Oleh : Elsya Crownia
Di pinggiran kota, tepatnya di kelokan Aur Kuning, mobil, dan kendaraan terhenti sejenak. Sang supir pun resah. Para penumpang tampak kebingungan. Ada apa gerangan? Supir travel masih paruh baya. Dia tampak gelisah dengan kemacetan. Kemacetan yang tidak biasa. Herman, sang supir, setiap hari mengangkut penumpang dari arah Padang-Batusangkar, Batusangkar-Padang. Dia gelisah. Seorang penumpang yang duduk tepat di belakang Herman tampak gelisah, dan bertanya-tanya, ada apa gerangan?. Dia duduk resah, sambil mengawasi kerumunan mobil-kendaraan yang berhenti. Seluruh penumpang di mobil, dan kendaraan keluar mencari kebenaran. Mulanya orang-orang risih dan jengah dengan kegelisahan pria paruh baya ini. Seolah-olah pria itu hanya ingin mengambil jalan pintas agar sampai tujuan. Dengan santun dia meminta pendapat para penumpang travel. Mereka toh hanya memberi saran pada pria paruh baya itu untuk tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. Mereka memerlukan informasi perihal penyebab kemacetan. Jika dikumpulkan puluhan kepala yang ramai keluar dari kendaraan pribadi, tampaknya tak perlu terlalu dirisaukan. Satu-persatu kendaraan berangsur-angsur melalui tikungan sempit. Tikungan kutukan. Begitulah warga sekitar, terutama pengendara jalan menyebutnya. Jika pengendara tidak berhati-hati, puluhan nyawa akan melayang seketika. Tikungan jalan itu sempit, tak satu pun kendaraan yang berani menyelip. Di sebelah kiri jalan terdapat jurang yang terjal. Dulu jalanan itu meminta korban. Sebuah angkot Padang panjang-Bukittinggi-Batusangkar pernah masuk jurang. Jika pengendara tidak hati-hati atau ugal-ugalan dalam berkendaraan, maka nasib malang kendaraan pun melompati jurang yang sempit. Tidak seperti biasanya, jalan itu di kerumuni ratusan kepala dari berbagai jalur dan warga sekitar. Seorang warga tampak memberikan isyarat kepada setiap pengendara yang pulang dan pergi dari arah Padang-Bukittinggi-Batusangkar-Solok. Para supir terlihat tabah menunggu giliran memasuki jalan yang satu jalur di tikungan yang terjal. Namun bising telah merengkuh seharian di hari yang kian terasa panas menyengat. Para penumpang tampak panik membayangkan keadaan korban. Herman pun resah dan jengah dengan histeria penumpang, singap dia keluar dari mobil, berjalan menyusuri tikungan keramaian. Satu persatu sopir mobil dan kendaraan kembali pada posisi masing-masing, mereka kembali menghangatkan mesin, lalu memacu kendaraan melewati kerumunan para petugas dan warga dari masing-masing Jorong di Nagari Aur Kuning. Sementara Herman menelusuri keramaian, berlari mencari kepastian. Pria paruh baya itu tampak menghilang di balik kendaraan dan para petugas lalu lintas. Tidak jauh dari tikungan, terdapat sebuah kantor kepolisian yang tetap siaga dengan segala kemungkinan. Entah itu kecelakaan atau kendaraan yang tak sengaja kebut-kebutan di tikungan yang selalu memakan korban. “ Ada apa buk?” tanya salah seorang mahasiswa pada ibu yang kira-kira berusia 35 tahun. Ibu berbaju unggu itu tampak resah dan memperhatikan ke depan kerumunan. Samar-samar Ibu yang bernama Nina itu melihat tanda-tanda kecelakaan. “Buk, apabila mobil ini berubah jalur ke arah Ombilin, tentu perjalanan kita akan semakin lama sampai pada tujuan, “kata seorang Ibu berjilbab biru tosca. “Apa salahnya, tuan kalau jalur dirubah ke arah Sikaladi. Toh jalan itu justru dapat mempersingkat waktu,” sambung seorang Bapak paruh baya sambil memegang gitar kesayangannya. Tikungan jalan ini memang sempit, bahkan para sopir yang melalui jalan harus berhati-hati menyelip atau mendahului. Di tikungan jalan ini terdapat sebuah jurang yang berbahaya. Dahulu sering terjadi kecelakaan seperti mobil yang remnya blong, sopir mengantuk sehingga menyebabkan mobil masuk jurang. *** Akhir-akhir ini para penumpang tampak sepi. Tidak seperti biasanya, travel dan