Mohon tunggu...
Elsa Wulandari
Elsa Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2023.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengupas Tuntas Unsur Ekstrinsik dalam Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun

22 Juli 2024   00:20 Diperbarui: 22 Juli 2024   00:44 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perempuan Membaca Buku. Sumber: Pexels

Nilai moral dalam novel ini sangat baik dan menarik, salah satunya terlihat ketika Medasing, sebagai kepala penyamun, bersama teman-temannya, tidak pernah sekalipun menyentuh atau mengganggu Sayu, satu-satunya perempuan di antara mereka.

Sesungguhnya ada sesuatu pada perawan itu yang menyebabkan ia terpelihara dari marabahaya. Ketika ia tertidur di pepangkal kayu dahulu telah terbukti, bahwa ada kelebihannya atas Medasing, sehingga sesaat raja penyamun itu tertegun melihatnya, tak tentu apa yang hendak diperbuatnya. Demikian juga lah dengan sanip dan tusin.” (Anak Perawan Disarang Penyamun, 1940: 60).

Kutipan ini menciptakan tema tentang keistimewaan dan perlindungan yang datang dari kekuatan moral atau spiritual. Sayu, sebagai perawan, digambarkan memiliki sesuatu yang istimewa yang membuatnya terlindungi dari marabahaya, bahkan di tengah-tengah kelompok penyamun. Reaksi tokoh-tokoh seperti Medasing, Sanip, dan Tusin terhadap Sayu menyoroti pengaruh kuat dari kualitas intrinsik Sayu yang melampaui kekuatan fisik dan intimidasi, menunjukkan bahwa keutamaan moral dan spiritual dapat memberikan perlindungan yang nyata dalam situasi berbahaya.

  • Nilai Sosial dan Budaya

Novel ini mengandung banyak nilai sosial dan budaya. Salah satunya terlihat ketika sekelompok penyamun datang ke pondok Haji Sahak, merampok, membunuh, dan menculik Sayu, putri Haji Sahak. Kejadian ini terjadi saat mereka menjual puluhan kerbau milik mereka dan tetangganya ke Palembang.

Medasing tiba diatas pondok, diiringkan oleh temanya berdua; ketika ia masuk, Haji Sahak terkejut mendengar bunyi orang orang melangkah ditangga yang berbuai-buai dan dilantai bambu yang berderak-derak. Segera ia melompat terduduk, dan pada saat itu juga tiba ditangan kirinya mata tombak yang tajam berderis menembus bajunya, menguoasi daging sampai ketulang. Ia pun teriak karena terperanjat, tak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Tangan kirinya yang luka itu meraba kebawah bantal mengambil keris, tetapi saat itu juga tangan yang kena tombak itu pedih, tiada dapat digerakan....” (Anak Perawan Disarang Penyamun, 1940: 12).

Dalam kutipan di atas, bahwa Haji Sahak menunjukkan keberanian dan ketabahan dalam menghadapi situasi berbahaya. Meskipun terluka parah, ia masih mencoba untuk mempertahankan diri dengan meraih keris di bawah bantalnya. Ini mencerminkan nilai keberanian dan keteguhan hati yang dihargai dalam Masyarakat.

Novel ini mengandung banyak nilai religius, salah satunya terlihat ketika Nyi Hajjah Andun terbangun saat waktu subuh karena kebiasaannya bangun pada waktu itu. Ia kemudian sembahyang dan berdoa hingga siang karena tidak bisa tidur lagi, meskipun doanya hanya diucapkan di bibir dan tidak meresap ke dalam hatinya.

Demikianlah berulang-ulang sampai badanya menjadi letih tak dapat berfikir dan mengharap lagi; maka tertidurlah ia tiada kabarkan diri sampai waktu subuh. Oleh sebab telah terbiasa sejak dari mudanya, terbangunlah ia akan sembahyang, meki bagaimana sekalipun lesu badannya. Dan sejak sembahyang subuh itu ia tak dapat memincingkan matanya lagi sampai hari siang. Doa yang dibaca-bacanya untuk menanti pagi biasanya hanyalah dibibir, tak meresap kedalam kalbunya.” (Anak Perawan Disarang Penyamun, 1940: 49-50).

Kutipan ini menggambarkan pergulatan batin tokoh yang tetap menjalankan kewajiban religiusnya meskipun mengalami kelelahan fisik dan mental. Kelelahan ini digambarkan dengan jelas melalui frasa "badanya menjadi letih tak dapat berfikir dan mengharap lagi.” Disiplin dalam beribadah terlihat kuat, tetapi ada kekosongan spiritual yang dirasakan, menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual tanpa penghayatan yang mendalam dapat terasa hampa dan tidak memberikan ketenangan batin yang diharapkan.

  • Nilai Kependidikan

Nilai kependidikan dalam novel ini tampak ketika Medasing dan Sayu pulang dari Mekah dan mengajarkan agama kepada anak-anak mereka.

Dua tahun yang telah berlalu dua suami-isteri yang sangat dikasihi oleh rakyatnya itu naik haji anak beranak menyampaikan suruhan agama. Dua tahun lamanya tanah Pasemahan seakan-akan sarang ungas yang tertinggal dan dua tahun pula lamanya rakyat Pasemahan dengan hasrat menantikan pesirah mereka kembali. ” (Anak Perawan Disarang Penyamun, 1940: 115).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun