Selamat Malam, Rekan/Rekanita,..!
Salam sejahtera untuk kita semua.!Â
Dulu - ketika aku masih MTs (SLTP) - aku punya guru yang sangat aku kagumi. Dia enak dalam mengajar. Dia bisa menguasai semua siswa-siswi dalam gemgamannya. Suaranya mantap. Dia guru perempuan yang paling bisa mengambil hatiku. Dia selalu memberikan perhatian lebih kepadaku dari pada guru yang laen (dalam perasaanku).
Dia guruku dalam pelajaran Qur'an Hadis. Selama kelas VII sampai kelas IX dia selalu mendapat jam untuk mengajar kelasku. Dia bagaikan Ibuku sendiri. Tubuhnya yang mungil dan wajahnya yang bersih dan imut (maaf) menjadikan aku lebih bersemangat ketika diajarnya dan lebih memperhatikan apa yang beliau ajarkan. Aku pun bisa lebih paham ketika diajar beliau dari pada diajar guruku yang lain.
Nilaiku dalam pelajaran Qur'an hadis waktu itu selalu (rata-rata) 90. Aku pun menjadi murid kesanyangannya dan beliau pun jadi guru kebanggaanku. Lalu aku pun menganggap beliau seperti "ibuku sendiri".
***
Dari situlah aku mengatakan bahwa aku tidak salah, begitu pun dengan Jesus. Jesus -atau dalam agama islam disebut dengan Isa putra mariyam- merasakan bahwa mu'jizat yang ada dalam dirinya berasal dari Tuhan, sehingga dia bisa menyembuhkan orang sakit, hingga menghidupkan orang mati. Semua itu dia dapatkan dari Tuhan. Dari Ilmu Tuhan yang secara tidak sadar Dia ajarkan kepadanya. Dan setelah Jesus menyadari kalau dirinya mendapatkan Ilmu dari Tuhan akhirnya dia merasa bahwa Tuhan adalah gurunya.
Setelah itu Jesus benar-benar belajar dengan Gurunya yang Sejati. Guru yang memiliki Ilmu Maha Luas. Guru yang Maha Sangat Luarbiasa dan Jesus kagumi. Jesus merasa Gurunya itu lebih menyayanginya dari manusia-manusia lain selain Jesus. Kasih sayang Sang Guru menjadikan dia seperti manusia yang luarbiasa. Lalu dia (Jesus) pun menganggap Gurunya adalah Bapaknya sendiri. Bapak yang senantiasa menemaninya dalam kesepian. Bapak yang selalu menolongnya dari setiap kesusahan. Bapak yang selalu menghiburnya ketika dia mengalami kegelisahan.
Apa salahnya aku "menganggap" ibu guruku bagaikan ibuku sendiri.? Begitu pula, apa salahnya dengan Jesus.?
***
Sejauh jalannya waktu. Jesus pun merasakan ada yang beda dalam dirinya. Dia (Jesus) merasa bahwa dirinya tidak dirinya. Dia merasa dirinya tidak benar-benar ada. Dia merasa yang ada adalah Tuhan. Tuhan lah yang Maha Ada. Yang Maujud. Apa yang menjadi tujuannya adalah tujuan dari Tuhan pula.
Dia mengalami jalan yang sunyi. Tanpa suara, tanpa cahaya, tanpa apa pun, yang ada 'jadi' tidak ada semua. Akhirnya pada suatu ketika - secara tidak sadar - dia mengatakan: "Aku dan Bapak (Tuhan) adalah sama". Tentu saja bukan berarti dia (Jesus) adalah Tuhan tetapi 'sama' disini memiliki arti yang sangat luas. Sama dalam tujuan, sama dalam menjalankan cinta dan kasih kepada umat, sama dalam hal sifat-sifat Tuhan yang diwariskan oleh-Nya kepada manusia, seperti sifat pengasih, penyayang, pemaaf, pemberi rizki, pemberi petunjuk, penyembuh, pemberi penyakit, dsb.
Apa salahnya kalau kita memiliki sebagian sifat Tuhan walau pun cuma sedikit.?