Â
     Dalam bidang kesusastraan Indonesiamasih sedikit ditemui kaum perempuan yang ikut bergabung dalam bidang sastra, saat itu dunia sastra masih banyak didominasi oleh kaum laki-laki saja. Oleh sebab itu, cara pandang gender sangat mempengaruhi pengarang dalam menempatkan tokoh perempuan dalam penulisan sebuah karyanya. Kesusastraan Indonesia pada awal tahun 1920-an ditandai dengan penerbitan karya sastrawan, salah satunya melalui Balai Pustaka. Generasi awal Balai Pustaka melahirkan banyak penulis dan karya yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah sastra Indonesia. Salah satunya yaitu sastrawan perempuanyang bernama lengkap Fatimah Hasan Delais dengan karyanya yang berjudul, "Kehilangan Mestika".
     Kehilangan Mestika merupakan novel karya Fatimah Hasan Delais atau yang biasa dikenal dengan nama penanya yaitu Hamidah. Novel ini terbit pada tahun 1935 dipenerbitan Balai Pustaka. Fatimah Hasan Delais merupakan salah satu dari sedikitnya pengarang perempuanpada masa itu di antara jajaran laki-laki yang berhasil menerbitkan bukunya dipenerbitan Balai Pustaka saat menginjak usia 19 tahun.
     Novel kehilangan mestika mengisahkan tentang bagaimana tokoh Hamidah dalam memperjuangkan cita-citanya untuk kemajuan para kaum perempuan di kota kelahirannya yang saat itu masih kuat akan budaya patriarki yang membatasi para perempuan dalam tradisi pingitan. Di kota kelahirannya, para perempuan dijadikan sebagai barang simpanan saja, tidak boleh berpergian dan diharuskan untuk diam di rumah dan melakukan pekerjaan-pekerjaan dapur, bertenun ataupunmenyulamsambil menunggu laki-laki yang datang untuk meminangnya. Begitu pula yang dirasakan oleh tokoh Hamidah yang sangat dilarang bekerja untuk mencari nafkah oleh orang di sekelilingnyapadahal ayahnyayang merupakan seorang khatib/pemuka agama mengizinkannya merantau untuk mencari nafkah dan mendukung Hamidah dalam menentukan keputusannya sendiri. Menurut Hamidah kebanyakan daripada adat yang diadatkan disangkakan mereka sebagian juga daripada syarat agama, gadis meski dipingit tak boleh kelihatan oleh orang yang tak ada hubungan keluarga lebih-lebih laki-laki, maka dari itu adat seperti inilah yang sangat ingin diperangi oleh tokoh Hamidah dan ia juga berharap perempuan di kotanya dapat hidup dengan bebas dan berpikiran lebih modern. Bahwa setiap manusia memiliki hak kebebasannya masing-masing baik itu perempuan maupun laki-laki.
     Dalam cerita ini pula tokoh Hamidah ingin menunjukkan kepada orang-orang di sekelilingnya bahwa perempuan juga mampu melakukan pekerjaan diluar dengan kemampuan yang dimilikinya sendiri. Nyatanya usaha Hamidah untuk mencapai cita-citanya tidaklah mudah sebab kaum tua banyak yang mengecamnyya dan mengatakan bahwa Hamidah telah mengikuti gaya yang kebarat-baratan. Bahkan sampai orang-orang sekelilingnya pun ikut mencacinya. Namun tekad Hamidah dalam membangun perubahan  bagi kaum perempuan tidak berhenti begitu saja, dengan dibantu oleh teman-temannya ia pun dapat membangun perkumpulan untuk kaum perempuan, di sana tidak hanya diajarkan bagaimana cara membaca dan menulis saja namun juga diajarkan membuat kerajinan tangan dan memasak. Awalnya perkumpulan itu tidak dipandang baik oleh orang-orang di sekitarnya bahkan mereka dikatakan sebagai perempuan kafir sebab mereka yang berjalan ke sana ke mari, tidak pula mengenakan selendang sebagai penutup kepala. Namun setelah mereka meminta ahli agama untuk mengadakan tablig sekali dalam seminggu disetiap pertemuan mereka barulah pandangan orang-orang tentang perkumpulan tersebut mulai berubah. Mereka mulai dihormati begitu pula pada pekerjaan mereka yang kian hari menunjukkan hasilnya, setelah itu barulah anggota yang mulanya hanya beranggotakan tak lebih dari sepuluh orang kini makin bertambah banyak.
