah darah. Aku terperanga dan mataku langsung tertuju ke sebelah ku yang ternyata seorang perawat wanita dengan jilbab yang selaras dengan seragamnya.

“Mbak kekasihnya ya?”

“Bukan mbak, saya adiknya,” jawabku sekenanya sambil menyeka air mataku yang tak kunjung reda dengan sapu tangan biru muda, yang dulu pernah diberikan oleh Kak Rizal saat aku menangis karena aku tidak masuk kualifikasi kandidat pengurus OSIS, dengan nasihat yang tak pernah aku lupakan.

“Aku paham mbak, bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai, tapi memang demikian adanya, adakalanya yang kita cinta harus kita ikhlaskan, karena ada yang jauh lebih mencintai mereka yang kita cinta. Alllaaah, ngomong opo aku iki (sambil tertawa kecil), yowis mba, saya tinggal dulu, ini kado dan coklatnya,” Sambil tersenyum manis, perawat itu menyerahkan bingkisan yang digenggamnya.

“Iya mba, makasih.”

Perawat itu tersenyum dan meninggalkan aku di depan ruang ICU. Aku langsung membuka kotak tersebut, yang ternyata sebuah kotak musik, dan ada sebuah surat yang menyertainya. Aku langsung membuka lembaran surat yang menyertai kado itu. Perlahan aku telusuri kata demi kata dalam lembaran surat saksi kepedihanku, dengan air mata di pucuk lembar bulu mataku yang tak henti berlari dari kediamannya.

Untuk Ririn Rinjani

Selamat ulang tahun teruntuk kamu yang aku sayangi.

Seiring dengan kata yang tertuang dalam kertas putih tak berdosa, aku tuangkan sebuah pengakuan terdalam. Mungkin aku terlalu bodoh, atau mungkin aku terlalu penakut, yang pasti aku tak mampu untuk menuangkan semuanya dan mengakui segalanya dihadapanmu. Selama ini aku hanya dapat bersembunyi dibalik bayang-bayang kata “kakak”-mu. Entah ini apa, aku sendiri tak mengerti, yang pasti aku tak pernah mampu memandang wanita lain selayak aku memandangmu, aku tak pernah merasakan cemburu selayak aku merasakannya untukmu, saat aku melihatmu melangkah dengan ia yang aku anggap teman, atau dengan ia yang aku lihat sebagai adik kelasku.

Kini atau pun nanti, mungkin aku tak akan mendekat pada mawar lain selagi aku masih merasakan suburnya rekah mawar untukmu, biar aku hanya ungkapkan ini pada lembaran-lembaran diary-ku.

Maaf jika aku mengusik ketenangan pikirmu, terserah apa yang ada dalam dadamu, yang pasti bagiku dekat denganmu adalah anugerah-Nya yang terindah, dan mengenalmu juga nikmat-Nya yang tak terkira, harapku hanya nyamanmu akan hadirku agar ku tak kehilangan senyum menawan dari cahaya surya untuk hidupku esok hari.

Rizal Lazuardi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun