Dunia maya tidak pernah gagal mengejutkan saya, mulai dari kemudahan akses ke keberagam hal positif hingga beredarnya informasi kelam manusia, there’s no in between when it comes to digital media. Persebaran informasi yang dapat dilakukan dalam hitungan detik adalah hal yang saya anggap menganggumkan, bagaimana peradaban yang dahulu hanya bertani dan berburu mampu membuat teknologi seperti itu? Walau begitu, dampak positif dari kemajuan teknologi terkini tidak selalu membawa peradaban kepada fenomena dunia maya yang baik.
Saya perkenalkan kalian dengan cancel culture, sebutan yang belakangan ini naik daun seiring perkembangan juga penggunaan sosial media yang menyebar ke seluruh kelas ekonomi masyarakat dunia. Dalam pandangan saya, istilah ini adalah fenomena ledakan opini masa yang menggema dari berbagai platform sosial media berisi suara dan tuntutan untuk individu yang terlibat.Â
Fenomena ini populer layaknya gelombang yang menggulung di lautan media sosial, membawa serta arus kemarahan dan harapan akan keadilan. Di era digital ini, di mana setiap kata dan tindakan dapat dengan cepat menyebar dan mendapatkan sorotan, cancel culture atau speak up muncul sebagai bentuk ekspresi kolektif yang menawarkan rasa kekuatan dan kontrol kepada individu dan kelompok.Â
Dalam dunia yang semakin terhubung, masyarakat mencari cara untuk menegakkan norma-norma sosial dan melawan ketidakadilan. Popularitas fenomena ini juga dipicu oleh kebutuhan mendalam masyarakat untuk memberi suara kepada mereka yang merasa terpinggirkan atau terabaikan. Ketika sebuah pernyataan atau tindakan dianggap tidak sesuai, mereka merasa bahwa cancel culture adalah alat yang efisien untuk memberikan sanksi dan mendeklarasikan standar moral. Kontras dengan sistem keadilan formal yang sering kali lambat dan rumit, cancel culture menawarkan jalan pintas untuk menegakkan kebenaran dan mengoreksi kesalahan, tentunya menggoda di mata masyarakat yang haus keadilan tetapi terbiasa hidup serba instan.
Kita bisa melihat betapa kuatnya pengaruh cancel culture melalui berbagai kasus di Indonesia, salah satunya Justice for Audrey tahun 2019 silam. Ingatkah kalian dengan pengakuan Audrey yang dirundung 12 orang teman sekolahnya? Ia bahkan mengaku memiliki memar di beberapa bagian tubuhnya, sontak netizen juga sejumlah influencer  seperti Atta Halilintar, Reza Arap, hingga Ria Ricis berbelas kasih mendengar kisah yang Audrey ceritakan.Â
Tak lama setelahnya, tagar #JusticeforAudrey merayap ke seluruh platform sosial media sebagai bentuk tuntutan masyarakat yang meminta keadilan bagi Audrey. Namun tidak disangka, hasil visum Audrey yang dikeluarkan oleh rumah sakit mengatakan bahwa tidak ada kekerasan fisik yang ia terima. Seketika opini publik berubah, jari netizen yang semula dengan lentur mengirimkan komentar jahat kepada 12 orang tersebut kini berganti kaku.Â
Tagar yang sebelumnya menuntut keadilan kini menjadi #AudreyJugaBersalah, karena didasari kejanggalan pada kasus pertikaian Audrey dengan 12 sebayanya, netizen yang telah berdingin kepala menemukan bahwa Audrey juga berbuat kesalahan yang mengakibatkan kemarahan 12 sebayanya itu. Kisah seperti ini membuat saya berpikir bahwa seringkali netizen mengemukakan pendapat tanpa benar-benar mengetahui dan menyelidiki permasalahan sebenarnya. Cancel culture telah berkembang menjadi pisau dua arah— sebuah alat untuk menegakkan kebenaran atau sekadar gerakan emosional yang menyebar seperti api dalam padang ilalang.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat kolektivis, ini menyebabkan Indonesia memiliki budaya campur tangan yang lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara yang cenderung lebih individualis. Masyarakat Indonesia sering kali merasa tergerak untuk berkomentar, memberi pendapat, atau bahkan menentukan nasib orang lain berdasarkan informasi yang ia terima, terutama di media sosial. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kasus, di mana berita atau isu pribadi seseorang bisa dengan cepat menjadi sorotan publik, terlebih di daerah perkampungan dimana budaya kolektif ini terjaga erat.Â
Fenomena ini memang mencerminkan rasa kepedulian yang mendalam, tetapi juga menunjukkan bagaimana warga yang kerap disapa +62 sering kali bersemangat untuk menjadi bagian dari perdebatan yang lebih besar. Dengan kata lain, ada semacam rasa memiliki dan tanggung jawab sosial yang kuat di antara seseorang dan orang lain, yang mendorong kita untuk merasa berhak campur tangan dalam kehidupan orang lain. Namun, dalam banyak kasus, campur tangan ini sering kali dilakukan tanpa pemahaman yang mendalam atau tanpa mempertimbangkan dampak dari tindakan kita sendiri, menciptakan dinamika yang rumit di mana batas antara kepedulian dan FOMO (Fear of Missing Out) menjadi rancu.
Media sosial berperan besar sebagai panggung utama di mana suara-suara kolektif dapat bersatu untuk menuntut keadilan. Namun seperti yang kita sadari, informasi yang beredar di media sosial tidak selalu terverifikasi dengan baik, yang dapat memperkeruh situasi. Beriringan dengan itu, pemikiran progresif— yang berfungsi sebagai lentera dalam kegelapan, memberikan dorongan kuat agar masyarakat memahami dan mengatasi isu-isu sosial dengan lebih baik.Â