Mohon tunggu...
fazlurrahman elrazie
fazlurrahman elrazie Mohon Tunggu... -

fazlurrahman elrazie. kini masih sebagai seorang mahasiswa yang mencari sebuah harapan, keinginan, mimpi dan cita-citannya didalam proses perjuangannya. tentang semua hal itu, kini ia siap terus berjuang dan berperang untuk menjadikannya harapan itu sebagai sesuatu yang akan nampak dipermukaan. go fight jurnalis muda!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ingin Aku Menulis Ketika Aku Membaca Tulisanmu (Bagian 2)

6 Maret 2010   08:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:35 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak runtut, Tak mengenai maksud, bahkan terkesan membingungkan. Ketika paradigma dunia nyata aku tuturkan dalam bahasa tikus, kucing dan anjing. Begitu kata seorang temanku setelah ia membacanya. Sesungguhnya, keruwetan itulah kawan yang sebenarnya ingin aku gambarkan terhadap lakon republik dagelan seperti apa katamu. Ketika tikus bebas berselingkuh dengan kucing ataupun anjing dan begitu juga sebaliknya. Itulah Indonesia, tanah air tercinta milik aku, kamu, kami, kalian, mereka, kita semua. Indonesia yang kita banggakan atas demokrasinya kini telah berubah menjadi indonesia bebas, lepas, terlepas dan semaunya. Kita bebas mencaci, menjatuhkan, bahkan kitapun dibebaskan untuk saling menghantam. Setuju atau tidak, tapi itulah realita yang aku tangkap ketika aku melihat sinetron yang kau suguhkan terhadapku. Sungguh memprihatinkan lagi ketika para lakon republik dagelan itu saling berteriak dan tak canggung untuk mengikutsertakan Tuhan terhadap drama yang mereka lakoni. "Allahuakbar... merdeka!, merdeka!, merdeka! allaaaaaaahuakbar!" entah apa makna yang terkandung dari teriakan mereka itu. Satu yang tak bisa kupahami, sejak kapan Tuhan ikut berpolitik, atau sejak kapan lafadz 'Allahuakbar' bebas dipergunakan diforum yang tidak ada kejelasan moral dan etikanya?. Sebagai hamba Tuhanpun aku tak kuat rasa menahan hinaan itu, hinaan yang sudah tidak lagi mensakralkan posisi Tuhan. Itu kita yang hanya sebagai hambanya, bagaimana dengan Tuhan? telah Ia ciptakan mulut kita untuk kita rawat ucapannya agar kita tidak sembrono. Namun realitanya, siciptaan itu memang takpernah berterimakasih atas anugrah yang telah Tuhan berikan kepadanya. Hingga masalah duniapun tak canggung mereka melibatkan Tuhan didalamnya. Sesuatu yang patut dipertanggung jawabkan jika suatu saat nanti terbukti teriakan 'Allahuakbar' itu hanya bermakna sebuah batu besar tempat para lakon dapat bersembunyi?. Bukan itu yang aku dan hamba-hamba lain inginkan. Kita hanya ingin 'Allahuakbar' digunakan pada sesuatu yang benar saja, bukan pada hal yang tak jelas salah maupun benarnya. Belum cukup kekecewaan itu terobati, lakon itu kini kembali berulah. Yang seharusnya dipundak mereka jutaan rakyat Indonesia digendongnya, di otak mereka jutaan rakyat Indonesia berharap, ditangan mereka jutaan rakyat Indonesia menitipkan negara, dikaki mereka jutaan rakyat Indonesia bersimpuh. Dan pada diri merekalah jutaan rakyat Indonesia meminta keadilan. Tapi apa yang dilakukan para lakon? Pundaknya mereka biarkan tergeletak sejajar dengan kepalanya untuk kemudian bermimpi. diotak mereka kerakusan telah menjadi bagian hidupnya. Ditangan mereka gaya hidup dan kepentingan pribadi telah menjadikan mereka lupa akan kewajibannya. Dikaki mereka kita tak mampu ikut serta berjalan. Lalu apa lagi yang kita harapkan atas diri mereka? Keadilan yang hanya sebatas kata-kata itukah yang menjadi acuannya. Mengenaskan... Setauku, inilah kerjaan para lakon bergajih tinggi itu: Tidur kemudaian saling hantam. Online untuk sekedar mengeksiskan diri mereka ataupun hanya bermain game dengan properti kepuanyaanya. Atau bahkan hanya untuk sekedar (maaf) mengupil. Bahkan mungkin suatu saat (Semoga tidak terjadi) mereka sudah tak canggung lagi untuk hanya sekedar menggaruk (maaf) pantat atau barang kepunyaannya (aku sebut itu dengan ritual 'mlintir') hahahahahaa. "Rokok an sikek pak lek jek gak panas.."

Lanjut, Wajar bukan jika orang-orang sepertiku pada akhirnya mengalami krisis kepercayaan?. Lebih lagi, Apakah kalian para lakon pernah berpikir kenapa aku memilihmu?. Aku takut dosa wahai orang yang kupilih, ketakutan akan dosa atas tindakanku jika aku tidak memilih salah satu dari kalian. Bagaimana tidak, terang-terangan MUI mengeluarkan fatwa GOLPUT = HARAM. Itu artinya jika aku tidak memilih salah satu dari kalian maka aku sudah berbuat dosa. Sungguh sebuah dilema ketika aku berlari dari dosa yang satu malah terjerumus pada dosa yang lain. Dosa yang mengantarkanku pada pilihan yang tidak tepat jika kau mengecewakanku wahai orang-orang yang terpilih.Sebuah Dosa pada pilihan yang salah yang justru bau busuknya lebih menyengat jika aku tidak memilihmu (golput). Jika sudah begini, biarlah kurelakan sebagian catatan hidupku dilumuri Dosa yang telah kita perbuat. Aku salah memilih, dan kau salah bertindak.

* tulisan ini juga dipublikasikan di: http://esperanzadelucha.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun