Mohon tunggu...
Elsya Crownia
Elsya Crownia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya orang yang suka membaca, menulis, diskusi dan pokoknya having fun guys :)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Genderang Partai Politik dan Para Bintang Politik Jelang Pemilu 2014

2 April 2014   19:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Elsya Crownia**

Menjelang pemilu 2014, para partai menabuhkan genderangnya. Media massa baik elektronik maupun media cetak ramaimemberitakan panasnya suhu politik. Punsetiap partaiberlomba-lomba mencitrakan diri dan berusaha mencari massa sebanyak-banyaknya. Bahkan banyak isu-isu miring tentang capres yang sering digembar-gemborkan media, tidak jarang image mereka (red : para capres) dikaitkan denga isu politik dan permasalahan korupsi sehinggamediajustru dijadikan sebagai alat pencitraandalam merebut simpati rakyat jelang pemilu 2014.

Sekarang ini, agenda politik memang berada pada titikterpanas, mengingat puncak politikdi tahun 2014. Untuk menyambut pilpres dan Pemilu berbagai manuver dilayangkan oleh partai politik dalam berkampanye. Hal ini tentu akan berbanding terbalik dengan krisis kepercayaanmasyarakatdiantara begitu banyaknya partai yang akan mereka pilih. Mengingat dari beberapa dekade mereka mengantungkan harapan agarkrisis ekonomi, permasalahan kemiskinan, pengangguranbisa ditanggulangi. Berbagaiupaya dilakukan berupa memberikan pemahaman tentangpartai dan calon pemimpin yang kelak akan mereka pilih. Di samping itu, masyarakat juga harus mampu menentukan sikap dalam melihat pergerakan politik pada pemiluyangsebentarlagi akan diadakan diseluruh Indonesia.

Munculnya kandidat-kandidat baruyang turut menyemarakkan taburan bintang-bintag politikpada periode ini. Para kandidatinicenderung menjadi sorotandariberbagai kalangan mulai darimasyarakat awam, para pengamat dan para intelektualyangturut mengamati serta menyeleksipara kandidat. Kinibanyak bermunculan para kandidat baruyang menjadi objekbagi masyarakat awam dan pengamat. Optimisme akan adanya perbaikandalam tata kelola pemerintahan dan penyelesaian berbagai persoalan pelik bangsa pun menyeruak. Terlebih lagi, komitmen kita pada sistem demokrasidihadapkan pada seabreg permasalahan, seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran, dan konflik sosialyang menuntut penyelesaian. Memang pertanyaan apakah demokrasi paralel dengan peningkatan kesejahteraan telah lamamenjadi perdebatan baik secara teoritik maupun praktis ( Lipset 1994 ; Prezworzky & Limongi 1993). Namun yang pasti publik mengharapkan adanya perubahan yang lebih baik melalui pemilihan umum. Fenomena 2014 telah membawa energi pra-pemilu ke dalam dua coarak determinasi basis perubahan kekuasaan. Pertama, keyakinan terhadapfigur para calon sebagai penentu kemenangan politik. Mengingatkembali sirkulasi kekuasaan yang tumbangdan berganti semenjak 1965, 1998, 2004 dan 2009 membawa situasi disebut changing continuities dan stabilitasiepistemilogi pembangunan ekonomi sebagai program unggulan. Kendati banyak ragam dan corak partai merupakan mainstream programatik kebijakan yangberbasis kelas atau aliran politik atau aliran politik telah diperkenalkan tetapi kesadaran sosial ( social conciousness) tetap tidak bergeser.

Kedua, keyakinan terhadap partai sebagai sebuah determinasidalam partai politik. Logika kepartaian kontemporer merefleksikan kecendrungan partai untuk menempatkan posisinya sebagai agensi dalam masyarakatyang terlibat dalam konstelasi kekuasaan ( Kitschelt, 1989). Logika representasi pendukung/ konstituensi dan logika kompetisi partai. Logika ini memberikan jalan partai untuk hadir di tengah pemilih dalam wajah (akar rumput, pusat dan negara/legislatif) dan siasat partai dalam kompetisi. Rentang kendali partai kemudian dikelola dalam bentuk jenis partai, sistem organisasi, kaderisasi, ideologi dan mainstream program partai. Dengan diyakininya partai yang dibangun dengan sistem modern akan memenangkan hati pemilih. Keyakinan inidi komparasi dengan kehadiran partai peserta pada pemilu 2014menunjukkan variasi ideologi beragam. Pembilahan historis aliran nasionalisme, marxisme, islamisme di era 1955 telah bergeser secarafundamental pada2014 dengan sosok partai yang didominasi aliran nasionalisme (sekuler/religius) serta absennya partai aliran Marxisme. Dari sebelah partaipolitikpeserta pemilu menunjukkan melemahnya partai-partaiberaliran Marxisme dan menguatknya partai beraliran Nasionalisme. Akan tetapi, jika dibaca dari arah tawaran program kebijakan partai hampir tidak ditemukan jarak pembeda yang signifikan. Corak ini melahirkan fenomena catch-all party, setiap partai kini bicara dengan bahasa yang sama, program serupa dan keprihatinan yang berbeda (Imawan, 2004). Bahkan hampir seluruh partaimemiliki tujuan yang hampir sama dalam memberantas korupsi, peningkatan kesejahteraandalam berbagai iklan politik. Begitu puladalam iklan layanan masyarakat, berbagai image calon pemimpin dan ideologi partai menjadi sorotan.

Krisis Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemimpin

Mengingatkurangnya animo masyarakatuntuk turut serta dalam pemilu disebabkan meningkatnyakorupsi di tubuh birokrasibesertapara pengurus partai, para pejabat, dan pemimpin bangsa yang di pilih dalam pemilu. Mengingat berbagai kebijakan pemimpin dalam penanganan pangan dan kemiskinan belum dapat diatasi. Keadaan ekonomi semakin sulit sehingga tingkat keyakinan masyarakat terhadap pemimpin semakin berkurang dan bahka berubah menjadi krisis kepercayaan.

Berbicara mengenai kepemimpinan masyarakata terhadap para calon pemimpin yang akan memimpin Negara ini kelak. Mulai dari kepemimpinan Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri hingga sekarang Susilo Bambang Yudoyono. Kesemuanya memiliki karakter yang berbeda, terutama dalam menentukan dan menetapkan kebijakan yang menyangkut rakyat.

Namun, apa yang diperjuangkan untuk rakyat? Penulis melihat pergantian pemimpin mulai dari masa pasca orde baru justru terkena dampak lansung dari kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemimpin tersebut adalah rakyat kecil yang belum mapan tingkat social dan ekonominya, dikarenakan pemimpin hanya memikirkan kepemimpinan pribadi dibandingkan dengan rakyat sedangkan kelompok menengah atas tidak terlalu merasakan dampak tersebut seperti naiknya tarif dasar listrik, harga beras dan sembako melambung tinggi, kelangkaan bahan bakar, bencana banjir, letusan gunung dan kabut asap. Kesemuanya dianggap hal biasa oleh para pemimpin, bahkan para pemimpin justru sibuk untuk mengetengahkan egonya masing-masing dengan mengusung ketua partai atau mendirikan partai baru dengan pogram seabrek.

Masalah utama dalam Negara yang sedang berkembang adalah kemiskinan. Disadari atau tidak tingkat kemiskinan yang bergulir semenjak era Reformasi masih belum mengalami penurunan yang signifikan, justru malah mengalami peningkatan. Mengingat, bencana alam hamper terjadi tiap tahun sehingga korban bencanaalam ada yang tidak tersalurkan dengan tepat bantuannya. Yang menyedihkan justru angka korupsi di kalangan eksekutif dan legislatif semakin meningkat, satu persatu tersangka baru korupsi dan suap diringkus oleh KPK. Tentu saja hal ini mengakibatkan penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap para pemimpin semakin goyah. Disadari upaya pemberantasan kemiskinan membutuhkan pendekatan multidimensi. Pemerintah selalu berupaya untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara membantu meringankan beban mereka secara lansung dan melihat kondisi penduduk di setiap wilayah tidakhanya di kota tetapi juga di daerah pedesaan. Pemerintah memang memiliki perhatian yang lebih besar dalam pemberantasan kemiskinan dengan ditawarkannya program-pogram khusus. Disamping itu, para calon pemimpin yang mengusung visi dan misi dalam pemilihan umum belum sepenuhnya mampu merubah situasi dan kondisi masyarakat. Hal ini justru membuat masyarakat semakin tidak yakin dengan calon wakil rakyat dan pemimpin di Pemilu 2014.

Krisis Kepercayaan Masyarakat Terhadap Parpol

Terkait banyaknya kasus korupsi yang menimpa para kader-kader partai dan panggung politik, hal ini juga merupakan faktor yang menyebabkan kurangnya kepercayaan masyarakat jelang Pemilu 2014. Disamping itu, konflik internaldalam partai, pelanggaran etika, tidak pro-rakyatmenyebabkan menurunnya animo masyarakat di kancah Pemilu 2014. Selain itu dinasti politik diperparah dengan pola piker elit politik seperti politik dagang sapi. Semakin besar kekuatan politik sebuah partai politik maka semakin banyak harga yang harus dibayar. Karena itu banyak partai politik yang mengusung politisi sesuai dengan ideology partai. Sayangnya, pemahaman masyarakat terhadap partai politik dan calon pemimpin yang akan dicalonkan oleh parpol itu sendiri seperti memberikan informasi, profil lengkap kader dari calon yang akan menjadi kandidat pada Pemilu sehingga masyarakat tidak akan bingung memilih.

Keberadaan partai politik yang diharapkan oleh masyarakat sebagai penghubung komunikasi antara rakyat –pemerintah sangat dibutuhkan. Namun, daripertukaran era kepemimpinan partai politik tidak sepenuhnya menjalankan fungsinya mengingatbanyaknya konflik internal dan eksternal partai.

Diperkirakan Golput akan meningkat

Akan meningkatnya angka golongan putih pada Pemilu 2014, sebelumnya telah diprediksi oleh para pakar politik yang disebabkan oleh ketidak percayaan publik terhadap partai politik dan pejabat politik. Disisi lain, pendataan pemilih yang masih menjadi tantangan krusial dalam pemilihan.

Mengingat calon legislatif sudah banyak menggumbar janji, dan tebar pesona, dan janji-janji akan memperjuangkan nasib rakyat melalui iklan politik, baliho, spanduk, poster, dan berbagai pesan-pesan dari calon presiden atau legislatif. Bahkan menggunakan kendaraan, angkot, pohon, tiang listrik, dan bahkan makam demi meraih simpati masyarakat. Media massa, televisi sudah jor-joran melakukan kampanye dengan memakai artis yang telah menjadi kader partai demi menarik simpati dan suara rakyat dalam Pemilu 2014 yang akan segera diselenggarakan.

Kasus lain yang menyebabkan masyarakat kurang simpati terhadap para legislatif yang sering mangkir dalam sidang atau pemimpin partai yang terlibat kasus korupsi dan suap digelandang oleh KPK, semestinya ini memberikan gambaran positif bagi masa depan legislatif.

Pemilu 2014 yang sebentar lagi diharapkan agar masyarakat benar-benar memahami bahwa satu suara menentukan nasib rakyat. Oleh sebab itu, bagi parpol dan capres berupaya untuk mengaplikasikan program kerja agar masyarakat tidak kecewa. Semoga!

Penulis tinggal di Padang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun