Empat tahun lalu saya dirundung derita yang amat dalam yang tak bisa kuungkapkan. Fares pergi meninggalkaku. Fares sudah mengisi separuh hidupku dengan keberadaannya hampir delapan tahun, sebelum ia dipinang pria oriental pilihannya. Ia bahkan keji membiarkan saya dalam kesedihan berlarut-larut.
Fares, wanita cerdas, humoris, pemikir, gemar wisata kuliner dan menyukai travelling sama seperti saya. Ya, benar. Kami cocok berkelana bersama.
Menikmati waktu senggang di pojok di mana televisi menonton kami sebagai rutinitas, kami menulis beberapa puisi, merencanakan masa depan, dan hobi mencicipi menu terbaru di sudut-sudut kota.
"Kau pasti menyukai jengkol bumbu rendang." Katanya padaku siang itu. Bahkan ia belum memastikan aku akan memakannya. "Ayok kita beli" lanjutnya menarik tanganku.
"Aku tidak suka." balasku sedikit berbisik, mengernyitkan dahi sembari mengikuti langkahnya
Fares tahu, permintaannya tak pernah bisa kutolak, begitu sebaliknya. Bahkan ritual dark chocolote dan secangkir kopi yang tak pernah disukai, bersamaku, Fares terbiasa.
Aku tak mau menderita karena kangen, akhirnya kuhubungi Fares di Riau dengan videocall melalui WhatsApp meskipun gangguan. Kuungungkapkan semua keluhanku, kerinduanku padanya, sejumlah makanan yang sudah menjamur di Lombok ini, kebiasaanku makan jengkol karena merindunya dan televisi di pojokan yang sudah berdebu.
"Dan akan bertambah debunya setahun demi setahun." Kataku setengah merayu agar dia datang berkunjung.
"Aku tetap menikmati dark chocolate dan secangkir kopi di depan televisi bersama Tomy." jelasnya. "Suamiku mirip kamu, Elsan. Penikmat kopi." katanya membuatku cemburu. Akh, sudahlah. Setahun lagi aku akan menjual rumah ini, janjiku pada diri sendiri.
"Soal televisi yang berdebu," lanjut Fares memecah keheninganku. "Hari ini pasti tak akan berdebu lagi."
"Iya, karena aku akan menjualnya."