     Novel ini juga tidak hanya menceritakan bagaimana sulitnya Hamidah dalam memperjuangkan hak kebebasannya saja, melainkan juga menceritakan kisah percintaannya yang sangat menyedihkan, berawal dari kisahnya dengan Ridhan yang tidak disetujui oleh paman dari Ridhan dan berakhir kisah mereka berdua yang tak bisa bersama karena Ridhan yang lebih dahulu dipanggil oleh sang Maha Kuasa. Lalu kisahnya dengan Idrus yang juga terhalang oleh persetujuan saudaranya karena saudaranya yang lebih menyukai Hamidah bersama dengan lelaki pilihan saudaranya yaitu Rusli. Hamidah pikir memutuskan menikah dan hidup bersama dengan Rusli seperti keinginan saudaranya adalah pilihan tepat namun saat usia pernikahannya menginjak ke-10 tahun, hubungan rumah tangganya mulai goyah ditambah dengan mereka yang belum juga dikaruniai anak lalu Rusli merasa jenuh dan berpikir bahwa ada yang salah dengan Hamidah karena sampai sekarang mereka tak juga memiliki keturunan, sampai akhirnya ia meminta izin untuk menikah dengan perempuan yang usianya sekitar 17 tahunan dan berjanji selepas anak itu lahir Hamidah lah yang akan berkuasa mengurus anak itu. Hamidah pun menyetujuinya dan seperti yang dijanjikan oleh sang suami, Hamidah mengurus anak itu bahkan sampai-sampai saat ada orang yang bertanya soal siapa ibunya, anak itu menjawab Hamidah lah yang merupakan ibunya.   Â
     Hal itu terdengar langsung oleh ibu kandungnya, marahlah perempuan itu sampai-sampai perempuan itu meminta untuk pindah rumah agar tak satu atap dengan Hamidah. Hal itu pun disetujui oleh suaminya dengan  membawa anak kandungnya, pergilah mereka dari rumah tersebut. Sifat cemburu pun muncul, jika dulu Hamidah menikah dengan Rusli tanpa melibatkan perasaan siapa sangka bahwa pernikahannya akan bertahan hingga sepuluh tahun lamanya, dulu Hamidah memang tak mencintainya namun perasaan bisa berubah seiring berjalannya waktu, dan kini Hamidah memandang wanita itu sebagai wanita bengis yang merebut suami orang.
     Orang-orang berkata bahwa ini semua salahnya karena mengizinkan suaminya menikah lagi. Mau memberitahu alasannya pun percuma semua orang akan tetap menyalahkannya. Akhirnya dirasa pernikahannya semakin lama semakin hambar, Hamidah pun memutuskan untuk berpisah dengan suaminya itu agar mereka saling bebas dari ikatan hubungan ini. Suaminya menyetujuinya dan menyerahkan rumah yang dipakainya kini kepada Hamidah tak lupa juga ia mengembalikan harta milik Hamidah yang pernah digunakan untuk modal. Mereka pun berpisah dengan hati yang lapang. Hamidah pun kembali ke kampung halamannya bersamaan dengan kabar bahwa mantan kekasihnya itu meminta bertemu yang mungkin bisa dikatakan sebagai pertemuan terakhir mereka.
     Begitulah cerita dari tokoh Hamidah dalam memperjuangkan hak kebebasannya dan juga tentang kisah cintanya yang berakhir tak bahagia. Dalam novel ini, Fatimah menggambarkan tokoh Hamidah sebagai perempuan yang memiliki pemikiran yang maju, dibandingkan dengan pemikiran kolot masyarakat di kotanya mengenai kemajuan zaman. Oleh sebab itu, tokoh Hamidah selalu berusaha untuk mengantisipasi keterbelakangan zaman di kota kelahirannya, terlebih bagi kaum-kaum perempuan dengan menghapus adat pingitan terhadap para perempuan dan juga mendirikan perkumpulan untuk perempuan-perempuan di kotanya. Hal ini berguna untuk memberikan hak yang sama bagi perempuan atau laki-laki dalam bidang pendidikan dan memotivasi perempuan untuk lebih semangat lagi dalam mengejar pendidikan setinggi mungkin. Agar dapat menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas dan berilmu. Novel Kehilangan mestika dikemas dengan cerita yang sederhana dan menarik, untuk bahasa yang digunakan pun tak begitu sulit untuk dipahami. Konflik dalam cerita ini pun dibuat tidak berlebihan seperti permasalahan percintaan yang tak disetujui oleh orang-orang yang mungkin beberapa orang diluaran sana pun merasa senasib dengan tokoh Hamidah. Dari karakter setiap tokoh didalam novel ini digambarkan dengan baik walaupun sempat membingungkan saat munculnya karakter-karakter baru dalam novel tersebut. Novel ini juga membuat kita tahu bagaimana sulitnya dalam mendapatkan kebebasan pada masa itu bagi kaum perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H