mobil menuju Padang selalu di kerumuni para mahasiswa yang baru saja menengok kedua orang tua di kampung. Tapi, tidak seperti biasanya mahasiswa yang membawa ransel itu pergi ke Padang. Barangkali mereka memperoleh tugas yang mendesak dari kampus. Para penumpang pun mereka-reka siapa gerangan korban yang tergeletak berlumuran darah. Masih dalam perjalanan, perlahan-lahan mobil dan travel menyusuri jalan yang dipenuhi warga Nagari Aur Kuning bercampur dengan polisi mengamati korban. Barangkali, salah seorang warga dan petugas kepolisian telah melaporkan peristiwa ini. Peristiwa yang panas seperti sinar matahari menyengat. Entah, panas matahari yang membakar membuat para pengendara menancap gas sekencang-kencangnya hingga penat tak tertahan di badan. Barangkali, terselip pesan dari peristiwa. Herman berjalan terengah-engah di tengah kerumunan warga dan petugas kepolisian. Lalu, dia memasuki travel sebagai periuk nasi untuk dia dan anak-istrinya. “Ternyata.....ada kecelakaan, tubuh korban sangat menggenaskan,”katanya menahan sesak setelah berlari-lari menemui para penumpang. Keributan di travel seketika buyar. Para penumpang yang telah lama menanti kabar pun bersabar menunggu Herman memanaskan mobil menembus keramaian. Satu persatu mobil berjalan menelusuri keramaian menatap dengan penuh tanya. “Ya, Tuhan....mengerikan sekali tubuh korban tabrakan,” ujar seorang Ibu sambil mengendong anaknya. “Apakah dia laki-laki atau perempuan?,” tanya seorang mahasiswi penasaran. “Entahlah....”jawab seseorang yang tidak ingin melihat kondisi korban yang tergeletak di tengah jalan. Seluruh mata melihat tubuh yang tergeletak di jalan itu dengan tatapan kasihan dan iba terhadap korban. “Bukankah korban itu tadi pagi membawa ransel?,”kata seorang Ibu “Ya, tadi saya sempat melihat dia. Samar,” jawab seorang Ibu muda yang duduk di bangku kedua. “Sepertinya nasib, jodoh, dan rejeki itu rahasiaNya,” ungkap seorang bapak tua di bangku urutan ketiga Seluruh penumpang terdiam, merenungi nasehat seorang bapak tua. Wajah mereka tampak pucat pasi dan sesekali mereka berbicara, bahkan simpati dengan tubuh muda yang tergeletak di tengah jalan. Tubuh itu retak di hantam sebuah mobil yang berjalan ugal-ugalan. Maka, selama dalam perjalanan mereka bertanya-tanya. “Kenapa tubuh korban itu tidak di bawa ke UGD?,” tanya seorang Ibu penuh tanda tanya. “Barangkali......mereka menunggu tim dari RSUD untuk meng-otopsi tubuh korban,” terang seorang pemuda berambut gondrong di bangku kedua travel. Dan para penumpang tidak tahu kapan mayat yang tergeletak itu akan di bawa menuju UGD terdekat. Kali ini Herman mengemudikan travel penuh kehati-hatian dan menenangkan hati. Tatapannya iba dan pucat masih terpancar di wajah ovalnya. Lalu, dia memencet mobil lain yang akan berangkat menuju Padang. “Hai, Doni.....kamu harus pelan-pelan membawa mobil,”katanya kepada temannya di seberang. “Ada kecelakaan. Saat aku melewati tikungan di wilayah Aur Kuning,” jelasnya sembari menyetir mobil itu pelan-pelan dalam keramaian. “Baiklah.....”jawab temannya. Mayat itu tergeletak di jalan, sementara ratusan pasang mata menatap dan penasaran, “ siapa gerangan mayat itu?,” darah segar tampak berceceran di jalanan yang biasa sepi. Biasanya, tikungan ini memang sepi oleh kendaraan yang lalu lalang. Di tepi jalan terdapat sebuah Nagari yang dihuni oleh ratusan kepala keluarga. “Pak mobil apa yang menabrak korban?,” tanya Herman penuh harap. “AS.....”jawab Bapak itu ramah. “Terima kasih, Pak,” kata Herman sambil memegang stir melewati jalan. Rupanya, salah seorang penumpang memperhatikan ALS yang melaju tanpa kendali. Sementara, penumpang lain mencoba mereka-reka korban yang baru saja tergeletak di tengah jalan, penuh dengan tanda tanya. Apakah korban itu mahasiswa yang sedang berurusan ke Padang, lalu mereka janjian di jalan. *** Seorang gadis muda, semester tiga salah satu Universitas di Padang. Dia menjemput maut dalam perjalanan, serentetan mata menatap mayat gadis muda yang bercucuran darah dan otaknya terburai. Sungguh, mengerikan di minggu siang yang panas. Ketika mobil yang selalu menyewakan penumpang mengawasi dan bertanya-tanya. Herman tampak kebingungan di hari minggu siang yang panas. Hampir setiap hari penumpang lengang. Barangkali, kali ini musim liburan bagi para mahasiswa se-kota Padang sehingga tak tampak penumpang yang men-stop kendaraan di persimpangan jalan. Barangkali, sebagian mahasiswa memilih alternatif lain, berkendara motor demi mempersingkat waktu agar sampai pada tujuan. Tikungan itu semakin ramai, lalu-lalang kendaraan menelusuri tikungan maut. Masih tergiang dalam memori para penumpang yang menjadi saksi, tergeletaknya mayat seorang gadis muda. Sebagian tampak harap-cemas. Penumpang tampak bergindik menyaksikan mayat tergeletak di jalan, “Ya...Allah, kasihan sekali,” ujar ibu yang memakai baju berwarna unggu. Entah, Herman mengemudikan pelan demi keselamatan para penumpang. Barangkali, Herman mengambil secarik pelajaran dari minggu siang yang naas. “Kita semua tidak tahu, kapan ajal akan menjemput,” tutur seorang bapak tua. “Ya....kalau telah datang masanya, kita akan di panggil,” jawab seorang pria paruh baya yang duduk di sebelah pak tua. “Memang benar. Hari ini malaikat maut menjemput. Saat itu pula kita meregang nyawa,” sambung pak tua. Seluruh penumpang terdiam sejenak, sambil menahan nafas yang sesak, setelah mereka melihat mayat yang tergeletak di tengah jalan. Di benak mereka masih tersimpan pertanyaan. Kenapa mayat yang telah mati naas itu tetap tergeletak. Apa pihak kepolisian hanya membiarkan saja, mayat itu tertelentang dengan kondisi mengerikan. *** Barangkali, pihak RSUD segera menuju ke TKP. Barangkali, polisi membentangkan garis polisi di tempat kejadian. Entah, para penumpang menerka-nerka, harap-cemas tanpa kepastian sedangkan kemacetan semakin panjang dari arah Kubu menuju Nagari Aur Kuning. Beberapa pengendara memilih singgah di sebuah rumah yang tidak mereka kenal. Entah, minggu siang yang naas. Malaikat maut menjemput satu jiwa dari tubuh yang tergeletak di hantam mobil. Kabarnya, pengemudi mobil memacu pedal gas dan lansung kabur melarikan diri. Para warga menatap tubuh yang tergeletak. “Korbannya perempuan...”kata seorang Ibu yang masih mengendong anaknya. “Ibu mengenalinya?,” tanya seorang Ibu berjilbab biru tosca. “Tidak, tadi sewaktu aku menunggu mobil ini, gadis itu ada di sekitar terminal,” jelasnya. Ibu berjilbab tosca tampak tertarik sekali. Dan dia ingin mengetahui lebih lanjut kronologi kecelakaan. “Padahal kita beriringan dengan motor korban,” terang Ibu yang masih menimang-nimang anaknya. “Saya juga memperhatikan, sepuluh menit sebelum mobil berangkat, sopir AS tampak ugal-ugalan melalui jalan setapak,” terang Herman. “Lagipula, anak itu tadinya saya perhatikan membawa ransel,” sambung si Ibu. “Nasib malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ketika telah tiba masanya, kematian akan menjemput. Tidak peduli usia renta, tua, dan muda,” sambung pak tua. Beberapa menit setelah Herman menyetir mobil menuju Lembah Anai, para petugas, dan mobil Ambulans menuju tempat kejadian. Menurut kabar, beberapa saksi yang sempat melihat kejadian diminta keterangan oleh pihak berwajib. Dan tubuh mayat itu di bawa ke rumah sakit untuk di otopsi. Keluarga korban tampaknya tak kuasa menahan kesedihan, ketika sang anak yang akan menyelesaikan urusan ke kampus tiba-tiba harus meregang nyawa. Tubuh korban diangkat dengan hati-hati, agar otopsi lansung dilaksanakan di ruang gawat darurat. Para warga yang menjadi saksi tabrakan maut di tikungan curam dan sempit itu hanya bisa berdo’a agar mayat itu tenang di alam baka. Batusangkar-Padang, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H