Indonesia berfokus pada tiga pilar utama untuk Presidensi G20. Tiga pilar tersebut antara lain arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, transformasi digital dan ekonomi. Dalam G20 terdapat DEWG (Digital Economy Working Group) yang merupakan forum guna membahas isu digital ekonomi dengan pembahasan strategis, dinamis dan komprehensif mengenai isu digital lintas sektoral. Tiga prioritas yang dibahas negara G20 dalam DEWG (Digital Economy Working Group) yaitu:
PostCovid-19 Recovery and Connectivity (Konektivitas dan Pemulihan Pasca Pandemi Covid-19)
-
Digital Skills and Digital Literacy (Kemampuan Digital dan Literasi Digital)
Cross-Border Data Flow and Data Free Flow with Trust (Arus Data Lintas Batas Negara)
Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Mira Tayyiba selaku Chair Digital Economy Working Group (DEWG) mengemukakan bahwa pemilihan topik kemampuan digital dan literasi digital merupakan konsekuensi dari pembangunan infrastruktur digital yang telah tersedia. Di bidang finansial, terdapat berbagai aplikasi dan layanan digital yang memanfaatkan gamifikasi untuk mendorong penggunanya dalam menabung, mengelola anggaran termasuk meningkatkan literasi keuangan. Presidensi G20 Indonesia juga memberikan ruang pembahasan bagi rencana penerbitan mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Penerbitan dan peredaran dari Central Bank Digital Currency (CBDC) akan dikontrol oleh bank sentral untuk digunakan sebagai alat pembayaran yang sah guna menggantikan uang kartal. Bank Indonesia juga mengusung sistem pembayaran berbasis Quick Response (QR) Code sebagai sistem pembayaran global dalam forum G20. Harapannya, sistem QR Code dapat digunakan sebagai sistem pembayaran lintas negara. Mengurangi uang kartal, menciptakan transaksi ekonomi yang lebih efisien, peningkatan penggunaan mata uang lokal, menjaga kestabilan ekonomi makro dalam negeri, mendukung digitalisasi perdagangan dan investasi. Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia berkomitmen mendukung perkembangan dan kontribusi industri financial technology (fintech) terhadap penguatan ekonomi digital nasional melalui regulasi yang dapat memacu inovasi layanan keuangan digital, serta memberikan perlindungan optimal kepada masyarakat sebagai pengguna.Â
Perkembangan financial technology beberapa tahun ini sangat masif, mulai dari super apps untuk e-commerce, peer-to-peer lending, crowdfunding, payment aggregator, dan remittance. Hal ini didorong oleh tiga hal utama, yaitu entry barrier yang rendah, dukungan dari regulator yang mempermudah proses, dan akses terhadap kapital yang cukup luas. Secara umum, tantangan perbankan ritel saat ini adalah tuntutan yang cukup tinggi untuk memberikan produk dan layanan inovatif (convenient, reliable, and secure), hypersonalization, omnichannel journey, dan kemampuan sebuah bank untuk menyuguhkan pengalaman yang berbeda dengan bank lainnnya. Selanjutnya, situasi pasar di dunia perbankan yang volatile, perlambatan ekonomi karena situasi pasca pandemi serta regulasi baru seperti basel, compliance, cyber risk, low entry untuk fintech dan startup. Hal ini memicu industri perbankan untuk segera melakukan transformasi digital bukan hanya untuk keunggulan kompetitif saja, tetapi juga ke arah survival of the fittest agar mampu bertahan dan tetap relevan kedepannya.Â
Akselerasi transformasi digital menjadi salah satu prioritas dalam agenda Presidensi KTT G20. Ekonomi digital sebagai bagian dari pilar transformasi digital telah menjadi penggerak baru untuk pemulihan ekonomi global. Melalui event B20 Summit Indonesia 2022 pada KTT G20 yang bertemakan "Advancing Innovative, Inclusive, and Collaborative Growth" PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk berkomitmen untuk memberikan solusi perbankan digital dengan sebuah inovasi baru. BNI memperkenalkan sebuah dunia perbankan digital yang Go Global dengan teknologi Metaverse. Dunia metaverse mampu memberikan pengalaman imersif yang  dikemas menjadi sebuah pengalaman baru bagi nasabah BNI, yang bermuara pada customer satisfaction. Melalui dunia Metaverse, BNI mampu menjalankan program promosi, edukasi, dan pemasaran untuk memperkenalkan produk-produk unggulan BNI kepada para nasabah. Tiga produk unggulan BNI, yaitu BNI Mobile Banking, BNI Xpora, dan BNI Direct dikemas melalui konten yang unik, menarik, dan informatif ke dalam dunia metaverse.Â
BNI Metaverse ingin menyampaikan pesan kepada seluruh masyarakat Indonesia tentang era baru perbankan digital yang dapat melintasi batas tanpa memandang jarak, waktu, dan aksesibilitas layanan perbankan. Metaverse ini akan menyebarkan pengetahuan lebih cepat ke dunia dan membuka peluang ekonomi Indonesia dengan berbagai kolaborasi yang akan dibentuk. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengantisipasi hal ini dengan membuat pedoman dalam Digital Transformation Plan untuk menghadapi meta transisi ini. OJK telah meminta bank untuk memprediksi teknologi karena perubahan teknologi akan terus terjadi. Mengingat pengembangan produk akan terus sejalan dengan kemajuan teknologi, OJK akan memastikan regulasi ke depan berbasis principle primarily based.Â
OJK menilai perbankan menghadapi empat tahapan saat memasuki dunia virtual reality. Pertama, pengalaman perbankan baru. Saat ini, orang mulai berinvestasi dalam aset virtual seperti cryptocurrency dan NFT, sehingga bank mulai mengkategorikannya sebagai kelas aset baru. Kedua, cloud menyimpan metaverse. Pada tahap ini, bank yang berbeda dimasukkan dalam metaverse perbankan, konsumen dapat memilih bank dalam metaverse. Ketiga, bank menyediakan sarana untuk melakukan transaksi digital dengan aset yang didukung crypto. Konsumen dapat mengubah mata uang menjadi cryptocurrency metaverse. Keempat, demokratisasi data. Fase ini memungkinkan konsumen untuk menyimpan datanya sendiri dan membagikan datanya kepada pihak yang diminta. Di masa mendatang, kemungkinan metaverse akan menjadi tempat untuk mengembangkan perbankan berteknologi tinggi.
Disisi lain teknologi Metaverse memiliki potensi dalam kemunculan risiko adanya penyalahgunaan data pribadi, karena metaverse dapat melacak mata, wajah, tangan bahkan bisa merekam aktivitas otak. Selain itu, munculnya masalah sosial baru di lingkungan masyarakat yang merubah kebiasaan bertemu dan bersosialisasi secara fisik menjadi serba virtual. Seperti yang kita ketahui di Indonesia sendiri, akses teknologi dan internet belum merata di berbagai daerah khususnya daerah-daerah terpencil. Contohnya, pada masa pandemi COVID-19 lalu banyak sekolah-sekolah yang muridnya tidak mampu mengikuti pembelajaran daring atau mengikuti zoom. Hal ini, memperlihatkan bahwa infrastruktur Indonesia belum optimal yang dapat menyebabkan pengeluaran biaya yang lebih besar untuk memperoleh alat pendukung teknologi metaverse, seperti koneksi internet yang cepat dan stabil.Â