Mohon tunggu...
Robertus Elyakim Lahok Bau
Robertus Elyakim Lahok Bau Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi di Komunitas Secangkir Kopi

Aktif menulis di media masa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ambigu Merger Kampus Minim Mahasiswa

7 Juni 2021   10:53 Diperbarui: 7 Juni 2021   11:01 1494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemenristekdikti pada 2 Januari 2018 mengeluarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penggabungan dan Penyatuan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang menjadi dasar isu merger (penggabungan/penyatuan) perguruan tinggi belakangan ini.

Pemerintah membuat peraturan tentang merger untuk mengurai persoalan mutu pendidikan tinggi di Indonesia yang rendah. Data statistik menunjukan hingga Tahun 2019, secara nasional dari 4.621 perguruan tinggi di Indonesia, 48% belum terakreditasi, 32% terakreditasi C, 18 % terakreditasi B dan 2% atau hanya 92 perguruan tinggi terakreditasi A (Statistik Pendidikan Tinggi 2019, Kemenristekdikti).

Poin krusial di sini yakni hampir setengah bagian atau sekitar 2.218  Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia belum terakreditasi. Layak tidaknya penyelenggaraan PT ditentukan oleh akreditasi minimum. Jika PT tidak terakreditasi, PT tersebut tidak boleh beroperasi dan sudah seharusnya dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan Permenristekdikti yang berlaku.

 Sebulan lalu, program merger mencuat lagi ke permukaan setelah dalam sebuah konfrensi pers,  Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek  yakni Paristiyanti Nurwardani mengatakan, "lebih dari 1600 PTS akan dibina pada tahun ini dengan program merger PTS. Kami harap teman-teman PTS yang akan merger adalah PTS di bawah 1.000 orang", katanya dalam konferensi pers daring pada Kamis 29 April 2021 yang diakses dari TribunNews.Com.

Pernyataan di atas perlu dibedah secara baik. 1600 PTS akan dibina dengan program merger, itu pasti. PTS di bawah 1000 orang akan dimerger, adalah harapan. Sesditjen dikti tahu bahwa persoalan merger tidak begitu gampang. Maka dia berharap PTS dengan jumlah mahasiswa dibawah 1000 bersedia ingin dimerger.

Mengapa butuh kesediaan, karena sesuai dengan Permenristekdikti No. 3 Tahun 2018 menempatkan alasan pertama penggabungan jika PTS-PTS tersebut memiliki visi yang sama dan bersedia untuk membentuk satu lembaga penyelenggara (Berupa Yayasan, Perkumpulan) yang baru. 

Namun pernyataan berupa harapan di atas telah menimbulkan polemik di masyarakat. Beberapa media ikut meyebarkan informasi bahwa benar PTS dengan jumlah mahasiwa di bawah 1000 pasti dimerger. Padahal pernyataan Sesditjen dikti di atas masih berupa harapan bukan menjadi kewajiban atau keharusan.  

Opini publik bergulir tak terbendung. Kelompok masyarakat tertentu memandang negatif terhadap PTS dengan mahasiswa di bawah 1000 orang pasti akan "ditutup" dan dimerger/digabungkan. Sedangkan kelompok lain memandang wacan ini hanya isapan jempol belaka dan susah untuk direalisasikan. Namun sebelum polemik ini berkembang lebih jauh, mari kita periksa dulu alasan yang tertera pada Permenristekdikti No. 3 Tahun 2018.

Dasar pertimbangan penetapan yang tertuang dalam naskah Permenristekdikti No. 3 Tahun 2018 adalah bahwa untuk penguatan PTS dan untuk melaksanakan ketentuan pasal 16  ayat (6) Permenristekdikti No. 100 Tahun 2016.

Lebih jauh pada bagian lampiran dijelaskan dua alasan merger, pertama, terdapat kesamaan visi pada beberapa PTS, sehingga penggabungan beberapa PTS tersebut menjadi 1 (satu) baru di bawah pengelola 1 (satu) Badan Penyelenggara baru akan meningkatkan akselerasi perwujudan visi PTS yang baru.

Alasan kedua, beberapa PTS yang dikelola oleh masing-masing penyelenggara tidak memiliki kemampuan lagi baik secara akademik dan non akademik dalam penyelenggaraan program studi yang dimilikinya, namun kemampuan tersebut akan tumbuh dan berkembang apabila dilakukan penggabungan beberapa PTS tersebut menjadi 1 (satu) PTS baru di bawah pengelolaan Badan Penyelenggara yang baru.

Kemampuan di bidang akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasioanl serta pelaksanaan Tridharma PT yakni pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sementara kemampuan di bidang nonakademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan  organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana. Hal ini sesuai dengan pasal 64 UU RI No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Dari dasar pertimbangan dan kedua alasan penetapan Permenristekdikti no. 3 Tahun 2018 di atas, kita memiliki gambaran secara umum demikian bahwa alasan penetapan Permenristekdiki tentang merger ini adalah untuk penguatan perguruan tinggi swasta dengan syarat PTS-PTS yang ingin merger memiliki visi yang sama dan PTS-PTS tersebut tidak memiliki kemampuan lagi baik secara akademik dan nonakademik.

Dengan demikian untuk sementara kita dapat meluruskan opini publik yang keliru atas tafsir pernyatanaan Sesditjen dikti Kemendikbud-Ristek yang berharap kesediaan PTS dengan mahasiwa di bawah 1000 perlu dimerger.  

Permenristekdikti No. 3 tahun 2018 tidak secara eksplisit mewajibkan perguruan tinggi dengan mahasiswa dibawah 1000 perlu dimerger.  Permenristekdikti No. 100 Tahun 2016 sebagai dasar pertimbangan permenristekdikti tentang merger pun tidak mewajibkan jumlah mahasiswa harus 1000 untuk penyelenggaraan PTS.

Hal yang sama ditegaskan dalam Permendikbud No 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri dan Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Swasta. Naskah peraturan menteri ini tidak mewajibkan setiap PTS harus memiliki jumlah mahasiswa tertentu pada saat pendirian atau  setelah empat tahun beroperasi apalagi ditetapkan harus 1000 mahasiswa.

Maka opini perguruan tinggi di bawah 1000 mahasiswa ingin dibina dengan merger harus diluruskan. Wacana ini tentu sangat merugikan PTS dengan jumlah program studi yang terbatas karena aturan memperbolehkan.

Misalnya, jenis PTS yakni Sekolah Tinggi atau Akademi sudah bisa menyelenggaraan Pendidikan Tinggi dengan minimal satu program studi, di mana rasio dosen tetap 6 orang. Nisbah (rasio) satu dosen berbanding maksimal 45 mahasiwa untuk rumpun ilmu sosial, agama (noneksata), sedangakan untuk rumpun ilmu alam atau eksata 30 mahasiswa. 

Hal ini berarti bahwa jumlah mahasiswa  270 sudah mencapai ambang batas maksimal rasio dosen dengan mahasiswa untuk satu program studi. Prinsipnya adalah semakin sedikit mahasiswa semakin sehat nisbah dosen terhadap mahasiswa.  Maka dengan 6 dosen tetap seharusnya PTS hanya boleh menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan maksimal 270 mahasiswa. Tidak boleh lebih. Bagaimana jika PTS dengan satu program studi diharuskan memiliki 1000 mahasiswa padahal jumlah dosen tetapnya hanya 6 orang?

Berdasarkan Permenristekdikti yang telah ditetapkapkan, merger PTS di bawah 1000 mahasiswa tidak bisa dijalankan. Selain bertolak belakang dengan batas nisbah dosen dan mahasiswa, batas ketentuan jumlah minimum mahasiswa untuk satu PT tidak pernah ditetapkan secara sah dalam aturan hukum dan Permenristekdikti No. 3 Tahun 2018 tentang merger tidak mewajibkan PT dengan jumlah mahasiswa di bawah 1000 orang untuk merger.

Sesditjen Dikti Kemendikbud-Ristek perlu meluruskan wacana PT di bawah 1000 mahasiswa ingin dibina atau dimerger karena merugikan kampus-kampus di masa penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 2021/2022.

Hal ini tidak dapat disangkal bahwa wacana ini menurunkan minat calon mahasiswa baru ke PTS minim mahasiswa. Padahal kita tidak mungkin menutup mata dengan keberadaan PTS-PTS yang jumlah mahasiswa di bawah 1000 namun telah menunaikan tugas dan tanggung jawab akademik dan nonakademik dengan baik hingga mendapatkan Areditasi Minimun bahkan ada yang sudah memperoleh Akreditasi Sangat Baik (B).

Penulis tetap mendukung langkah Kemendikbud-Ristek dalam perbaikan dan peningkatan mutu PTS melalui program merger asalkan tidak dengan wacana yang ambigu seperti yang baru saja terjadi tentang wacana merger kampus dengan jumlah mahasiswa di bawah 1000.

Program merger harus tetap berlandaskan pada Permenristekdikti No. 3 Tahun 2021. Mungkin hal ini akan sulit karena untuk sampai pada kesepakatan antara dua atau lebih lembaga penyelenggara (Baca: Yayasan) membentuk satu yayasan baru, butuh kesediaan dan keinginan lebih dengan berlandaskan pada prinsip keadilan dan pemerataan hak serta kewajiban.

Tetapi Kemendikbud-Ristek bisa berupaya keras dengan "mengharuskan" PTS-PTS yang sekarang sedang bermasalah karena kelalaian dan sedang diberi sanksi administrasi berat melakukan merger. Dengan langkah mendisiplinkan PTS yang sedang bermasalah, saya yakin PTS-PTS tersebut bersedia dimerger.

Jika tidak bersedia maka Kemendikbud-Ristek harus tegas memberlakukan Permenristekdikti No. 100 Tahun 2016 Bagian IV tentang Pembubaran dan Pencabutan Izin Perguruan Tinggi. Pasal 17, 18 dan 19 secara rinci menjelaskan izin PTS dapat dicabut dengan alasan; PT tidak terakreditasi oleh BAN-PT, tidak lagi memenuhi syarat pendirian, dan dikenai sanksi administrasi berat.

Bila PTS tidak berjalan sesuai Permenristekdikit di atas maka PTS tersebut layak dan segera dibina dengan program merger. Dengan demikian tugas Ditjen Dikti Kemendikbud-Ristek dalam merger PTS bukan mendasarkan kriteria pada jumlah mahasiswa di PTS tetapi fokus pada penerapan Permenristekdikti No. 3 Tahun 2018 dengan lebih ketat dan disiplin memberlakukan Permenristekdikti No. 100 Tahun 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun