Mohon tunggu...
Elsa Yuliana
Elsa Yuliana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Analogi Payung dan Hijab

14 Februari 2016   15:51 Diperbarui: 14 Februari 2016   16:04 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

1. Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia, dan

2. Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring.

Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya surga tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim).

Tidak bisa mencium baunya surga loh, masih ada yang mau berargumen? Baunya saja tidak tercium, bagaimana kita akan dimasukkan ke dalam surga?

Bagaimana? Sudah bisakah menerima analogi yang saya berikan? Hakikatnya payung dan hijab itu fungsinya sama bukan? Keduanya sama-sama menutupi dan melindungi. Payung menutupi tubuh kita agar terhindar dari hujan dan paparan sinar matahari. Pun hijab. Ia menutupi tubuh kita agar terhindar dari banyak hal. Salah satunya untuk melindungi kita dari ancaman Allah tentang siksa neraka. Kalau kita mau mengikuti peraturan dan petunjuk yang diberikan Allah, we have a chance to enter heaven and save from the hellfire.

Wanita itu diumpamakan sebuah mutiara. Kita semua tahu mutiara itu letaknya di dalam kerang dan di dasar laut. Itulah yang menjadikan mutira tidak sembarang orang bisa menyentuhnya. Semua orang sudah tahu, bahwa “Mutiara itu mahal,”. Tanpa harus dipromosikan bahwa mutiara itu indah, semua orang tidak akan meragukan keindahan mili per mili dari mutiara itu.

Kita tidak perlu mempromosikan diri kita indah. Dengan berpakaian serba ketat, kerudung diputer-puter tapi dada kemana-mana. Baju sengaja dimasukkan agar orang bisa tahu bokong kita yang semok. Tidak perlu kok mba. Para kaum Adam paham betul, bahwa mili per mili tubuh kita --kaum Hawa--, merupakan keindahan bagi mereka. Dan kita tidak perlu mengatakan kalau kita adalah wanita mahal.

Kita harus benar-benar menyadari bahwa diri kita adalah mutiara. Bukan malah sebaliknya, menganggap diri kita adalah seonggok barang tak berguna. Yang jika barang itu tidak dipromosikan, maka tidak akan laku. Sekali lagi kita harus benar-benar sadar, bahwa kita adalah mutiara. Iya, sebuah perhiasaan yang butuh kerja keras untuk mendapatkannya. Dan perlu kita pahami, bahwa mutiara akan mahal jika dijual di toko perhiasaan resmi. Bukan di pinggiran jalan yang semua orang bebas menjamah dan menjajalnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun