Hingga tahun ke-34 ini, patung lukisan yang ada di ruang tamu sulit untuk disingkirkan dari rumah pak Parde. Bahwasanya patung lukisan ini, sudah menjadi seperti salah satu anggota keluarga tersohor ini. Menurut beliau, patung itu warisan nenek moyang, harus tetap berada di rumah ini. Tidak boleh beranjak. Karena membuat seluruh keluarga jatuh sakit.
Tapi Armenius, Putra pak Parde gelisah. Bahkan ia seringkali melakukan tindakan-tindakan buruk hanya untuk menyingkirkan patung lukisan itu. Pasalnya setiap kali dia melihat patung lukisan itu, ia ingin memberontak, marah dan pikirannya merajalela kepada hal-hal yang berbau negatif. Bahkan ketika cerpennya di tolak oleh penerbit indi, Armenius merasa bahwa patung lukisan inilah penyebab utamanya.Â
Tidak hanya itu, ketika teman-temannya menjauhi dirinya_menurut perasaannya, pacarnya selingkuh, rumah berantakan, halaman kotor, dan bunga seolah semuanya layu di pagi hari, maka patung lukisan berusia lebih dari seperempat abad itu, menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kemarahan dan emosinya. Hatinya semakin kacau, dia bertekad untuk menghalau patung lukisan itu dari pikirannya, lebih buruk lagi dari rumah itu.
Setiap kali dia melihat patung warisan tersebut, dia mencoba menggeser-geser posisinya sehingga saat ia berpapasan muka, patung itu tidak hentinya mengintimidasi Armenius. Dia berharap tidak akan ada keluarga yang tahu bahwa patung lukisan itu telah berputar posisi.Â
Letak patung lukisan di ruang tamu ini cukup jelas terlihat dari berbagai sisi. Saat Armenius akan meneguk segelas air putih, saat sarapan pagi yang diwajibkan pak Parde dilakukan di meja makan, bahkan saat ia keluar masuk dari ruang musik dan toilet, patung lukisan itu seperti bayangan yang mengikuti ke mana saja putra tunggal pak Parde itu pergi.
Bukan hanya hatinya yang kacau tapi tindakan Armenius telah berubah seperti matahari terbit di Barat. Â Armenius yang dulunya peramah dan tunduk pada orang tua, sekarang menjadi seperti singa berbulu domba. Ia berwajah garang, pemarah dan tak tahu sopan santun.
Suatu saat ketika ayahnya dan keluarga meninggalkan rumah ke pesta adat yang dilakukan pak Mantra, Armenius mengajak teman-teman dari sanggar, untuk mengangkut, memindahkan atau entahlah merusak ataupun menjual patung kehormatan orangtuanya.
Armenius sangat jengkel dengan perasaan yang dialaminya sejak keberadaan patung lukisan tersebut. ia tidak tahu apakah ada orang lain yang merasakan sepertinya atau tidak. Tidak ada yang tahu. Semua orang di rumah ini masa bodoh. Percuma memiliki keluarga.
Biar mereka merasakan akibatnya. Kujual saja di lapak online, biar mereka tahu rasanya terintimidasi oleh patung ini. Atau kutukar saja dengan secangkir kopi hitam di warung kaki lima, biar kepalaku yang pusing bisa sembuh. Iya, benar. Itu yang akan kulakukan.
***
Seminggu kemudian, pak Parde dan Ibu Parde-lah yang dirundung penyakit perihal hilangnya patung lukisan. "Penyakit serangan nenek moyang" kata mereka. Armenius, perlahan mulai mempercayai hal bodoh itu.