Mengapa Vote Buying masih terjadi di Indonesia? Apa Penyebabnya?
Vote buying (pembelian suara) merupakan fenomena yang umum terjadi dalam praktik elektoral di Indonesia, terutama sejak digulirkannya sistem pemilu langsung sejak tahun 2004. Vote buying adalah distribusi sistematis uang tunai atau sumbangan fisik dari kandidat kepada pemilih pada hari-hari menjelang pemilihan, secara tersirat para penerima akan membagikan suaranya untuk si pemberi sebagai balasannya.
Vote buying-penawaran uang tunai dan hadiah sebagai imbalan atas dukungan pemilih sebagai pemilu adalah fenomena yang terjadi di seluruh belahan di dunia. Hal ini dimaknai sebagai jual beli suara dalam proses politik dan kekuasaan, serta tindakan mendistribusikan uang dan kebutuhan pokok, baik secara pribadi maupun oleh partai untuk mempengaruhi suara pemilih.Â
Hal ini sering terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, di mana vote buying yang merupakan bagian dari kebijakan moneter merupakan contoh demokrasi yang tidak sehat. Vote buying memang identik dengan "money policy" atau politik uang, namun dalam skala atau jumlah yang lebih besar.Â
Apabila vote buying ini terus berlanjut, posisi pengambil keputusan di sektor publik, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif akan diduduki terutama oleh mereka yang bergantung pada logika materialis dan terhasut untuk melakukan kejahatan maupun kecurangan.
Terjadinya vote buying di indonesia di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ialah:
- Faktor kemiskinan, penyebab adanya vote buying tidak terlepas dari kendala keuangan yang selalu memicu munculnya masalah baru, seperti terbukanya peluang vote buying di masyarakat. Hal ini dapat diartikan bahwa kemiskinan membuat orang berpikir secara wajar untuk mendapatkan laba ketika menerima uang dari partai politik. Praktik vote buying akan susah dihentikan apabila faktor kemiskinan masih terjadi di masyarakat.
- Faktor lemahnya pengawasan, kurangnya kerjasama antara masyarakat dan pemangku kepentingan dalam mengawasi pemilu dapat menyulitkan penghentian adanya praktik vote buying. Kurangnya pengawasan ini disebebabkan oleh pemikiran masyarakat sendiri dan tidak dapat memahami aturan pengawasan yang telah dilakukan untuk mencegah praktik vote buying di masyarakat.
- Faktor tradisi, praktik vote buying yang masih lumrah terjadi di masyarakat akan menjadi kebiasaan yang berulang jika dibiarkan. Vote buying sejauh ini disebabkan oleh pengawasan yang lemah dan kurangnya kesadaran diantara para pemangku kepentingan tentang dampak yang akan terjadi jika vote buying masih diterapkan saat pesta demokrasi berlangsung. Ketidakpahaman pihak-pihak yang terkait tersebut, menjadikan vote buying kebiasaan yang terus berulang bahkan menjadi tradisi saat pemilu.
Apabila vote buying ini terus berlanjut, posisi pengambil keputusan di sektor publik, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif akan diduduki terutama oleh mereka yang bergantung pada logika materialis dan terhasut untuk melakukan kejahatan maupun kecurangan.Â
Oleh karena itu ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengatasi vote buying seperti mengadakan sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak negatif vote buying, memberikan pendidikan politik terkait vote buying kepada masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas bagi para oknum yang masih melakukan praktik vote buying di Indonesia.
Referensi:
AR, M. Y. PRAKTEK INFLUENCE BUYING DALAM DOMOKRASI DI INDONESIA
Rangkuti, A. (2021). POLITICAL MONEY IN THE IMPLEMENTATION OF ELECTION IN INDONESIA. NOMOI Law Review, 2(2), 221-237.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H